Mohon tunggu...
Derichard H. Putra
Derichard H. Putra Mohon Tunggu... -

catatan kalam enau \r\nwww.kalamenau.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secawan Racun untuk Evily

12 April 2012   16:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:41 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Takdir hanya menggariskan tentang kau, bukan kita".

"Bukankah takdir kita sama, tidak diletakkan di garistangan, dan juga tidak tertulis disuratan"

"Sebaiknya kau tulis saja puisi-puisimu dan kirimkan padaku esok, aku mungkin rindu dengan ceritamu"

"Aku tak lagi menulis cerita, juga puisi". Ia tertegun. Dahinya berkerut. Mungkin ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Kemudian mendekat ke arahku, aroma tubuhnya tercium wangi, bibirnya tidak lagi diolesi lipstik. Ia  begitu sempurna.

"Sejak kapan tidak lagi menulis?" Raut wajahnya  gugup, tidak seperti yang sudah-sudah. Agaknya ia mulai tertarik dengan hidupku.

"Sejak aku tahu ternyata kau tak pernah peduli denganku"

"Siapa yang bilang? Bukankah selama ini aku yang mengunjungimu ke kota ini, bukankah aku yang selalu merencanakan pertemuan kita, yang selalu menghubungimu, yang selalu mengirimimu pesan, e-mail, faks atau apapun yang membuat kau bahagia?"

"Tapi tak pernah mengakui kau membutuhkan aku"

"Kau tak pernah sungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang kau mau dariku!" Ia menatapku nanar. Tapi aku hanya diam. Mana mungkin pengorbanan yang kulakukan ia anggap tak sungguh-sungguh? Bukankah selama ini jika saja diculik Rahwana aku selalu datang menyelamatkannya sebagai Arjuna? Bahkan jika saja ia meminta telaga aku akan membendungkannya dalam semalam? Dan esoknya ketika terbangun dari tidurnya yang lelap sebuah perahu pun telah tersedia, dan bahkan menaikinya dan membiarkannya aku menatapnya di kejauhan tanpa ada maksud sedikitpun untuk mengajakku?

"Kau terlalu banyak hidup dalam hayalmu, setelah sadar, baru kau mengerti ternyata sekelilingmu belum juga berubah. Kau seharusnya tahu bahwa hidup adalah kenyataan. Jangan pernah menganggapku sebuah dongeng yang sesuka hatimu bisa melakukan apa yang kau mau"

Aku terdiam lagi. Melihatnya terkadang seperti sebuah lukisan mahakarya di atas kanvas kepalsuan. Aroma nafasnya begitu hangat, kalau mau mungkin bisa kulumat bibirnya namun kegamanangan selalu menghantuiku. Ia berusaha menjauh tapi tetap kudekati karena kutahu ia menginginkan seperti itu. Di sudut matanya ia menginginkan aku menjawab semua pertanyaannya, namun tak kulakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun