[caption id="attachment_188368" align="aligncenter" width="150" caption="koleksiku"][/caption]
Bu Hendro melepaskan Egi dan tercenung agak lama. Egi berjalan-jalan di sekitar kursi. Hendri membiarkan bu Hendro tenggelam dalam pikirannya. Setelah cukup lama ia berkata.
“ Hanya satu cara untuk mencegah kegilaan wanita itu, bu Hendro, Surat Wasiat pak Hendro. Surat wasiat pak Hendro pasti mewariskan hartanya pada anak atau istri sahnya, tidak mungkin pada wanita simpanan. Kalau ibu atau anak ibu tercantum sebagai ahli waris, kita bisa memecat Katlen sekarang juga.” Kata Hendri.
“ Tapi aku tidak memiliki surat wasiat itu.” kata Bu Hendro dengan wajah bingung.
“ Aku menduga, surat wasiat itu pasti berada di tangan anak ibu. Setiap bapak pasti mewariskan hartanya pada anaknya.” Hendro mengompori.
“ Aku tak tahu, cuma sayang,”
“ Kenapa, bu ?”
“ Anakku tidak menyukai papanya sejak kasus BLBI itu, ia menolak berbicara tentang papanya.”
“ Ibu harus membujuknya mengatakan surat wasiat itu jika tak ingin harta pak Hendro lenyap ditelan wanita itu. Wanita itu ganas, dan sewenang-wenang. Aku tak rela kalau harta majikanku jatuh ke tangan wanita perampas suami orang semacam Katlen.” Hendri memanasi.
“ Akan kuoba membicarakannya nanti bila aku menelponnya,” kata bu Hendro pelan.
“ Harus cepat bu, sebelum semuanya ditelan oleh wanita itu. Ini no HP-ku, kalau ibu perlu bantuan, telpon saja aku. Aku siap membantu.” Kata Hendri sambil menyodorkan kartu namanya.
“ Makasih, Pak Hendri. Almarhum suamiku memiliki karyawan sebaik bapak sungguh merupakan suatu keberuntungan. Entah gimana caranya aku berterima kasih padamu, Pak Hendri.” Kata bu Hendro sungkam.
“ Jangan sungkan, bu. Pak Hendro dulu baik padaku, sudah sepantasnya aku membalas kebaikannya dengan membantu ibu. Oh ya, bolehkan aku mendapatkan nomor HP ibu, Siapa tahu suatu saat aku harus memberitahukan sesuatu yang mendadak mengenai perkembangan Katlen pada ibu.” Kata Hendri berharap. Ibu Hendro menyebutkan nomor Hp-nya dan Hendri menyimpan nomor itu dalam phone book.
“ Sungguh sayang kamu sudah beristri, kalau tidak… anakku masih lajang, akan kukenalkan pak Hendri padanya.” kata Bu Hendro entah berbasa-basi atau serius. Hendri tersenyum malu malu mendengar dirinya mau dijodohkan dengan anak pak Hendro. Dia menyesal telah salah bersandirawa.
“ Oh ya, bu, aku sudah lama keluar, sudah jam 3 sore. Sebentar lagi istriku pulang. Aku harus permisi, Bu, Apalagi Egi belum menyusu, dan aku harus pulang memasak, sebaiknya aku permisi” Hendri memberi alasan dan segera ingin pergi sebelum Bu Hendro melenceng ke hal-hal lain.
“ Pak Hendri pintar memasak ?” tanya Bu Hendro.
“ Bisa, tapi ala kadarnya saja bu, yang penting bisa dimakan.” Kata Hendri merendah.
“ Aku juga hobby memasak, bagaimana kalau di waktu luang bapak, bapak membawa Egi bermain ke sini, dan kita bicara soal masak-memasak.” Ajak Bu Hendro.
“ Baik bu, aku pasti datang lagi, permisi… Ayo, Egi !” Hendri menggendong Egi dan permisi untuk pulang. Bu Hendro memberikan sebuah boneka pada Egi untuk dibawa pulang.
Hendri tersenyum di dalam mobilnya sepulangnya dari rumah Bu Hendro. Ia mengembalikan Egi ke rumah mamanya, lalu pulang ke tambak. Ia tak menyangka jalan yang ditempuhnya sangat mulus. Semuanya berkat Egi. Padahal ia menyangka harus 3 kali kunjungan baru bisa membicarakan surat wasiat itu. Kini semuanya terlihat mulus. Tinggal menunggu kabar dari anak pak Hendro yang bernama Patricia . Mungkinkah anak pak Hendro itu menyelidiki apakah papanya dulu pernah punya seorang manajer yang bernama Hendri ? Akh, persetanlah, nama Hendri sangat umum, pasti ada salah satu pegawai BHN yang bernama Hendri.
Bimantoro sangat sedih melihat kondisi keluarganya. Daniel terpaksa hengkang dari dealer dan bersembunyi di tambak. Kehidupan di tambak memang tidak terlalu jelek bagi Daniel, cuma ia merasa kasihan karena Daniel seharian harus bergaul dengan pekerja rendahan dan bau amis Ikan. Lebih kasihan lagi pada menantunya yang setiap hari merenda hari-hari sepi di tengah tambak sendirian tanpa ditemani anak. Sejak pindah ke tambak, keceriaan di Kuningan makin memudar. Dulu selalu terdengar gelak tawa Melinda dan Egi. Kini rumahnya terasa sepi. Sementara Hendri kerjanya cuma bengong di tambak, tidak punya kegiatan apa-apa. Pak Bimantoro sering merenungkan nasib anak sulungnya itu. Bagaimana nasib anak lemah itu jika papanya sudah meninggal. Mau disandarkan pada siapa hidup anak itu?
Nasib dirinya juga tidak bagus. Sudah tua tapi masih harus mengurusi sebuah dealer. Pernah ia coba menawarkan pada teman-temannya untuk menjual kepemilikan minoritasnya di dealer pada teman temannya. Tapi teman-temannya menolak karena alasan tidak pengalaman mengurus dealer mobil. Padahal alasan sesungguhnya adalah tak ada yang mau kehilangan gengsi untuk jadi bawahan seorang wanita.
Katlen tidak pernah mendatangi dealer itu meski sudah hampir setahun menguasai mayoritas kepemilikan atas Dealer itu. Dahlan yang pada awalnya sering datang ke kantor IAS untuk memata-matai Bimantoro juga sudah jarang menampakkan diri. Meski penguasa minoritas, tapi Bimantoro masih merasa sebagai pemilik penuh. Hal itu agak melegakan hatinya. Setahun hampir berlalu dengan tenangnya. Tidak ada Badai, tidak ada Gempa, juga tidak jadi Kiamat seperti yang selama ini dibayangkan oleh Bimantoro.
Bu Hendro menelpon anaknya menanyakan kabar anaknya. Setiap sebulan sekali bu Hendro melakukan hubungan telpon dengan anaknya. Anaknya baik-baik saja di Los Angeles. Bu Hendro menceritakan apa yang didengarnya dari Hendri pada anaknya.
“ Perempuan itu akan menghancurkan semua perusahaan papamu, Pat. Apakah kita harus diam saja membiarkan tingkahnya ?” tanya Bu Hendro kuatir.
“ Papa menguasakan semua jabatan tinggi pada perempuan itu. Pasti perempuan itu memilik kemampuan barulah papa berani bertindak begitu. Biarkan saja, Ma,“ jawab Patricia.
“ Tapi semua perusahaan papa tahun ini rugi “ kata ibunya.
“ Dunia sedang dilanda resesi, Ma, banyak negara mengalami krisis. Alan Greenspan terus-terusan menurunkan tingkat suku bunga The Fed untuk merangsang pertumbuhan ekonomi global. Wajar saja kalau perusahaan papa merugi.” Patricia memaparkan pandangannya.
“ Jadi kamu akan diam saja ?”
“ Pertama, aku tidak punya surat wasiat papa, jadi aku tidak bisa memecat perempuan itu. Kedua, kita tidak bisa menggugatnya menggelapkan uang papa tanpa bukti. Ketiga, aku masih sakit hati karena papa menduakan mama dan main gila dengan perempuan lain. Biarkan saja harta papa habis dimakan perempuan itu. Buat apa aku peduli ?” kata anak bu Hendro dengan suara kheki.
“ Bagaimanapun jeleknya, dia tetap papamu, Pat, dan perusahaan perusahaan itu hasil keringat papamu, jangan biarkan hancur di tangan wanita itu.” kata Ibunya menghiba.
“ Baiklah ma, kalau ada satu saja lagi perusahaan papa yang bangkrut, atau dipailitkan, baru aku akan bertindak. Mama jaga diri baik baik, ya.”
“ Ya, kamu juga jaga diri baik baik !” pesan mamanya sebelum menutup telpon.
Bu Hendro galau, Bu Hendro kuatir. Bu Hendro juga mengecek pailitnya Moda ke Singapura, dan didapati cerita Hendri memang benar. Cuma ketika ia mengecek mantan bawahan BHN setingkat manajer, tidak ada nama Hendri Laksono. Tapi ia tidak terlalu memusingkan hal itu. Fakta sudah di depan mata. Ia percaya saja.
Bu Hendro menceritakan apa yang dibicarakan dengan anaknya itu pada Hendri dalam pertemuan mereka selanjutnya. Hendri agak kecewa mendengar anak Pak Hendro juga tidak memiliki surat wasiat. Lebih kecewa lagi ketika mendengar bahwa Patricia baru akan bertindak bila ada satu lagi anak perusahaan pak Hendro yang bangkrut atau dipailitkan. Itu seperti menunggu durian runtuh. Katlen dengan mudah memindahkan sedikit demi sedikit dana perusahaan itu untuk mendirikan perusahaan lain tanpa membuat perusahaan yang dicolong itu bangkrut. Menunggu salah satu anak perusahaan pak Hendro bangkrut atau pailit itu mustahil atau akan sangat memakan waktu. Bertahun-tahun, bahkan mungkin belasan tahun. Hatinya sangat kecewa, tapi tidak ditunjukkan di depan Bu Hendro.
Dalam perjalanan pulang Hendri merenung dan berpikir. Kalau menunggu reaksi anak pak Hendro, tampaknya akan memakan waktu bertahun-tahun. Hendri tak sabaran untuk membalas perlakuan Katlen terhadapnya. Menunggu bertahun tahun hanya akan memperkuat kedudukan Katlen. Ia ingin uangnya yang hangus itu cepat kembali padanya, dan Katlen harus membayarnya. Kalau bisa berikut bunga-bunganya.
Kembali ke tambak ia merenungkan hal itu. Plan A sudah gagal, atau hampir gagal. Paling tidak masih ada Plan B. Dan ia akan menjalankan Plan B. Plan B dimulai dengan mengunjungi kantor catatan sipil dan melaporkan bahwa ia kehilangan Akte perkawinan. Laporan itu segera diproses.
Bersambung...
Apa isi Plan B ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H