"Kapan kau akan pergi dan mengerti diriku, bukankah aku yang selalu mencintamu?"
***
Januari 2012
Awal tahun yang tetap sunyi
Dulu di kota ini, kami pernah bercerita tentang anak-anak, tentang masa depan, juga tentang rumah mungil yang dihiasi bunga-bunga yang kami bangun di pinggir kota. Di belakang rumah akan mengalir sungai kecil yang airnya sejernih air mata anak-anak kami yang sedang menangis. Pasirnya putih, di kiri-kanan hanya ada sayur-sayuran hijau untuk kebutuhan sehari-hari. Ikan-ikannya akan kami rawat seperti kami merawat buah hati kami dengan telaten. "Kalau perlu ikannya kita tangkap untuk sambal malam ya Bang?" ujarnya manja. Tidak jauh dari situ kami akan berkebun karet untuk biaya anak-anak sekolah nantinya.
Kini semua itu samar-samar di kelopak mataku. Semakin lama kian kabur dan akhirnya gelap. Entah pergi kemana.
Mungkin ini adalah pertemuan terakhir. Ia berjanji akan datang ketika tahun berganti dan semuanya akan tetap sama, katanya. Kadang aku berpikir inilah awal dari segalanya, mungkin ia tetap pergi setelah ini atau aku menunggunya lagi.
Di secarik kertas sobekan struk belanja di mall yang baru soft opening, sebuah pesan kuletakkan di meja belajarnya sama seperti waktu dulu, tapi tanpa sebuah puisi juga tanpa sekuntum bunga.
"Aku yakin! Tidak akan ada lagi air mata setelah perpisahan ini, di sudut sana ada secawan racun yang tak perlu dihiasi bunga-puisi kuletakkan di atas meja belajarmu bersama keju sarapan pagimu, ambillah atau tidak akan pernah bertemu lagi denganku". Semuanya telah gelap, lalu sunyi***
Yogyakarta, Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H