Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Beauty and The Beast (69)

15 April 2019   05:34 Diperbarui: 15 April 2019   05:38 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu, suatu malam, ia mendengar suara batuk tertahan. Ia yakin itu suara batuk wanita. Dengan berbekal layar hape yang di pencet on, ia keluar dari kamar, memeriksa seluruh rumah itu. Tidak ditemukan sesiapa. Tapi sesuatu ia mendengar suara pintu depan dirapatkan. Ia menunggu, lalu berjalan ke pintu depan, mendengarkan dengan seksama. Ia mendengar suara batuk di atas genteng! Hantu apakah bisa mengeluarkan suara batuk? Apakah hantu masih bisa terkena batuk ? Kecurigaannya semakin lama semakin berkembang liar. Jika hantu harus batuk, kenapa takut ketahuan? Bukankah hantu lebih sakti dibanding manusia. Hantu bisa melayang di udara, bisa memanjat tembok, bisa memukul seseorang dari belakang tanpa ketahuan. Jika ia ingin diteror, bukankah gampang sekali membuatnya babak belur, atau diseret keluar setiap malam. Kenapa hantu itu tidak melakukannya ?

Dengan mengunakan lem kertas, dibantu cahaya yang terpancar dari layar hape, ia mengelem gagang pintu dengan kertas. Andai ada yang menarik pintu, kertas itu akan putus. Kalau kertas itu putus, berarti ada orang yang masuk dan bersembunyi di dalam. Andai hantu yang masuk, bukankah hantu bisa menembus dinding, masuk tanpa membuka pintu?

Keesokan paginya ia menemukan kertas itu putus. Kecurigaan Aldi semakin melebar. Ia menulis semua itu dalam buku catatannya.

Semakin lama Jean semakin berani. Tea break bukan hanya duduk saling berrhadapan lagi, tapi bersebelahan. Terkadang Jean sengaja menyenggolkan pahanya ke paha Aldi. Membuat Aldi bagai terkena strom. Surya dan Sari sudah terbiasa melihat hal demikian, sudah ogah berkomentar atau pura pura batuk. Aldi yang risih, ia menjauhkan pahanya tanpa berani menggeser kursi yang didudukinya.

Sore ini jam 3 Aldi pamit pulang dengan alasan perutnya sakit. Jean mengantar dengan mobilnya hingga depan Pasar Glodok. Jean ingin belok masuk ke Pancoran, namun dicegah Aldi. Ia minta diturunkan di toko obat dengan alasan ingin membeli obat.

" Aldi, Aldi. " Nada Jean meremehkan. " Sakit perut seharusnya minta berobat ke dokter, hari gini masih membeli obat herbal? Apa kata dunia." cemooh Jean.

" Ke dokter kelamaan, lagian harus daftar, ngantri, nunggu cek itu ini. Kalau ke shinse, paling di- pegang nadi lalu dikasi obat, langsung pulang, langsung makan,  langsung bisa tidur. Besok sudah sembuh kok." Beber Aldi sambil turun dan menutup pintu. Jean memanjangkan mulutnya, memperlihatkan sikap sebal,  lalu tancap.

Aldi berlari menuju rumahnya. Ia berbohong pada Jean. Ia sama sekali tidak sakit perut. Ia hanya ingin memeriksa rumahnya. Selama ini ia selalu pulang menjelang gelap. Selalu melihat di genteng Hantu Bercadar itu mengintainya. Ia merasa aneh. Kenapa ia diintai? Kalau ingin diteror, kenapa tidak langsung diteror? Untuk apa hantu mengintai manusia? Kalau Alien, mungkin untuk dipelajari. Apa hantu ingin mempelajari kebiasaaan manusia? Bukankah sebelum menjadi hantu ia juga manusia, hapal kebiasaan manusia  ?

Terlalu banyak kecurigaan membuat Aldi merasa harus membuktikan beberapa hal. Sore ini ia pulang di luar kebiasaannya hanya untuk membuktikan, hantu bercadar itu hapal kebiasaannya.

Saat ia tiba di mulut gang, ia menatap ke genteng, tiada bayangan bercadar di atas genteng. Itu sudah membuktikan satu hal, hantu itu hapal kebiasaannya. Ia langsung ke berjalan ke pintu, membuka pintu tanpa suara, mengunci kembali tanpa suara. Ia masuk tanpa suara. Ia memeriksa seluruh rumah tanpa suara. Ditemukan seutas tali, bukan tali, kawat halus, mirip senar gitar, di samping kiri dinding terikat ke atas genteng, Aldi berusaha menarik tali itu namun tak mau lepas. Dibiarkan tali itu menggantung seperti semula. Kecurigaannya kian menumpuk. Di dinding kamarnya bagian luar ditemukan sebuah lubang kecil, sangat kecil,  hanya sebesar lubang ujung pena jika dilihat dari dalam, tapi jika dilihat dari luar, mirip corong kecil. Lubang itu disumbat dengan kertas sewarna dengan dinding.  Ketika ia mengarahkan matanya ke lubang itu, terlihat matanya mengarah tepat ke tempat ia biasanya duduk mengedit naskah di malam hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun