Mohon tunggu...
Derichard H. Putra
Derichard H. Putra Mohon Tunggu... -

catatan kalam enau \r\nwww.kalamenau.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secawan Racun untuk Evily

12 April 2012   16:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:41 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Namaku Evily, mungkin kamu telah mengenalku ketika kita sama-sama duduk dibangku kuliah dulu. Berparas cantik dengan dua lesung pipit di pipi, terlalu mudah bagimu mengingatku. Kuliah di psikologi sementara kau keguruan, berbeda memang, tapi kita selalu sama, setidaknya itu kata teman-temanmu".

Di lain waktu ia juga pernah berkirim pesan.

Aku melihatmu terkadang seperti senja di balik desa. Menjelang malam, saat senja-senja itu pergi, kupikir kau bahagia dan kumengirimmu sekuntum bunga-bunga liar yang selalu kau ikat dan kau berikan untukku dulu, 'selamat ulang tahun' katamu. Tapi nyatanya aku salah, salah menafsirkanmu. Kau tidak bahagia dengan senja itu, aku memang tak pernah bisa mengartikanmu. Tidak kau tahu? Wanita lebih menginginkan dibohongi, dan kau takkan pernah bisa. Kau hanya mengirimiku bunga dan puisi-puisimu. Untuk apa?

Evily! Aku mengenalnya melebihi diriku sendiri. Terlahir dari keluarga modern namun hidup dalam kegamangan. Setiap hari ia selalu berpikir betapa beruntungnya mengenalku, namun setiap itu pula ia tak pernah tahu kapan bisa mencintaiku. Tidak jauh dari rumahnya, di dekat jemuran kain warisan mendiang ayahnya, ia memiliki taman bunga yang isinya tak sebanyak bunga-bunga yang kukirim saban hari. Setiap pagi dan juga mungkin sore, ia selalu ke sana walau hanya sekedar menjenguk dan sesekali memetik setangkai dari bunga-bunga itu--tergantung dari keinginan hatinya--taman itu tak terlalu luas memang, namun sangat terawat, ada dua pekerja yang ia sewa menjaga dan merawat bunga-bunga itu, kalau sedang galau ia tak segan-segan menyumpahi pekerjanya, namun jika senang hati, pekerja itu disanjung-sanjungnya.

(Tentang taman ini ada cerita mistik yang pernah ia ceritakan ketika pertemuan pertama dulu. Konon, ketika mendiang ayahnya masih hidup, setiap sore selalu saja ada dua gadis Eropa bergaun putih panjang seperti anak-anak Belanda pada umumnya yang selalu bermain di mata air kecil di sudut taman itu. Namun ketika pekerja mendekatinya gadis-gadis itu menjauh lalu hilang di balik ilalang yang tumbuh di atas bukit kecil yang tak seberapa jauh di belakang rumahnya. Sejak ayahnya meninggal dua tahun lalu, kedua gadis itu pun tak pernah muncul lagi. Konon menurut cerita gadis-gadis itu adalah putri-putri Belanda yang diselamatkan ayahnya ketika Belanda menyerah kalah kepada Jepang. Untuk menyelamatkan nyawa sang putri dari kejaran tentara Jepang yang kejam, ayahnya menyembunyikan gadis-gadis tersebut di lubang bawah tanah dan membekalinya beberapa makanan untuk sekian hari. Namun sialnya sang ayah tak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun dan ketika dipaksa menjadi pekerja rodi dan baru pulang beberapa bulan sebelum kemerdekaan, sang ayah tak sanggup lagi membuka tempat persembunyian tersebut)

Tapi, bagiku cerita tersebut hanyalah sebuah lelucon.

Namun gara-gara taman itu, ia hampir pernah membunuhku. Saat bunga-bunga kuganti dengan plastik--dengan begitu ia tak perlu lagi menyewa pekerja dan taman itu akan selalu indah untuk selamanya.  Awalnya ia merasa bangga dengan bunga-bunga itu, ia pun berpikir tidak akan satu orangpun tahu bunga-bunga itu plastik, dan orang-orang akan menduga betapa indah dan terawatnya taman yang ia miliki. Awal yang baik menarik hatinya. Namun sekian waktu ketika bunga-bunga itu tetap saja seperti itu, selalu mekar tak pernah kuncup, layu, gugur,  apalagi tumbuh atau tumbang ditiup angin. Ia mulai resah, ia rindu melihat bunga-bunga itu tumbuh alami, ia rindu bunga itu layu, gugur, lalu mati dan ditanami lagi oleh pekerja, lalu tumbuh lagi dan berbunga. Ia rindu dengan keadaan semula, dan semua itu ia tuduhkan kesalahan padaku.

Dan sekian tahun setelahnya, entah pertemuan yang keberapa. Ia datang lagi, tapi tidak bercerita tentang tamannya, juga tentang bunga-bunganya--dari setiap pesan-pesannya yang ia kirim, ia rindu dengan bunga-bunga plastik buatanku dulu, namun tak pernah meminta untuk dibuatkan lagi--kali ini ia tidak membawa apa-apa, juga tidak bercerita apa-apa.

***
Desember 2011, 23:02
Malam sunyi akhir tahun

"Aku akan tetap mengirimimu setangkai bunga dan puisi di meja belajarmu walau aku tahu kau entah akan pergi kemana". Ia menoleh sesaat. Kepergiannya yang entah keberapa kali kuanggap sebagai kecupan mesra yang esoknya kuletakkan lagi di sudut malam. Dari jauh kulihat ia memanggil taksi namun setelah taksi berlalu ia tetap saja di sana.

"Berusahalah untuk tidak membohongi hatimu, bukankah kita ditakdirkan bersama?" Aku berusaha mendekatinya. Gaunnya ditepis angin malam namun senyumnya tak pernah merekah. Mungkin ia bosan denganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun