Jika ingin sukses maka keluarlah dari zona nyaman... Tidak semua orang mau menderita dan jika di tawari apakah mau hidup menderita? mungkin dari separuh penduduk bumi ini, semuanya akan menjawab dengan yakin "tidak mau" (ini baru perkiraan loh yah! Tidak ada data akurat mendukung pernyataan ini... Hehehe) tapi logikanya saja apakah ada orang yang mau hidup menderita?
Biar tidak merembet kemana-mana jadi saya batasi tulisan dengan mengambil dari sudut pandang seperti manusia pada umumnya yaitu orang awam saja, jadi jangan samakan diri kita dengan Siddhrtha Gautama yang rela meninggalkan istana untuk hidup menderita seperti rakyatnya.
***
Setiap orang pernah dan akan menderita dalam hidupnya terlepas apakah dia orang baik apa jahat karena kita hidup di dunia yang sama. Orang kaya menderita karena kekayaannya, orang miskin menderita karena kemiskinannya, orang yang tidak mempunyai keluarga menderita karena tidak mempunyai keluarga dan lain-lainnya.
Jadi apa hubungan pembahasan penderitaan dengan kalimat di awal paragraf dan judul artikel ini? Ini adalah sebentuk semangat untuk teman-teman yang saat ini tidak bisa berkumpul dengan keluarga dan orang terkasih.Â
Para anak rantau (mahasiswa dll) tulang punggung keluarga (pahlawan devisa, papa long legh; ayah yang bekerja dan hidup jauh dari keluarga dll) serta mereka yang tidak bisa pulang karena efek PSBBÂ
***
Beberapa tahun kemarin saya sudah merasakan hal yang sama yaitu hidup sendirian dan jauh dari keluarga dan rasanya alamak sangat tidak enak sekali, karena tidak bisa makan masakan khas lebaran yang di masak langsung oleh Mamak tercinta.Â
Alhamdulillah tahun ini bisa berkumpul lagi tapi kali ini saya ingin berbagi kisah dari seorang teman yang tahun ini adalah kali pertama ia hidup berjauhan dengan keluarganya dan merayakan lebaran di negeri orang.
Namanya Purwanto, biasa di panggil Pur.
Kalau mendengar namanya kita bisa menebak bahwa dia adalah orang Jawa tapi entah saya juga tidak tahu apakah dia benar-benar orang Jawa asli atau keturunan saja yang sejak lahir belum pernah tinggal di Jawa.
Saya kenal  Pur di sebuah lembaga pendidikan bahasa asing di kota Palembang, kami sama-sama memiliki keinginan yang sama yaitu bisa pergi ke Korea tapi dengan niat yang berbeda.Â
Jika saya ingin ke Korea hanya sebagai tempat pelarian karena jenu dengan rutinitas serta ingin mencoba hal baru dan pastinya karena hanya Korea yang mau menerima pekerja migran tanpa banyak syarat fisik (boleh berkacamata dan tidak memiliki batasan tinggi badan).Â
Berbeda dengan beberapa teman saya yang lainnya yaitu memiliki alasan klise tapi memang benar yaitu desakan ekonomi dan mungkin karena inilah kenapa saya tidak lulus tes EPS TOPIK (Employment Permit System - Test of Proficiency in Korean)/EPS-TOPIK (ujian kemapuan Bahasa Korea yang diperuntukkan bagi calon tenaga kerja asing yang ingin bekerja di Korea Selatan).
Allah tahu mana yang kuat dan lebih butuh. Pur dan beberapa teman lainnya lulus tapi setelah lulus tidak serta merta langsung berangkat tetapi harus mengikuti tes kesehatan dan jika lulus tahap ini harus menunggu lagi.
Setelah menunggu kurang lebih 2 tahun akhirnya awal tahun 2020 ini Pur bisa berangkat melalui sektor perikanan dan kali ini adalah pertama kalinya dirinya menghabiskan Ramadan dan Idul Fitri berjauhan dengan keluarga bahkan terpisah jarak ribuan mil.Â
Pur awalnya diterima kerja sebagai anak buah kapal (ABK) kurang lebih selama sebulan karena tidak sanggup akhirnya Pur memilih berhenti (penderitaan Pur hampir sama dengan ABK yang meninggal di kapal ikan Cina dan mayatnya di buang ke laut Korea yang kisahnya terkuak karena direkam temannya).
Sekarang Pur bekerja di restoran makanan laut, di restoran Pur sebagai pembersih bahan baku  yaitu tripang. Sebagai seorang Muslim yang saat ini tinggal di Gunsan, Provinsi Jeollabuk-do. Korea. Secara mengejutkan Pur mengaku tidak merasa sulit berpuasa di Korea tapi bukan berarti bisa full berpuasa.Â
Padahal, waktu berpuasa di Korea selatan lebih lama daripada di Indonesia, yaitu selama sekitar 16 jam 30 menit. Jam kerja di restoran juga tidak menentu kadang dalam sehari bisa lebih dari 8 jam, terkadang hanya 2 jam saja dan kadang tidak kerja sama sekali tergantung banyaknya bahan baku yang datang dari nelayan..
Menghabiskan bulan ramadhan sambil bekerja di luar negeri, khususnya di Korea Selatan merupakan pengalaman yang menantang sekaligus hal baru. Suasana berbeda yang diciptakan oleh kehadiran sesama Muslim menjadi kegembiraan tersendiri dan membangkitkan semangat.
Meskipun Pur tinggal cukup jauh dari Masjid Pusat Seoul, dia senang karena ada masjid juga di Gunsan.Â
Meskipun jaraknya lebih jauh dibandingkan dengan jarak rumahnya ke mesjid di Indonesia, dia merasa senang setiap kali mengunjungi masjid karena dia dapat menemukan banyak makanan halal, bertemu teman, dan berbuka bersama.
Berbeda dengan pengalaman ramadhan pada umumnya, yang dirasa kurang memuaskan oleh Pur adalah merayakan Idul Fitri di Korea terasa berbeda. Kalau di Indonesia khususnya Palembang Pur bisa berkumpul dengan keluarga inti (ayah, ibu, kakak dan adik). Selain itu, ada beberapa makanan khas Idul Fitri yang biasa di santap yaitu ketupat, rendang kalio, tekwan dan tentu saja pempek.
Minggu tgl 24 mei Pur dan beberapa Muslim lainnya melaksanakan sholat Idul Fitri di Masjid Anas Bin Malik di Gunsan di pagi hari, sebelum sholat Ied dimulai semua yang akan sholat diharuskan mengisi lembaran absen di luar mesjid.
Hal ini untuk memudahkan panitia dan pengurus mesjid mendata berapa banyak warga Muslim yang ada di Korea dan juga nantinya untuk membentuk komunitas sesama muslim, selain itu juga karena wabah Covid-19 tidak semuanya bisa sholat bersama hanya dengan suhu tubuh di bawah 38 derajat saja yang diperbolehkan memasuki mesjid.Â
- Hanya segelintir non-muslim yang tahu tentang bulan Ramadhan (bahkan sajang-nim; pemilik resto kaget melihat Pur tidak ikut makan siang dan dijelaskan bahwa ia berpuasa dan tidak makan dari jam 3 subuh sampai jam 7 malam, sajang-nim lebih kaget lagi dan tidak percaya bahwa puasa tersebut dilakukan selama 30 hari)
- Banyak kurma dijual di supermarket
- Masjid menjadi lebih ramai dari biasanya
- Banyak Muslim yang berbuka puasa di masjid.
- Jadi lebih rajin masak sendiri (karena ragu dengan kehalalan makanan yang di jual)
Perbedaan ini tentu saja hanya permulaan di awal karena jika ingin menetap lebih lama maka perbedaan itu akan lebih banyak terlihat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H