Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Beauty and The Beast" [48]

6 Maret 2019   06:45 Diperbarui: 6 Maret 2019   07:20 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau aku jadi kamu, akan kuberitahu kakekmu apa yang sesungguhnya terjadi, akan kuminta ia menjual rumahnya, pergi menikmati hidup, tamasya keluar negeri, melupakan kesedihan, habiskan semua harta, bersenang-senang, agar bisa mati dengan mata merem."

Melli berguling, lalu duduk, menatap Meilan." Tunggu aku siap ya, Mel. Sekarang aku masih betah menjaganya. Kalau kakek meninggal, dia pasti bersatu bersama nenek, aku pasti dilupakan. Aku belum siap dilupakan orang yang paling mencintaiku, aku masih ingin bermanjaan dengannya."

Meilan mengangguk. Hanya bisa mengangguk. Toch persoalannya juga tidak sederhana. Andai Aldi bertahan selama setahun, otomatis ada pembeli yang bersedia membeli rumahnya. Ia akan terusir dari rumahnya sendiri. Kemana ia harus mengungsi? Ia tak punya siapa-siapa di dunia. Wajahnya rusak, jelek, menakutkan, membuat siapapun yang melihat akan berteriak, menjerit ketakutan, bahkan pingsan.

Haruskah ia membiarkan Aldi tinggal di rumahnya untuk membuatnya terusir dari rumahnya sendiri ?
Belasan hari kemudian Jean mengamuk gara gara ia gagal dalam  seleksi awal peserta lomba  Super Chef. Ia menumpahkan kekesalannya pada Aldi. 

Menurutnya, pujian Aldilah yang membuatnya maju, ia merasa dipermalukan karena saat diminta beraksi dalam babak seleksi ia mengajak belasan anggota keluarganya untuk ikut menonton. Ia malu gagal di langkah pertama. Ia ditertawai anggota keluarganya. Ketika Aldi meminta naskah untuk dibawa pulang, Jean tak mau memberi, bahkan sengaja menelpon partimer agar datang mengambil naskah.

Aldi hanya bisa mengurut dada. Kini malam malam dilalui dengan penuh kesepian. Tidak ada naskah untuk diedit membuatnya bete, ia keluyuran untuk menghabiskan malam.

Walau pernah terjatuh satu kali, Aldi tak kapok datang ke kali itu. Ia duduk seorang diri di pembatas kali merenungi nasibnya. Garis tangannya bertambah segaris, ternyata bukan garis hokie, tapi garis bohokkie.

" Kalau begini berterusan, aku tak bisa mempersembahkan 25 juta buat Krisan. Semua  gara gara sebuah pujian, dasar aku sedang bohokkie." Keluhnya. Sambil duduk, ia berpikir untuk mencari tambahan penghasilan dengan cara lain. Apa ia harus membantu Della berjualan bakpao, atau membantu ibu-ibu yang berbelanja di pasar Glodok membawa belanjaan ke mobil untuk mendapat sedikit tips ?

Tanpa sadar ia duduk hingga jam 12 malam. Sesosok bayangan bercadar berjalan dari arah utara ke selatan. Gaya jalannya santai. Aldi segera merunduk. Ia ingin melihat hantu bercadar itu menuju kemana ? Diam-diam ia mengekori.

Ternyata bayangan itu menuju ke arah Jalan Kemurnian. Di ujung jalan Kemurnian 2, dekat belokan, ada sebuah kelenteng. Bayangan bercadar itu menuju kelenteng.

" Hantu kok gak takut ke kelenteng? Kok aneh?" gumam Aldi sambil terus mengekori.

Bayangan bercadar itu berjalan menuju ke belakang. Di belakang kelenteng ada tumpukan kursi dan meja, di salah satu meja terdapat beberapa piring, isinya buah-buahan dan kueh, barang sembahyang yang tidak dibawa pulang oleh penderma.

Seorang pria tua sedang minum teh sambil duduk, menoleh ke bayangan itu, menatap bayangan bercadar dengan tatapan kasihan, lalu meraih sebuah bungkusan untuk diberikan pada bayangan bercadar.
" Ambillah,"

Bayangan itu maju, menerima pemberian itu, menundukkan kepala, agak bersoja dengan sikap hormat. " Makasih, Akong."
Penjaga kelenteng mengangguk. Bayangan bercadar itu  mundur beberapa langkah, balik badan, dan melangkah pergi. Aldi kembali mengekori bayangan itu. 

Bayangan itu berjalan ke arah datangnya, saat tiba di Kemenangan, berhenti tepat di depan rumah kakek Tosan, berdiri diam sambil menatap ke lantai atas, lalu meneruskan perjalanan, berbelok ke sebuah gang kecil, tiba di tengah gang bayangan itu berhenti mendadak. Aldi yang mengekori ikut berhenti. Bayangan itu menoleh ke belakang, Aldi tertangkap basah sedang mengekorinya. Bayangan itu berseru. " Kau !"  lalu bayangan  itu berlari kencang.

Aldi mengejar. Ada banyak pertanyaan berkecamuk di benaknya. Dilihatnya bayangan itu berlari lurus, melewati gang yang sempit, tidak memanjat ke tembok, ia ingat dulu bayangan itu bisa merayap di tembok seperti cecak, kenapa kali ini berlari seperti manusia ? Apa karena menenteng bungkusan makanya bayangan itu tak bisa memanjat tembok ?

" Jangan lari. Aku hanya ingin bicara padamu. Wahai hantu bercadar, aku hanya ingin meminta kelonggaranmu. Izinkan aku tinggal hingga setahun, setelah itu akan akan pergi,"

Bayangan itu terus berlari. Setibanya di ujung gang bayangan itu berbelok, larinya cepat sekali. Aldi ketinggalan semakin jauh. Akhirnya bayangan itu menghilang kala tiba di depan Gang Bahagia.  Aldi ngos-ngosan, sambil menenangkan nafas ia berusaha mencari dimana hantu bercadar itu bersembunyi. Ia menatap ke  genteng. Bayangan itu mendekam di genteng. Aldi mati kutu. Ia tak mampu naik ke genteng, apalagi tengah malam begini. Pasti orang meneriakinya maling. Mau tak mau ia masuk ke rumah dengan semakin banyak pertanyaan berkecamuk di benaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun