Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dendam Pengantin 3-22:12 Milyar Tinggal Asap!

18 Desember 2012   04:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:27 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua minggu setelah itu, pada hari Jumat juga, Hendri kembali memasuki pasar Swalayan  jam 11 siang. Ia sengaja berlama-lama di dalam pasar itu untuk menunggu kedatangan Bu Hendro.

Menjelang jam 12 siang Bu Hendro memasuki pasar itu dan mengambil troli dan mulai berbelanja. Bu Hendro memilih susu nonfat, garam beryodium, kemudian menuju rak sayuran. Ia melihat seorang lelaki sedang mendorong troly, lelaki yang sering dijumpainya. Lelaki itu sedang memilih wortel. Kali ini lelaki itu menganggukkan kepala pada Bu Hendro. Bu Hendro balas menganggguk.

“ Jus wortel, bu, segar dan bagus buat kesehatan mata.” Kata lelaki itu pada bu Hendro.

“ Ya, “ jawab Bu Hendro singkat.

“ Selain wortel, buah apa yang bagus untuk mata ya, bu,  mataku sudah minus 3,5 “ tanya Lelaki itu. Bu Hendro menatap  wajah lelaki itu, seorang lelaki muda kira-kira berusia 30 tahun. Ramah dan tak ada tampang penjahat. Karena sudah sering berjumpa di dalam pasar , Bu Hendro seakan-akan sudah kenal baik lelaki itu.

“ Rimbang juga bagus untuk kesehatan mata.” Jawab Bu Hendro.

“ Rimbang ? kok aku nggak pernah dengar tanaman yang bernama rimbang ?” kata Hendri.

“ Rimbang itu sejenis tumbuhan terong, buahnya kecil-kecil, lebih kecil dari kelereng. Bijinya mirip biji terong. Warnanya ijo dan setangkai isinya banyak.” Bu Hendro menjelaskan.

“ Buah ya, bu ?” tanya Hendri.

“ Sebenarnya sayuran, tapi berbentuk buah.”

“ Dimasak apa enaknya rimbang itu, bu ?”

“ Dilalap boleh, buat campuran gulai juga boleh, ditumis dengan ikan teri  dan cabe rawit juga enak.”

“ Oh ya,aku akan mencobanya.” Kata Hendri.

“ Tapi kayaknya kamu harus memcarinya di pasar tradisionil. Rimbang jarang dijual di Swalayan.”

“ Ohya, makasih  bu, atas informasinya, namaku Hendri, kita sering bertemu disini,” kata Hendri sambil mengulurkan tangan.

“ Namaku Jasmin, kok bapak yang berbelanja, istri pak Hendri mana ?” tanya Bu Hendro.

“ Istri aku kerja, bu. Di rumah aku jaga anak dan berbelanja. Sengaja kupilih hari Jumat supaya lebih sepi. Malu bu, lelaki kok belanja. Ibu juga ya… aku sering ketemu ibu di sini.” celoteh Hendri.

“ Ya, aku juga memilih hari jumat karena lebih sepi. Sudah punya anak, pak Hendri?” tanya Bu Hendro ramah. Seketika Hendri tergagap.

“ A…daaa. Anak kami satu, permisi ya bu, aku mau ke rak lain.” Ia tadi keceplosan mengatakan sudah punya anak dan tugasnya berbelanja dan menjaga anak. Ia belum mempersiapkan jawaban jika Bu Hendro bertanya lebih lanjut. Jadi harus cepat menghindar.

“ Ya, Silahkan !” kata Bu Hendro. Hendri segera berlalu dari rak itu. Ia berbelanja sedikit lagi dan segera berlalu dari Pasar swalayan itu. Untuk sebuah permulaan, percakapan tadi rasanya cukup. Lain kali Hendri bertekad membawa Eggi supaya sandiwaranya lebih menyakinkan.

Beberapa hari berikutnya Hendri berusaha menemukan tanaman yang bernama rimbang. Ia bertanya dari satu pasar tradisional ke pasar tradisional lainnya. Akhirnya ia menemukan buah rimbang itu di pasar Pesing Kedoya. Ternyata orang tidak menyebutnya rimbang, tapi buah Cengkokak.

“ Untuk apa kamu membeli buah beginian ? Ini makanan burung, Hen !” Kata Melinda ketika Hendri membawa pulang buah itu dan ditaruh ke dapur.

“ Bukan, itu namanya rimbang, bagus untuk kesehatan mata.” Kata Hendri.

“ Makanan Singapura ?” tanya  Melinda.

“ He eh !” Hendri mengganggukan kepala.

“ Enak ?”

“ Ya, tentu enak “

“ Masak dengan apa, Hen !” tanya Melinda. Seumur ini dia baru pertama kali melihat buah seaneh itu.

“ Campurin ke gulai, ditumis dengan ikan teri, atau dilalap “ Hendri mengulangi penjelasan Bu Hendro.

“ Dilalap ?” tanya Melinda. Lagi lagi Hendri mengangguk. Melinda penasaran. Dicucinya buah itu beberapa biji, dan dimasukkan ke  mulutnya sebiji lalu digigit. Rasanya pahit, hambar dan kelat, tapi baunya nyelekit tak enak “ Huakkk Huakkk !” Melinda segera memuntahkan biji itu dan mencuci mulutnya.    “ Ihk, Hen ! buah pahit sepet kayak gitu kamu makan !” omelnya. Hendri tak percaya omongan Melinda, ia mencuci buah itu beberapa biji dan menggigit satu biji, bau sepat kelat segera tercium oleh hidungnya dan ia mau muntah. Segera ia meludahkan buah itu ke tempat sampah.

“ Aneh, di Singapura dulu kumakan kok enak ya,” kata Hendri  membela diri.

“ Kamu hidup di kandang Singa, sih, makanya segala makanan kelat sepet gitupun kamu bilang enak !” Melinda melampiaskan kedongkolannya. Hendri termangu-mangu.

“ Mungkin ini makanan orang India. Di Singapura banyak orang Tamil, “ katanya berdalih. Ia  segera mencuci mulutnya.

Jumat berikutnya Hendri kembali berbelanja di pasar Swalayan seperti biasanya. Seperti biasanya ia menunggui Bu Hendro. Ketika bersua ia segera menyapa bu Hendro.

“ Siang, Bu Jasmin,”

“ Siang, pak Hendri,”

“ Ohya, bu, aku sudah membeli buah rimbang. Tapi rasanya kok  sepat kelat gitu ya?”

“ Kamu masak dengan apa, pak Hendri ?”

“ Aku melalapnya  mentah-mentah. ”

“ Wah, itu butuh keberanian luar biasa, pak Hendri. Buah itu rasanya tidak enak, dimasak pun kadang masih tidak enak, apalagi dilalap. Bagi yang belum biasa bisa muntah loh, pak .”

“ Yah, aku belum pernah memasaknya sih, bu. Jadi aku berpikir praktisnya aja bu, dilalap ! Ih, tahu-tahunya baunya Sengak. Hampir muntah aku, istri aku marah-marah, katanya itu makanan burung.” Ucap Hendri dengan gaya jenaka. Bu Hendro tertawa.

“ Yah, makanan untuk kesehatan memang tidak enak, pak Hendri. Seperti temulawak, sirih dan lain lain. Semuanya berbau anyir bagi yang tidak biasa.”

“Aduh, ibu juga tahu temulawak merupakan makanan kesehatan ya, bu. Pengetahuan ibu  luas juga.”puji Hendri.

“ Akh, bapak bisa saja.”

“ Ngomong-ngomong, aku sepertinya kenal dengan ibu. Waktu aku kerja kayaknya aku pernah bertemu dengan ibu.” Kata Hendri seperti sedang berpikir.

“ Kerja? emangnya bapak kerja di mana ?”

“ Dulu, bu, dulu aku kerja, tapi sudah lama sekali berhenti. Sekarang aku pengangguran. Dulu aku kerja di BHN, dan sepertinya aku ingat, Ibu ini….mirip Istri pak Hendro Sucipto, atasan aku yang baik.” kata Hendri pelan dan takut-takut. Tapi ia sengaja memuji pak Hendro sebagai atasan yang baik.

Bu Hendro terdiam mendengar omongan Hendri. Secebis kesedihan membias di wajahnya.

“ Kamu di PHK ?” tanya bu Hendro.

“ Ya…”

“ Tidak diundang kerja lagi ketika BHN diambil alih Nihon ?”

“ Tidak, bu. Sebelum meninggal pak Hendro menelpon aku berkali-kali dari Australia memintaku membantunya di BHN manajemen baru yang dipegang oleh nona Katlen. Tapi ketika aku menghadap Nona Katlen setelah pak Hendro meninggal, aku tidak digubris sama sekali oleh nona Katlen. Nona Katlen mengatakan  aku menjilat  pak Hendro, dan dia tak mau mempekerjakan seorang  penjilat. Gara-gara tak punya kerja, kini aku harus merawat anak, memasak, mencuci, mengepel, berbelanja dan dipandang hina oleh istriku. Padahal dulu jabatan aku menajer.” Hendri bercerita dengan mimik dibuat sesedih mungkin sehingga tampangnya benar benar terlihat memelas. Bu Hendro tersentuh hatinya.

“ Perempuan itu memang keterlaluan !” tercetus ucapan penuh emosi dari mulut bu Hendro.

“ Ibu juga tidak suka pada nona Katlen ya?”

“ Gimana Aku bia suka ? Dia merebut suamiku ! Merebut semua jabatan penting !” kata bu Hendro penuh emosi. Hendri menunjukkan wajah bersimpati, tapi dalam hati ia bersorak gembira. Pancingnya kena !

“ Maaf deh, Bu, lain kali saja kita bercerita lagi. Aku harus pulang memberi makan pada anakku. Kalau ibunya pulang dan anakku belum makan, aku bisa kena omel. Permisi ya, bu…” kata Hendri dengan hormat.

“ Ya, ya. Silahkan, Pak, kasihan kamu, pak.” kata Bu Hendro. Ia menatap Hendri yang berjalan ke kasir, sangat tersentuh oleh nasib yang menimpa bekas bawahan suaminya.

Hari-hari terus berlalu. Hubungan Hendri dan Daniel berjalan semakin membaik. Keduanya sering ngobrol di depan rumah kala di malam hari. Hendri menceritakan kenangan semasa ia berada di Singapura, seluk beluk bermain saham di SGX, kerapian kota Singa. Melinda sering menimpali dengan banyolan lucu. Daniel menceritakan pengalamannya dalam mengumpulkan sirip ikan Hiu. Harga sirip ikan Hiu kian bagus karena persaingan sesama pengumpul.

Dalam suatu kunjungan ke Jakarta, Donald Lie menyempatkan diri menjenguk Hendri ke tambak. Daniel dan Melinda menyuguhi Donald dengan ikan Gurame bakar khas buatan Melinda. Donald memuji kelezatan masakan Melinda.

“ Nyonya Daniel masakannya enak, kenapa tidak buka usaha restoran saja ?” tanya Donald.

“ Kalau aku buka restoran, yang paling senang pasti Hendri. Lihat ! sekarang badannya sudah segede Daniel ! Waktu datang dulu kurus ceking mirip lidi.” kata Melinda. Donald Lie ketawa mendengarnya.

“ Ya, kamu sekarang gemuk banyak, Hen ! Dulu agak kurus ceking. Apa karena masakan Nyonya Daniel ?” tanya Donald.

“ Ya, tiap hari aku disuguhi masakan yang enak dan lezat, tentu saja gemuk. “ Hendri tertawa.

“ Bukan masakanku yang enak, tapi selera makannya bagus. Kukasi ikan asin tiap hari dia juga makan dengan lahap,” lapor Melinda. Ketiga orang itu tertawa mendengar banyolan Melinda.

“ Apa kegiatanmu sekarang, Hen ?” tanya Donald.

“ Tidak ada kegiatan, hanya keliling-keliling Jakarta “

“ Tidak main saham di BEJ?”

“ Belum punya gairah. Apa kabar tentang Moda, Don ? Apa benar-benar dipailitkan ?” tanya Hendri dengan perasaan ingin tahu yang mengebu-gebu. Donald menjawab dengan sedih.

“ Ya,”

Hendri menundukkan kepalanya, uangnya benar-benar habis jadi kertas rongsokan. Ia semakin menyesali ketololannya karena berhasil dipermainkan oleh Katlen.

“ Ada sedikit berita buatmu. Nihon ternyata milik nona Katlen.” Kata Donald.

“ Ya, Aku tahu,”

“ Nihon rugi S$ 150 juta dalam transaksi deriviatif beberapa bulan terakhir ini, kabarnya itu atas perintah Katlen.” ungkap Donald.

“ Katlen ?”

“ Ya.”

“ Tahu di mana Katlen sekarang berada, Don ?”

“ Kabarnya dia sedang berada di Hawaii. Beberapa lembaga keuangan yang dipegangnya sekarang sedang rugi besar, beberapa pemegang saham mulai berteriak karena kebijakkannya tidak menciptakan laba. “

“ Kenapa bisa begitu ?”

“ Mereka menjual rupiah dan memegang dollar, pahahal sekarang rupiah sedang menguat. Kesalahan estimasi yang fatal. Setelah pemilu refornasi di Indonesia,  banyak yang menaruh harapan pada pemerintahan Gus Dur.”  Donald Lie menjelaskan. ( Setelah pemilu pertama di era Reformasi, Rupiah sempat menguat hingga 6800 per dollar, tapi tak lama kemudian stabil di kisaran 8.800-9200).

“ Don, kalau ada kabar tentang Katlen, beritahu aku, aku ingin tahu kapan ia kembali ke Jakarta. ” pinta Hendri.

“ Kamu sedang merencanakan sesuatu, Hen ?” tanya Donald. Hendri menganggukkan kepala. “ Baiklah, kalau ada kabar tentangnya, akan kuberitahu kamu. Ohya, aku harus permisi, banyak tugas lain yang harus kukerjakan.” Donald berdiri dan berjabatan tangan dengan Hendri.

“ Terima kasih, Don, atas bantuanmu,”

“ Jangan sungkan, Kita bersahabat, sudah sepantasnya saling menolong.” Keduanya bersalaman, Donald juga  menyalami Daniel dan Melinda.

Setelah Donald meninggalkan tambak, Hendri berdiri tertegun di depan rumah. Tatapannya kosong ke arah perginya Donald. Daniel menghampiri Hendri.

“ Ada apa, Hen ?” tanyanya, ia tidak begitu paham omongan antara Hendri dan Donald.

“ Tidak, tidak  kenapa-napa,” kata Hendri pelan. Ia  masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian ia keluar  membawa setumpuk kertas. Dengan geram ia meremas tumpukan kertas itu. Tumpukan kertas itu adalah konfirmasi pembelian saham Moda yang dulu dilakukannya di SGX. Kini Moda sudah di pailitkan. Kertas seharga 12 milyar itu tinggal rongsokan. Hasil jerih payah selama 3 tahun  musnah begitu saja. Hendri meneteskan airmata. Ia  menyulut kertas-kertas itu dengan korek api. Bersambung... Hallo... Siapa yang masih setia mengikuti kisah ini? Cerita ini akan dilanjutkan postingan setiap hari jam 11 siang hingga tamat...

Selamat beraktivitas...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun