Menjadi seorang kompasianer adalah sesuatu yang tak terduga sebelumnya, memang sih saya pernah membayangkan akan menjadi penulis blog tapi bukan di platform Kompasiana
Saya tipe orang yang suka nulis dengan emosi dan spontan, bagaimana dan sebanyak apapun kerangka draf yang disusun diawal tidak bisa saya lanjutkan sampai akhir, ketika akan dituangkan ke media sosial banyak tulisan yang berbeda
Dari draf yang telah disusun perparagraf dan juga kata-kata per kalimat juga jauh dari kesempurnaan EYD
Meski begitu saya tetap menulis karena saya suka, itu saja titik tanpa koma
Tahun 2019 awal pertama saya menjadi kompasianer karena syarat mutlak yang diberikan oleh mba Pipiet (pegiat literasi di Jogjakarta) ketika menghubungi saya untuk mengajak nobar (nonton bareng) sebuah film Indonesia terbaru yang baru rilis di bioskop adalah membuat feedback-nya berupa tulisan tentang film tersebut di Kompasiana. Saya yang belum mempunyai akun dengan segera membuat akun.
Setelah acara nobar semuanya tampak lebih mudah karena saat itu saya bertemu dengan beberapa admin Kompasianer area Jogja (@K-Jog) dan blogger lainnya, koneksi saya semakin bertambah. Disetiap ada kesempatan meliput saya selalu mengusahakan untuk ikut dan salah satu kopdar (kopi darat) terbesar yang saya ikuti adalah Acara roadshow yang diadakan oleh bank Indonesia di beberapa kota besar di Indonesia dan salah satunya adalah Jogjakarta.
Walaupun hanya sebagai tim hore-hore tetapi pengalaman ini adalah yang paling berkesan
Temanya saat itu adalah makro prudensial aman terjaga, dijelaskan bahwa Indonesia dan dunia mengalami krismon (krisis moneter) terparah pada tahun 1998 dan kembali ditahun 2008 mengalami krisis tetapi karena belajar dari pengalaman seperti pepatah sedia payung sebelum hujan maka Indonesia dapat bertahan.
Dan kini ditahun 2020 Indonesia katanya menuju jurang resesi
Sangat sulit untuk sebuah negara (bukan hanya Indonesia) bertahan di tengah pandemj seperti sekarang dan ini juga menjadi ujian untuk satu tahun pertama pemerintahan Jokowi
Lah kok, kenapa pembahasannya malah jadi berat? Oke kembali ke cerita tentang Jogja, acara kopdar itu dihadiri lebih dari 400 peserta yang terdiri dari penulis blog, narasi dan mahasiswa jurusan ekonomi dari berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta
Jika ditanya didalam foto apakah ada saya? Jawabannya adalah tidak ada karena saat itu setelah materi disampaikan narasumber saya lebih memilih mengantri prasmanan yang salah satu menunya menyediakan sate kambing serta jajanan pasar lainnya maklum anak kost rantauan tidak bisa melihat makanan enak
Di ujung acara ada Grand prize berhadiah baju rancangan desainer batik ternama dari mas Didiet Maulana yang juga saat itu menjadi narasumber (kalau saya tidak salah ingat, kalau salah maafkan)
Dan kini saya merindukan moment itu saat-saat sibuk kumpul liputan sana sini bersama teman-teman yang suka nulis karena di kota kelahiran saya, kegiatan seperti ini tidak ada sama sekali.
Terkadang ada yang nanya
"Kamu dapat bayaran berapa?"
Jujur saya pun bingung harus jawab apa? Apa semuanya harus dikalkulasikan menjadi materi?
Semua, bukan hanya tentang materi, jika kita mengerjakan sesuatu yang kita senangi maka apapun itu semuanya tidak akan menjadi beban, ceritanya panggilan jiwa.
Meski tak ada bayaran berupa materi, banyak hal yang saya dapatkan seperti pertemanan (jaringan), pengalaman, bertemu dan berkenalan dengan orang-orang hebat dan satu lagi yaitu bisa menjadi orang pertama yang mencoba produk terbaru.
Jadi ini tuh seperti melakukan hobi yang dibayar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H