Cuma roti, ia begitu dipuja. Cuma roti, ia malah menjadi ikon negara. Cuma dibuat dari tepung, air, garam dan ragi, ia membawa turis asing datang mencari. Cuma roti, ia bersiap menjadi salah satu warisan dunia. Iya, cuma roti tapi tak disangka, dirinya menaklukkan hati...
Selain doyan melahap escargot (bekicot), cuisses de grenouille (paha katak), keju dan menenggak wine, orang Prancis juga merupakan bangsa pemakan roti. Roti menjadi makanan yang dikonsumsi oleh 98 persen rakyat Prancis, ragam jenisnya tersebar di seluruh arah mata angin dari Lille hingga Marseille, Rennes hingga Strasbourg, Bordeaux hingga Lyon.Â
Di dalam sebuah roti ada segalanya. Antropolog Prancis Abdu Gnaba yang juga penulis buku Anthropologie des Mangeurs de Pain (Antropologi Para Pemakan Roti) terbitan tahun 2011 menyatakan, "Ketika kami berbicara tentang roti, berarti kami membicarakan tentang diri dan keseharian kami, keluarga, sejarah, masyarakat, krisis... Rotilah yang mendefinisikan dan memberi kami karakter sebagai orang Prancis."Â
Baguette sudah seperti barang sakral, pagi-pagi langsung ngacir rela ngantri panjang di toko roti hanya untuk beli baguette adalah ritualnya. Sudah menjadi pemandangan umum pula banyak orang menenteng baguette di jalan-jalan.
Terlanjur populer, baguette akhirnya dicap oleh dunia luar sebagai ikonnya Prancis terutama kota Paris berbarengan dengan topi béret, lipstik merah (bagi wanitanya) dan atasan bergaris-garis hitam horizontal.
Kini di Prancis ada sekitar 32 ribu toko roti dengan 10 milyar baguette diproduksi tiap tahunnya. Boulangerie, begitulah toko roti disebut atau boulangerie-pâtisserie jika toko tersebut menjual roti beserta kue-kue.Â
Pembuat rotinya disebut boulanger, pembuat pastry disebut pâtissier, kalau jago dua-duanya berarti boulanger-pâtissier. Profesi tukang roti menjadi profesi yang banyak diminati di Prancis.Â
Para calonnya bisa menempuh pendidikan untuk memperoleh sertifikat profesional serta predikat sebagai Artisan Boulanger. Sebagai pengrajin, mereka membuat roti dari mentah, bangun dini hari, menyiapkan, mengolah adonan hingga berwujud roti keluar dari panggangan yang semuanya dilakukan langsung di tempat alias di toko rotinya.Â
Jika nanti anda jalan-jalan ke Prancis, menyambangi toko roti dan pastry adalah agenda wajib. Biarkan kedua mata anda terperangah melihat bejibun roti berbagai bentuk tertata rapi berpadu dengan kue-kue cantik yang berderet ciptakan gairah di lidah. Gak perlu bingung, carilah roti yang paling sederhana dahulu, si baguette.Â
Kata 'baguette' diartikan tongkat seperti baguette de fée (tongkat peri), baguette magique (tongkat sihir) atau baguette de tambour (stik drum) sedangkan roti dalam bahasa Prancis adalah pain (diucapkan "pang", bukan "pain" yang berarti sakit dalam bahasa Inggris, hehe).Â
Baguette berbentuk lonjong panjang dengan ukuran 55 hingga 70 cm, lebar kira-kira 5 hingga 6 cm, berat 250-300 gram. Luarnya keras namun isinya harus lembut dan elastis, kalo ditekan ia akan kembali ke bentuk semula.
Pada kulitnya biasanya terdapat lima hingga tujuh sayatan miring-miring hasil dari praktek scoring (mengiris permukaan adonan sebelum dimasukkan ke oven). Sayatan miring ini juga menjadi trademark-nya baguette, goresan karya sang artisan roti dan memiliki nilai estetis tersendiri.Â
Jika semua orang punya masa lalu, maka baguette pun begitu. Ada tiga kisah yang dikaitkan dengan asal-muasal baguette:
1. Baguette ditemukan oleh tukang rotinya Napoleon di awal abad 19, ia membuat roti yang lebih ringan dan kecil dari roti pada umumnya agar gampang dibawa di saku para prajurit.
2. Baguette diperkenalkan oleh tukang roti asal Austria, August Zang. Pada tahun 1839 ia membuka toko roti di Paris dan menjual roti berbentuk lonjong seperti yang terdapat di negaranya.
3. Ada yang bilang baguette muncul pada tahun 1900 ketika stasiun kereta api bawah tanah Paris (métro) tengah dibangun. Para pekerjanya yang selalu membawa pisau untuk memotong roti kerap menggunakannya untuk berkelahi sehingga sang mandor meminta tukang roti agar membuat roti yang gampang dibelah tanpa harus menggunakan pisau.
Cerita itu dibantah oleh sejarawan penyorot dunia roti, Steven Kaplan yang mengatakan bahwa baguette baru muncul di abad 20 atas permintaan orang-orang kaya di kota yang menginginkan roti segar untuk beberapa kali dalam sehari.Â
Pada masa-masa itu, para pengrajin roti bekerja semalam suntuk dengan kelelahan tiada tara. Akhirnya pada tahun 1919 Undang-undang pun direvisi yang isinya tidak lagi mempekerjakan tukang roti di malam hari. Proses pembuatan roti dipersingkat dengan mengganti ragi yang digunakan saat itu.
Bentuk roti yang dipilih adalah lonjong ramping yang bisa mempercepat waktu panggang sekitar 20 menit. Mulanya baguette tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya namun menjadi populer setelah perang dunia kedua ketika restriksi makanan dicabut.
Kini baguette banyak macamnya seperti baguette au chocolat (baguette isi coklat), baguette aux fruits (baguette dengan buah-buahan), baguette aux céréales (baguette yang dicampurkan sereal), ramuannya tergantung dari kreatifitas setinggi langit masing-masing pembuat roti.
Ada dua tipe baguette yang banyak dikonsumsi masyarakat Prancis yaitu baguette ordinaire (classique)Â dan baguette tradition, kependekan dari kata traditionnel (tradisional).
Baguette ordinaire adalah baguette simpel, harganya murah, di toko roti langganan saya ia dihargai 0,90 sen (sekitar 15 ribu rupiah). Kulitnya berwarna golden, tekstur dalamnya lembut-lembut sedikit kering.Â
Baguette ordinaire menggunakan aditif dalam proses pembuatannya. Ia memerlukan waktu fermentasi yang cukup singkat antara tiga hingga empat jam dengan suhu 20 hingga 29 derajat Celcius.Â
Baguette tradition berbeda. Dalam pembuatannya, aditif dan pewangi buatan tidak diperbolehkan, mati-matian hanya boleh bahan dasar yakni ragi, air, garam dan tepung. Di toko roti langganan ia dihargai 1 euro 10 sen (sekitar 19 ribu rupiah).Â
Baguette tradition mudah dikenali oleh kedua mata karena warnanya yang agak gelap, tekstur dalamnya lembut dan tidak sekering baguette ordinaire. Waktu fermentasi yang dibutuhkan adalah 15 hingga 20 jam pada suhu empat hingga enam derajat Celcius.Â
Label Tradition atau Pain de Tradition Française pada sebuah baguette (dan roti lainnya) merupakan kepastian bahwa produk-produk tersebut bebas dari segala aditif dan pewangi buatan.Â
Baguette dengan label ini lahir akibat membanjirnya baguette bikinan pabrik (industrial) di supermarket ditambah kualitas baguette yang kala itu semakin menurun dengan banyaknya aditif yang digunakan.Â
Untuk membela baguette buatan tangan sang pengrajin dan boulangerie tradisional maka dibuatlah Dekrit Roti, dikeluarkan oleh PM Prancis Édouard Balladur pada 13 September 1993 yang salah satu ayatnya menyebut bahwa roti tradition apapun bentuknya harus dibuat tanpa aditif, tanpa aroma-aroma tambahan dan tanpa pembekuan.Â
Tepung yang digunakan pun harus bermutu, tidak sembarangan. Biasanya pada kertas pembungkus rotinya tertera nama tempat penggilingan di mana tepung itu diproduksi.
Alhasil, roti tradition menjadi buah karya kebanggaan para artisan karena dalam pembuatannya mereka dituntut mencurahkan segala ilmu kerotian mereka untuk menciptakan roti berkualitasss.Â
Bagi para pembeli, label tradition menjadi jaminan bahwa roti yang mereka makan itu 'bersih' tanpa kandungan yang aneh-aneh. Dari segi kesehatan, para pakar di Prancis juga menyarankan untuk mengonsumsi baguette tradition karena ramah untuk usus dan mencegah diabetes.
Dibelah, dioles, dicelupin
Nah sekarang, bagaimana cita rasa sebuah baguette di lidah si penulis yang seorang pendatang asal Bekasi berdarah Solo-Garut-Betawi? Ternyata enak, sekali nyaplok lidah pengen terus-terusan nemplok, rasanya tawar-tawar gurih bikin penasaran. Dan wanginya itu lho, khas.
Apalagi jika beli langsung di tokonya, baru diangkat dari oven, masih panas, mmm... kulitnya yang keras-keras empuk, dalamnya yang lembut, sebuah jaminan sensasi duet maut di dalam mulut...Â
Awal-awal tinggal di Prancis, saya kaget ketika melihat antrean yang mengular di depan toko roti apalagi pagi hari. Kecuali Senin yang tutup, toko roti rata-rata buka tiap hari pukul setengah tujuh pagi lalu tutup untuk istirahat jam satu siang, buka kembali jam tiga sore lalu tutup sekitar pukul tujuh malam.Â
Bagi orang Prancis, membeli baguette segar langsung dari boulangerie adalah prioritas karena ada kualitas dan asal-usul yang jelas. Baguette made in pabrik yang bergentayangan di supermarket tentu saja siap sedia, dengan harga yang lebih murah namun cita rasa dan kesegaran jauh berbeda.
Terkadang muncul pertanyaan jahil dalam benak saya apakah baguette yang dijual di boulangerie benar-benar buatan sendiri atau tukang rotinya curang menjual baguette industrial.
Tiada yang tahu namun ternyata salah satu cara membedakannya adalah dengan memperhatikan penampilannya. Baguette hasil pabrik semuanya identik, dari panjang hingga bentuk sayatannya sedangkan baguette artisanal adalah kebalikannya.Â
Alur hasil sayatan pada kulit baguette tidak pernah sama antara satu dengan lainnya bahkan ada yang terkesan tak sempurna sebagai bukti si tukang rotilah yang melakukan scoring.Â
Lagipula, jika ada boulanger yang ketahuan menjual roti pabrikan dan menyalahgunakan titel Artisan Boulanger maka rezeki cukup sampai di sini, ia akan dikenakan hukuman penjara hingga dua tahun, denda 300.000 euro, izin usaha dicabut, dilarang membuka bisnis apapun hingga lima tahun.
Cara makan baguette juga ada 'aturan' nya sesuai dengan kebiasaan orang Prancis yaitu tidak langsung digigit melainkan dibelah dua dahulu pakai tangan setelah itu disobek baru deh take-off ke mulut.
Jika baguette dinikmati di meja makan biasanya mereka menaruhnya di samping piring masing-masing, permukaannya yang berkerak menghadap ke atas dan tidak pakai piring, iya jadinya berantakan awur-awuran di atas meja tapi semua itu pas de problème (nggak masalah).Â
Jika makan bersama keluarga, biasanya satu baguette akan dioper-oper, masing-masing orang menyobek bagiannya, dengan begitu nggak akan ada bagian baguette yang sakit hati tersia-sia. Namun lain halnya ketika makan formal atau makan di restoran. Baguette akan diiris tipis-tipis lalu disajikan di dalam keranjang roti yang dilapisi kain katun.Â
Meski ikut menikmati enaknya baguette, saya tidak membelinya secara rutin. Jika beli pun saya memakannya hanya untuk ngemil, baik yang classique atau tradition.Â
Bagi orang-orang Prancis, apapun menunya entah itu western atau chinese food, baguette harus tetap ada, harus f.r.e.s.h dan biasanya setelah menyantap hidangan utama, baguette akan dinikmati lagi dengan keju.Â
Ketika sarapan, orang Prancis biasanya makan baguette dengan selai (confiture). Cara makannya dibelah dulu tengahnya lalu kedua sisi belahannya dioleskan selai. Cara lain menikmati baguette adalah dengan mencelupkannya (tentu saja sudah disobek dahulu) ke kopi atau minuman coklat panas.Â
Sejak November 2018 sang baguette tersayang diajukan sebagai salah satu kandidat Prancis untuk masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda Unesco. Dua kandidat lainnya adalah Toits de Paris (atap khas bangunan-bangunan kota Paris) dan La Fête du Biou d'Arbois, sebuah pesta anggur di wilayah Jura, sebelah timur Prancis.Â
Adalah tugas Menteri Kebudayaan untuk cap cip cup kembang kuncup memilih siapa yang berhak melaju lalu melaporkannya tahun depan kepada Pak Presiden Emmanuel Macron.Â
Meski baguette kini banyak dibikin di seluruh dunia namun cita rasa dan auranya tetap terenak jika dinikmati langsung di negeri asalnya. Sensasi ketika berjalan keluar dari boulangerie menyusuri jalan-jalan berbatu di tengah keramaian kota Paris sembari menyobek sang superstar yang masih hangat lalu memasukkannya ke mulut, aahh... la baguette, qu'est-ce que c'est bon!*
Sekali lagi, ini cuma sebuah roti.
Voilà , bonne dégustation!**
Referensi: Satu, Dua, Tiga, Empat
*) Baguette, enak bangeeett
**) Selamat mencicipi
Baca juga:
Kota Paris dan Kereta Apinya, ulasan singkat tentang wajah kereta bawah tanah (métro) kota Paris, Prancis.
Pantai Terindah di Prancis dan Fenomena Air Pasangnya, profil salah satu destinasi wisata di Prancis.Â
Prancis, 28/02/21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H