Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dendam Pengantin 3-21: Ini Terlalu Paaanjangg!

23 November 2012   03:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:48 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_188368" align="aligncenter" width="150" caption="koleksi pribadi"][/caption]

Hendri tinggal bersama Daniel di tambak. Ia merasa lebih tenang tinggal di tambak daripada di rumah papanya di Kuningan. Tinggal di tambak juga lebih bebas, dan suasananya mirip  kontrakannya di Singapura. Di rumah tambak ia bebas bangun jam berapa saja, tidur jam berapa saja, tak ada yang menegur. Mulut Melinda  memang agak ceriwis. Tapi Melinda suka menyindirnya secara blak-blakan disertai canda dan tawa, bukan dengan muka masam. Hendri sudah terbiasa dengan omelan atau sindiran Melinda.

“ Hen ! tolong bantu aku membelah ikan !” teriak Melinda ketika melihat Hendri duduk bengong sendirian. Daniel sering pergi mengumpulkan sirip ikan, kadang pergi melelang ikan ke pasar. Kalau tidak keluar, Hendri suka duduk terbengong  sendirian.

Sesekali Hendri keluar dengan mobil. Ia membeli sebuah  Taruna dan sering mengajak Egi bolak-balik tambak. Kerinduan Melinda terhadap  Egi semakin berkurang.

“ Kamu tambah gemuk deh, Hen !” kata Melinda ketika Hendri datang memenuhi panggilannya.

“ Makan tidur melulu, tentu gemuk. Aku harus berterima kasih karena masakanmu enak-enak.” Ucap Hendri.

“ Oh, jadi karena itulah kamu betah tinggal di tambak. Supaya dapat makan enak.“ kata Melinda, Hendri tertawa.” Apa kamu gak marah sering kusuruh membantuku membelah ikan? Nggak jatuh gengsi ?” Tanya Melinda ceplas ceplos. Ia membelah ikan gabus untuk dijadikan ikan asin. Harga ikan gabus hidup tidak bagus. Kalau dijadikan ikan asin harganya lumayan.

“ Numpang makan tidur dengan kalian tentu Aku harus membantu kalian bekerja. Mau gengsi apa, kan nggak ada yang lihat. “ Hendri berkilah.

Nggak marah lu sering kuomelin ?” tanya Melinda. Ia sering mengomel kalau Hendri menyisik sisik ikan kurang bersih, atau belahan ikannya tidak rapi.

“ Nggak, omelan kamu ada dasarnya. Lebih enak diomelin kamu daripada diomelin Katrine.”

“ Emangnya dulu kamu sering diomelin Katrine ?” tanya Melinda.

“ Ya, Omelannya menyakitkan hati. Aku dikatain penakut, pengecut, Kalah melulu dari Daniel, tak punya kemampuan dan mirip banci !” keluh Hendri.

Melinda tertawa. Pandai Katrine memaki, dan makiannya tepat, batin Melinda. Dulu Hendri memang penakut dan mirip banci. Entah kenapa sekarang tiba-tiba berubah  drastis.

“ Itu sebabnya kamu meninggalkannya di Sidney ?” pancing Melinda.

“ Ya, Aku membayangkan kalau seumur hidup aku tinggal bersama wanita judes seperti itu, pasti hidupku  membosankan dan sia-sia. Aku berontak ingin bebas. Itu sebabnya Aku setuju kawin dengannya, dan sudah kurencanakan untuk meninggalkannya di Sidney ! tapi nasib menentukan lain, Aku dikalahkan juga olehnya.” Keluh Hendri.

“ Ngomong-ngomong, waktu kalian menikah dulu, apa tidak mengurus akte pernikahan?” tanya Melinda.

“ Ada, tapi akte itu dibawa oleh Katrine.”

“ Sayang….” Keluh Melinda.

“ Kenapa sayang ?”

“ Kalau kamu memiliki akte itu, Kamu bisa menekan Katrine.”

“ Menekan Katrine ? gimana caranya ?”

“ Mudah sekali. Dengan akte itu berarti kalian resmi sepasang suami istri, biarpun kenyataannya cuma pura-pura. Hukum tidak mengenal pura-pura. Selagi belum ada perceraian, berarti harta yang didapat oleh siapa pun akan jadi harta bersama. Kalau kamu punya akte itu, kamu bisa menuntut separo BHN adalah milikmu. Kan dia mendapatkan BHN selagi kalian belum bercerai ?” jelas Melinda. Hendri terdiam, ia tercengang mendengar penjelasan Melinda.  Gerakannya yang sedang membelah ikan ikut terhenti. Ia menggaplok kepalanya dengan keras.

“ Ya Ampun !” serunya keras. Melinda terkejut mendengar teriakan Hendri.  Ia melihat jidat Hendri penuh dengan darah.

“ Hen ! jangan bunuh diri, Hen ! jangan bunuh diri di rumahku! Aku takut nanti rumahku berhantu,” ucap Melinda dengan perasaan cemas.

Nggak, Aku nggak bunuh diri.” bantah Hendri.

“ Kalo engga kenapa kamu menggaplok dahimu hingga berdarah ?” tanya Melinda. Hendri memegang jidatnya, terpegang olehnya cairan kental kemerah-merahan mirip darah.

“ Ihk, Sialan ! ini darah ikan, bukan darahku !” bantah Hendri. Ia segera melap dahinya yang  berlepotan darah ikan.

“ Kupikir kamu putus asa dan pingin bunuh diri. Kalau mau bunuh diri jangan di rumahku, Hen ! nanti Aku dicari-cari polisi. Apalagi kalau kamu jadi hantu pasti tak mau pergi pergi dari rumahku,” Oceh Melinda.

Hendri tertawa. Tadi, kalau waktu menggaplok kepalanya  ia tidak melepaskan pisau yang dipegangnya, memang benar ia kini terkapar dengan kepala terbelah.

“ Ada ada saja kamu, Mel.  Pantas Daniel begitu menyukaimu. Kamu ibarat pelita dalam hidupnya. Pelita yang bersinar sepanjang hari, menerangi kehidupan Daniel.” Puji Hendri dengan tulus.

“ Cailah ! tak kusangka kamu romantis juga…” ejek Melinda.

“ Enggalah...”

“ Iya, kata-katamu tadi puitis.”

“ Aku… Aku bisa menulis puisi “ kata Hendri malu malu.

“ Benarkah ? apa Aku nggak salah dengar,”

“ Benar kok! Waktu  SMA Aku suka menulis puisi…”

“ Coba deklamasikan salah satu puisimu untuk kudengar.”

“ Akh, ga bisa lagi.”

“ Kenapa nggak bisa ?”

“ Jiwaku kini penuh dengan dendam, tak ada bahasa puisi sama sekali di hatiku. Tak ada keindahan.” Kata Hendri masih dengan nada puitis, Wajahnya berubah kelam.

“ Yah sayang, Indonesia kehilangan seorang seniman deh…” keluh Melinda, tapi Hendri tidak menanggapi. Ia sedang memikirkan kata-kata Melinda tadi. Akte pernikahan. Harta gono-gini, belum ada perceraian. Dan ia menemukan sebuah jalan. Salah satu jalan dari beberapa jalan yang telah dirancangnya.

Hendri mulai sering keluar rumah. Pergi pagi  pulang malam. Melinda memberitahukan hal itu pada Daniel. Daniel menyuruh Melinda mendiamkan saja. Mungkin Hendri suntuk berada di tambak, sedang mencari kerja, atau pergi berbisnis. Melinda merasa sayang karena kehilangan teman bicara  saat  membelah ikan.

Hendri mengintai apartement tempat tingal Katlen. Ia mengetahui tempat tinggal Katlen  dari Daniel. Selain itu ia juga mengintai Menara Taipan tempat Katlen berkantor. Akhir akhir ini ia tidak melihat Katlen. Hendri  mengalihkan perhatiannya untuk mencari alamat istri Hendro Sucipto.

Sebulan lebih Hendri bertanya ke sana sini, akhirnya ia mendapatkan alamatnya Bu Hendro. Bu Hendro tinggal di sebuah rumah mentereng dengan pagar yang tinggi dan pintu pagar ditutup terus. Rumahnya nyaris tidak kelihatan dari jalan karena terlindung pagar tinggi. Sesekali terlihat sebuah mobil keluar dari pagar yang mungkin ke pasar swalayan. Hendri mempelajari kebiasaan Bu Hendro dengan cermat dan teliti. Ia tidak boleh gegabah dan salah bertindak.

Setelah sebulan mengikuti Bu Hendro, Hendri mulai mendapati suatu pola kebiasaan yang teratur. Seminggu sekali di hari jumat Bu Hendro pergi ke sebuah Pasar Swalayan untuk berbelanja. Hendri menyimpulkan bahwa Bu Hendro sengaja memilih hari Jumat karena hari itu Pasar Swalayan lebih sepi. Hari Jumat sebahagaian umat Islam sholat Jum’at, dan di tengah hari seperti itulah Bu Hendro keluar. Apakah Bu hendro menghindari keramaian ? Menghindari sesuatu?

Selain itu bu Hendro juga punya kebiasaan rutin lain, yaitu mengunjungi sebuah salon sederhana yang tidak terlalu terkenal dan tidak terlalu ramai pada hari Selasa. Dua kebiasaan itu diperhatikan betul oleh Hendri. Selain dua kegiatan rutin itu, Bu Hendro sesekali ke Bank, membayar rekening listrik dan air. Ia kini tahu bagaimana  caranya mendekati Bu Hendro.

Hendri berbelanja di pasar Swalayan yang sama dikunjungi oleh Bu Hendro. Ia membeli keperluan harian, termasuk sayuran, mengikuti kegiatan yang dilakukan  Bu Hendro. Bu Hendro memilih terong, ia ikut memilih terong. Setelah itu Hendri menjauh ke rak lain, kemudian ia bertemu kembali di rak lainnya seakan-akan tidak disengaja pertemuan itu. Hal itu dilakukan berulang-ulang. Ia ikut mengamati barang-barang yang dibelinya seakan akan meneliti mutu barang itu. Sesekali ia memeriksa tulisan di label dan tanggal kadaluarsa. Kelakuannya benar-benar mirip wanita cerewet yang sedang berbelanja.

“ Empat bulan lagi kadaluarsa, kok masih dijual !” omelnya sambil melihat sebuah makanan kaleng, meletakkan kembali barang itu seakan-akan jijik. Bu Hendro mendengar omelannya, tapi Bu Hendro diam saja. Bu Hendro menatap Hendri agak lama. Dalam hati ia mencibir, kok ada lelaki yang belanja keperluan dapur ? pasti istrinya pemalas dan cerewet ! Bu Hendro menghindari kontak dan memilih menjauhi Hendri.

Hendri pulang dengan membawa banyak belanjaan. Melinda kaget melihat belanjaan yang dibeli oleh Hendri.

“ Hen ! Lu di Singapura juga belanja kayak gini ?” tanya Melinda.

“ Ya. Rutin sebulan sekali, ”jawab Hendri.

“ Beli terong juga dua kilo ?” tanya Melinda.

Nggak, di Singapura aku nggak pernah membeli terong.”

“ Kalo begitu untuk apa kamu membeli terong sampai 2 kg ?”

“ Mungkin Daniel suka.”

“ Yang suka terong itu Aku, bukan Daniel!”Oleh Melinda, kemudian ketawa cekikikan.

“ Baguslah, kalau begitu untuk kamu saja, ”

“ Tapi bukan terong jenis ini yang kusuka “

“ Kalau bukan jenis ini, jenis apa ?” tanya Hendri.

“ Ini terlalu panjang. Aku suka yang ukurannya sejengkal lebih, terlalu panjang Hihhh ! mengerikan !” Melinda menggetarkan tubuhnya, jijik.

“ Oke, lain kali kubeli yang ukurannya sejengkal, terlalu panjang berarti terlalu tua kali ya ? kurang enak ya ?” tanya Hendri.

“ Ya….” Jawab Melinda sambil menahan tawa. Hendri u masuk ke kamarnya, membiarkan belanjaannya di dapur. Seperginya Hendri, tawa Melinda meledak. Ia tak menyangka  Hendri tidak mengerti arah pembicaraannya mengenai terong tadi.

“ Gila ! segini panjang gimana rasanya ya ?” ucap Melinda di sela tawanya sambil melambai-lambaikan terong yang hampir 2 jengkal pangjangnya.

Sore itu ketika Daniel pulang, Daniel duduk ngobrol dengan Hendri di depan rumah. Melinda menyambut suaminya dan membuatkan minuman. Sambil mengantar minuman  Melinda tersenyum.  Daniel merasa aneh dengan sikap istrinya.

“ Ada apa nih, kok senyum-senyum ?” tanya Daniel.   Melinda masuk ke dapur dan keluar sambil  mengacung-acungkan terong sepanjang dua jengkal itu ke hadapan suaminya.

“ Dan! Terong Hendri, dua jengkal !” katanya sambil menjulurkan lidah. Daniel tertawa terbahak-bahak, dan Hendri salah tingkah. Ia baru sadar  dari tadi Melinda selalu tersenyum itu karena guyonan tentang terongnya .

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun