Tak pandang bulu, pandemi corona juga telah menghantam sektor penerbangan, membuat banyak maskapai menelan rugi sehingga mengakibatkan krisis. Hal inilah yang kini terjadi pada Air France.Â
Pada 20 Mei lalu, airline nomor satu Prancis ini menjadi maskapai pertama yang mengumumkan pemberhentian definitif seluruh armada superjumbo double-decker (pesawat tingkat) mereka Airbus A380 lebih awal dari waktu yang sudah direncanakan yaitu di akhir tahun 2022.
Pesawat Airbus A380 adalah pesawat komersil terbesar termegah yang pernah dibuat oleh anak manusia dan menjadi buah bibir, pusat perhatian yang kelahirannya disambut antusias gegap gempita oleh dunia penerbangan dan para pencintanya.Â
Dengan body sepanjang 73 meter, tinggi 24 meter, lebar kabin bawah (main deck) 6,5 meter dan 5,9 meter untuk kabin atas (upper deck) serta wingspan (rentang sayap) sepanjang 80 meter, burung besi raksasa ini sanggup mengangkut hingga 850 penumpang namun para maskapai biasanya memaksimalkan hanya sekitar 525 penumpang.
Maskapai Singapore Airlines adalah maskapai pertama di dunia yang menggunakan A380 yaitu pada 25 Oktober 2007 dengan destinasi Singapura (SIN)-Sydney (SYD), Australia. Saya masih ingat nomor registrasinya adalah 9V-SKA.Â
Huruf A menandakan urut-urutan A380 ketika bergabung di keluarga besar Singapore Airlines. Pesawat A380 yang datang kedua beregistrasi 9V-SKB, ketiga -SKC, begitu seterusnya. Setelah Singapore Airlines, A380 mulai dioperasikan oleh Emirates (Uni Emirat Arab), Malaysia Airlines, Qantas (Australia) dan lainnya.
Air France yang merger dengan maskapai Belanda KLM di tahun 2004 di bawah bendera Air France-KLM Group dan tergabung dalam aliansi maskapai bernama SkyTeam ini sejak Juli 2019 memang sudah menyatakan ingin menyingkirkan A380 secara bertahap namun dengan hadirnya wabah corona yang tak diundang berujung lockdown yang membuat mandeknya aktivitas penerbangan akhirnya memaksa Air France untuk buru-buru menyudahi hubungannya dengan pesawat montok itu.Â
Profitabilitas yang rendah, bahan bakarnya (kerosene atau minyak tanah) yang lebih boros dan lebih polutif juga menjadi alasan kuat Air France menceraikan A380.
Dengan keempat mesinnya, A380 mengkonsumsi 20 hingga 25 persen lebih banyak bahan bakar per kursi dan lebih banyak mengeluarkan CO2 dibanding pesawat generasi baru.Â
Di sisi lain, Air France saat ini memang tengah memanggul misi untuk mengurangi 50 persen pembuangan CO2 pada penerbangan domestiknya di tahun 2024 nanti.
Air France merupakan maskapai Eropa pertama yang mengoperasikan pesawat raksasa bermesin Rolls-Royce Trent 900 atau Engine Alliance GP7200 pada 20 November 2009 dengan destinasi Paris-New York JFK (Amerika Serikat).Â
Maskapai ini memiliki total 10 armada A380 yang bergantian terbang di antaranya ke Shanghai (Cina), Johannesburg (Afrika Selatan), San Fransisco dan Miami (AS), Abidjan (Ivory Coast atau Pantai Gading) serta Mexico City (Meksiko).
Kini sembilan pesawat telah di-grounded sementara satu sudah diistirahatkan dengan tenang disimpan di Ireland West Airport Knock, Irlandia di bawah kasih sayang Eirtrade Aviation pada Februari kemarin.Â
Setelah putus dengan A380, Air France akan move on mengganti seluruh armada A380 tersebut dengan pesawat generasi baru Airbus A350-900 dan Boeing B787 yang masih dalam proses pengiriman sejak Desember 2019 lalu.Â
Sedangkan untuk penerbangan jarak pendek dan sedang, Air France akan menggantikan A318 dan A319 mereka dengan Airbus A220-300. Bagi Air France pemberhentian A380 ini adalah fase di mana mereka bisa masuk ke dalam atmosfer penerbangan yang lebih kompetitif dengan pesawat yang lebih modern berperforma tinggi serta mengurangi dampak lingkungan.
Armada A380 Air France dapat menampung total 516 penumpang yaitu sembilan untuk kelas La Première (First Class) di kabin bawah, Business Class (80 penumpang) di kabin atas dan kelas Premium Economy (38 penumpang) yang juga berada di kabin atas.Â
Kelas Ekonomi mendapat jatah sebanyak 389 kursi di mana 46 kursi nangkring di kabin atas sementara 343 kursi lainnya ditakdirkan berada di kabin bawah.Â
Meski sama-sama menggunakan A380 namun sebutan untuk nama-nama kelas, konfigurasi tempat duduk dan penampakan interior kabin mulai dari bentuk kursi, warna karpet, hingga tata letak toilet serta galley (dapur pesawat) antar maskapai pasti berbeda satu sama lain sesuai dengan selera masing-masing airline.Â
Dampak keseluruhan dari penghapusan armada A380 pada Air France ini diperkirakan sebesar 500 juta euro (sekitar 8 triliun rupiah).
Bukan itu saja, dengan diberlakukannya lockdown, perbatasan yang ditutup dan kondisi perekonomian yang compang-camping, Air France-KLM harus menelan kerugian bersih sebesar 1,8 miliar Euro (hampir 29 triliun rupiah) di trimester pertama dan sudah diterawang akan terus memburuk hingga trimester ketiga.Â
Alhasil, negara pun turun tangan dengan memberi suntikan obat penenang alias dana sebesar 7 milyar euro (sekitar 112 triliun rupiah). Begitu pula dengan pemerintah Belanda yang tak kalah sayang dengan maskapai nasionalnya KLM dengan mengucurkan bantuan sekitar 2 hingga 4 milyar euro (sekitar 32 hingga 64 triliun rupiah).
Jika Air France sudah menidurkan seluruh A380 untuk selamanya, maka maskapai Jerman Lufthansa masih mengandangkan superjumbo-nya secara bertahap pelan tapi pasti.Â
April lalu enam dari total 14 armada A380 mereka sudah ditarik lebih awal dari waktu yang direncanakan yaitu akhir tahun 2022 ditambah satu pesawat lagi yang masih dalam proses menuju alam pensiun.Â
Sedangkan maskapai timur tengah Emirates (Uni Emirat Arab) selaku pengguna terbesar A380 dengan 115 pesawat, hingga saat ini belum mengumumkan bagaimana masa depan A380 di tangan mereka.
Game over untuk Airbus A380
Keputusan Air France berpisah dari A380 seakan sejalan dengan keinginan sang produsen yang pada Februari 2019 lalu memang sudah berkoar-koar ingin menghentikan produksi A380 di akhir 2021.Â
Pesawat Airbus A380 lahir dari perusahaan multinasional (Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol) bernama Airbus SE (Societas Europaea) yang salah satu pabriknya berlokasi di kota Toulouse di selatan Prancis berjarak 680 km dari Paris.Â
Dalam perjalanannya, pesawat gendut yang memiliki cruising altitude 35000 hingga 43000 ft dan cruising speed 903 kilometer per jam ini ternyata tidak bisa menggoda lebih banyak lagi maskapai-maskapai besar untuk memiliki dirinya.Â
Penjualan yang semakin menurun menjadi sebab utama Airbus berniat menghentikan produksi pesawat yang ditujukan untuk penerbangan jarak jauh ini sekaligus menyaingi kejayaan jumbo jet milik pabrik sebelah yaitu Boeing B747.
Selain itu dengan tubuhnya yang super besar, A380 juga meminta banyak perhatian dan penyesuaian infrastruktur di bandara, misalnya kepemilikan double aerobridge (jembatan yang menghubungkan ruang tunggu penumpang dengan pesawat, biasanya bisa dipanjang-pendekkan) yang mampu melayani boarding dan disembarking penumpang secara bersamaan di upper deck dan main deck dalam satu gate yang sama.Â
Bahkan kini Brussels Airport di Belgia telah memiliki triple aerobridge demi A380. Lainnya lagi, area jarak aman pesawat ketika tengah melaju di landasan (taxiway) juga harus diperluas sesuai dengan besarnya badan sang pesawat dan jangkauan kepak-kepak sayapnya.Â
Dari tahun ke tahun, selera pasar penerbangan memang semakin melirik pesawat dengan body yang lebih kecil, harga yang lebih murah dan hemat bahan bakar seperti Airbus A350. Satu unit A380 dibandrol seharga kira-kira 360 juta euro (sekitar 5,8 triliun rupiah).Â
Sejak 2001 Airbus hanya berhasil menjual 317 unit dari 1400 unit yang ditargetkan dalam kurun waktu 20 tahun. Kini Airbus telah menyantap kerugian hingga 400 juta euro (sekitar 6 triliun rupiah), diawali maskapai Qantas (Australia) yang membatalkan 8 unit lalu diikuti Emirates yang mengurangi 39 pemesanan A380 untuk menggantinya dengan A350 dan A330.Â
Pengalaman mengoperasikan A380
Ketika masih bekerja untuk Singapore Airlines (SQ), saya termasuk salah satu awak kabin edisi awal-awal yang di-training untuk A380 yaitu di tahun 2008.Â
Trainingnya benar-benar memeras otak karena semakin besar pesawatnya semakin banyak pula bagian-bagian pesawat yang harus dipelajari dari inflight service hingga prosedur penyelamatan seperti evakuasi penumpang dalam keadaan darurat kurang dari 90 detik untuk pesawat segede itu lewat pintunya yang berjumlah 16 (10 di kabin bawah dan 6 di kabin atas).
Hal yang saya senangi dari Airbus A380 adalah suaranya yang tidak bising. Di dalam kabin terasa hening, kita bisa mengobrol dengan nyaman, suara tidak harus sampai naik beroktaf-oktaf nyaingin bunyi mesin yang menjerit-jerit, komunikasi dengan para penumpang pun lancar jaya.Â
Bahkan ketika pesawat lift-off untuk take-off terkadang juga tidak terasa, dalam sekejap daratan sudah tertinggal jauh di bawah. Begitu pun dengan turbulence ringan yang seringkali tidak begitu tercicip goncangannya berkat body pesawat yang mega besar.Â
Kelebihan lain, A380 memiliki overhead compartment (tempat penyimpanan barang di atas kursi penumpang) yang lebih besar ditambah leg room yang lebih luas bahkan di kelas Ekonomi. Sedangkan untuk kenyamanan kursi, hal itu saya kembalikan kepada bokong masing-masing penumpang untuk menilai.Â
A380 milik SQ tidak mempunyai First Class melainkan Suite Class yang menawarkan privacy maksimal. Penampakannya berupa bilik-bilik individual dan berpintu.Â
Armada ini juga sebetulnya ditujukan untuk penerbangan jarak jauh meski tidak menutup kemungkinan melayani rute pendek laris manis seperti Singapura (SIN)-Hong Kong (HKG) yang hanya 3 jam, dioperasikan oleh 23 awak kabin dan 2 cockpit crew. Untuk itu di dalam badan pesawat A380 terdapat crew bunk, sebuah ruang istirahat khusus kru.Â
Ketika sedang bertugas, saya lebih senang bekerja di kelas Ekonomi di kabin atas (waktu itu SQ belum memiliki kelas Premium Economy). Kenapa suka di kabin atas? Karena penumpangnya lebih sedikit (88 orang) daripada kabin Ekonomi di bawah yang berjumlah sekitar dua ratusan orang lebih dan jika saat itu tidak full load maka akan lebih sedikit lagi jumlah penumpangnya. Hehehe.Â
Namun jika saya off duty dan kebetulan berpergian menggunakan A380, saya juga lebih memilih duduk di kabin atas karena suasananya yang tenang meski kenyataannya saya selalu ditempatkan di bawah dan dilarang ngotot.Â
Kokpitnya di mana Der? Kokpitnya tentu saja di depan dong tapi berada tepat di tengah-tengah antara kabin bawah dan kabin atas yang dapat diakses melalui sedikit anak tangga dari Suite Class.Â
Lalu, agar penumpang dan kru bisa naik-turun berkunjung antar kabin, A380 dilengkapi dengan alat bantu tersohor yang bernama... tangga! Pada A380 milik SQ, terdapat satu tangga di Suite Class sebagai akses naik ke Business Class dan satu tangga di buntut pesawat untuk naik ke kelas Ekonomi yang ada di kabin atas.
Selama saya terbang mengoperasikan A380, saya merasakan bahwa pesawat ini selalu membawa antusiasme tersendiri bagi para penumpangnya karena tidak semua destinasi dilayani oleh A380 dan jika memang dilayani, tidak semua orang bisa secara reguler menikmati pengalaman terbang bersama sang raksasa udara ini. Terkadang di sela-sela tugas, saya tiba-tiba dituntut menjadi fotografer dadakan untuk penumpang yang girang ingin foto sana-sini.Â
Kini sungguh malang nasib A380 yang harus kembali ke sarang sebelum ia mengarungi angkasa lebih jauh dan lebih lama lagi. Memang benar kata orang bahwa sesuatu yang terbesar, tergagah, terganteng, tercantik, terindah itu belum tentu yang terbaik.Â
Si burung besi raksasa yang awalnya dielu-elukan dan menjadi prestise maskapai-maskapai besar akhirnya harus menyudahi kejayaan di tangan maskapainya sendiri, lebih menyakitkan lagi, secara prematur.Â
Tapi hal itu tidak menghentikan saya untuk selalu memujanya. Airbus A380 telah menjadi kepingan besar dalam sejarah dunia penerbangan dan jejak-jejaknya tidak mungkin terhapus, selamanya akan tertoreh nyata di bentangan indah cakrawala...
Derby Asmaningrum
Prancis, 1 Juni 2020
Artikel tentang pengalaman saya bekerja sebagai awak kabin bisa dibaca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H