Nyatanya dunia kerja tidak sekedar menuntut kualitas kesarjanaan, tetapi juga menuntut kualitas sosialisasi. Apalagi dunia kerja yang menuntut kerja sama dan interaksi yang lebih intensif, serta mengutamakan kemampuan logika berbahasa. Sarjana yang hanya sekedar mengandalkan logika dunia keilmuannya tentu akan tersisih.
Sedangkan tipe mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang selain menekuni aktifitas perkuliahan tapi juga menyempatkan untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan. Keaktifan di organisasi ini biasanya dilandasi oleh bakat, hobi, tuntutan jiwa organisasi dan kepemimpinan, tuntutan sosial atau berupa pelarian dari aktivitas perkuliahan yang kadang dianggapnya membosankan.
Konsekuensi logis dari sosok mahasiswa seperti ini tentunya konsentrasi pemikiran dan waktu akan terbagi menjadi dua, satu sisi pada perkuliahan dan sisi yang lain pada kegiatan organisasi. Kegiatan perkuliahan juga terkadang malah terganggu oleh kegiatan organisasi atau bahkan ada yang meninggalkannya karena terlalu asyik. Sehingga terkadang menjadi alasan pembenar bahwa mahasiswa aktivis adalah mahasiswa abadi dan terancam DO.
Namun, bila dilihat dari kemampuan berorganisasi dan kepemimpinan serta sosialisasi tentu akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan mahasiswa yang apatis. Pengalaman dalam mengungkapkan realita dan bermain logika dalam berbahasa semakin mematangkan diri sebagai sosok mahasiswa.
Apalagi bila dikaitkan dengan fungsi lain dari kampus sebagai agen perubahan, maka peran para mahasiswa ini tak dapat dilihat dengan sebelah mata. Mereka selalu menjadi motor penggerak dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dalam menyikapi tuntutan-tuntutan kritis masyarakat dan permasalahan sosial, ekonomi dan politik lainnya.
Kecuali bagi mahasiswa yang membuat aktifitasnya di organisasi kemahasiswaan hanya sebagai pelarian dari aktifitas perkualiahannya. Kegiatan kuliah, penyelesaian tugas, praktik um, aktualisasi ide dan kajian keilmuan, dan sebagainya malah terabaikan. Organisasi kemahasiswaan hanya dijadikan tempat untuk menyenangkan diri.
Sosok mahasiswa aktivis ini tentunya bukan sosok mahasiswa yang diharapkan. Karena memang kewajiban utama seorang mahasiswa adalah mengikuti perkuliahan dengan penuh tanggung jawab. Tidak dibenarkan bila kegiatan organisasi yang kadang menyita waktu kuliah selalu dijadikan alasan untuk tidak mengikuti kegiatan perkuliahan.
Mahasiswa demikian tidak mempunyai pegangan yang jelas sebagai seorang mahasiswa. Akibatnya bisa ditebak, penyelesaian kredit mata kuliah menjadi terhambat. Dan bisa saja julukan mahasiswa abadi pun melekat kepadanya. Bahkan bisa mahasiswa terancam DO.
Jadi mahasiswa harus mempunyai sudah mempunyai gambaran bagaimana harus bersikap dalam berorganisasi dan bersosialisi. Yang terpenting di dalam kegiatan perkuliahan dan organisasi tersebut mahasiswa harus mampu membagi waktu dan prioritas dari kegiatan-kegiatan yang akan dijalaninya.
Semua orang pasti mengunginkan untuk menjadi sarjana plus yaitu sarjana yang tidak hanya pintar dalam keilmuannya tapi juga mampu bersosialisasi dan berorganisasi dengan baik dan bertanggung jawab dengan lingkungannya serta peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Oleh karena itu, kita harus memperbaiki pemahaman bagaimana cara kita berorganisasi, dari berpikir bahwasanya organisasi merupakan sebuah alasan ketika prestasi kita menurun di bidang akademik menjadi pola pikir yang menjadikan sebuah organisasi menjadi sebuah prestasi yang dapat di banggakan.