Mohon tunggu...
deri OKU
deri OKU Mohon Tunggu... -

"Orang Pinggiran"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tangisan Sang Surau

3 September 2013   10:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:26 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampaknya matahari mulai bersembunyi. Matahari sang raja siang itu pergi untuk sementara. Suara Adzan bersahutan dari segala penjuru. Burung-burung pun kembali kesarangnya. Bapak dan ibu Petani mulai meninggalkan sawah mereka, menyambut datangnya sang malam. Ya, hal tersebut selalu konstan terjadi setiap sore. Di desa yang penuh kedamaian, sejuk dan asri. Desa yang dipenuhi orang-orang suku jawa, yang bertransmigrasi di pulau Sumatera ini. Mayarakatnya pun, ramah, sopan, dan saling membantu satu sama lain. Gotong royong tidak asing lagi di sekitar kami. Itulah warisan bangsa, yang harus kita lestarikan. Saya dan anak-anak pun mulai berjalan menuju surau yang terletak di pinggir persawahan.Surau “Baitul Rahmah” ini berdiri sebelum aku lahir. Terlihat kusam dan kecil, dia menyambut kami datang kepadanya. Seperti biasa, kita akan shalat Maghrib berjama’ah di surau. Ketika berjalan, aku mendengar suara adzan yang berkumandang dari surau.Suara anak kecil itu tidak asing lagi, ya itu Wahyu. Seorang anak yang gemar dan rajin datang ke Surau. Suara anak kecil tertawa, menangis bahkan berteriak yang aku dengar setiap hari ketika sampai di surau. Larian mereka yang menambah pecahnya suasana saat itu. Kejadian tersebut sekejap hilang ketika aku mulai masuk ke pintu surau. Sapaan mereka yang khas selalu aku terima dan meraih tanganku untuk menciumnya. Ku hentikan langkahku sebentar, dan melihat ruangan sebelah khusus untuk wanita. Di areal wanita tersebut tidak ada perubahan. Ibu Marlan dan Ibu Nur yang terlihat duduk di sab pertama. Dan sisanya anak-anak perempuan yang sedang asik bermain. Kami pun mulai shalat. Dan menjadi hal yang biasa, ketika aku menjadi imam di shalat berjamaah ini. Yah siapa lagi, jika bukan aku. Lah wong laki-laki yang paling besar itu ya aku. Loh, kemana ayah dari anak-anak ini? Ketika kita mulai merapikan sab masing-masing, terdengarlah di samping Surau sekelompok orang yang masih bermain Volley.Bukan hanya remaja pria yang bermain volley, bahkan bapak-bapak pun juga hadir. Boleh juga deh kalau mereka disebut sebelas dua belas.Jumlah Remaja dan Bapak-bapaknya sama.  Mereka tak perduli dengan keadaan sekitarnya. Astaghfirullah. Pemandangan ini selalu aku lihat dan ku telan dengan pahit setiap harinya. Sesuatu yang sangat tidak kontras, ketika diabadikan didalam pikiran. Bukankah suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk memakmurkan Masjid atau Surau. Allah berfirman, “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS. at-Taubah:18). Surau kami benar-benar menangis. Merindukan karamaian di dalamnya. Rindu akan jamaah yang shalat, berdzikir dan beribadah kepada Allah. Tetapi, hal tersebut hanya terjadi pada saat-saat tertentu. Saat di bulan Ramadhan dan Peringatan Hari Besar Islam. Yah, disaat itulah surau kami sesak dan penuh dengan jamaah yang datang menunaikan shalat Tarawih. Bukan hanya itu. Masyarakat yang masih kental akan tradisi kejawen pun sering aku jumpai. Dari sesajen ketika ada hajatan (pernikahan dan Tujuh Bulanan, dan lain sebagainya). Benar, hal tersebut jelas menduakan allah, yaitu syirik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا: بَلَى يَارَسُولُ اللهِ. قَالَ: اَْلإِشْرَاكُ بِا للهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa yang paling besar? Kami (para sahabat radliallahu ‘anhum) menjawab: Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua (HR Bukhari dan Muslim). Sangat ironis.Tetapi, itulah kenyataan yang sesungguhnya di desaku. Berdakwah dimasyarakat ternyata lebih susah dibandingkan di lingkungan kampus. Sebagai aktivis Dakwah, ini menjadikan Pekerjaan Rumah yang sangat berat dan besar. Tetapi, dengan berbagai cara, aku akan tetap menyerukan gelombang dakwah disini, di tanah kelahiranku.Bismillah, aku pasti bisa. Allahhuakbar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun