Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu-ibu biasa

Sedang tinggal di negeri orang. Suka musik rock. Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing. Lulusan S1 Fikom Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Jim Morrison, Keabadian Pujangga Rock N' Roll dan Kunjungan Saya ke Makamnya di Paris, Prancis

3 Desember 2019   16:23 Diperbarui: 5 November 2022   00:32 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi makam Jim Morrison di bulan Juli 2019 (foto: Derby Asmaningrum)

Puisi dikawinkan dengan rock n' roll? Sah! Namun bukan Pak Penghulu dan saksi-saksi yang bilang begitu, melainkan The Doors!

Yes, back to the 60's! The Doors yang diawaki empat pemuda bertalenta Ray Manzarek (keyboard), Robby Krieger (gitar), John Densmore (drum), dan vokalis sekaligus frontman mereka yang menawan misterius bernama Jim Morrison tidak asal-asalan membawa musik mereka ke kancah rock n'roll. 

Background musik jazz, blues, folk dan flamenco yang dimiliki oleh para personelnya menjadi bekal enak yang akhirnya mengenyangkan perut mereka ketika bendera The Doors berkibar. Sebuah masterpiece milik The Doors yang paling harum namanya hingga saat ini dan selamanya adalah tembang kramat berjudul Light My Fire (The Doors, 1967). 

Nafas yang dihembuskan The Doors adalah psychedelic rock, sebuah aliran musik yang berkembang di tahun 60-an dan dipengaruhi oleh pemakaian obat-obatan terutama LSD (Lysergic acid Diethylamide) atau cukup disapa Acid yang membuat pemakainya masuk ke alam halusinasi. 

Karakter musik psychedelic rock terdapat pada tatanan irama yang kompleks seakan menghipnotis, melodi yang berulang-ulang, instrumen solo yang panjang, suara-suara efek yang ngejreng dibarengi kehadiran suara keyboard dan synthesizer yang menonjol serta lirik-lirik yang surealis.

Psychedelic rock terkadang juga dirasuki elemen-elemen musik suku Indian serta alat musik tabla dan sitar yang berasal dari India.

The Doors dikenal sebagai sebuah band yang kerap membawakan puisi melalui mulut sang vokalis Jim Morrison di saat mereka tengah tampil. Aksi panggung Jim yang teatrikal baik di bawah pengaruh acid LSD atau tidak, penampilan The Doors terus menyedot perhatian khalayak yang akhirnya mendongkrak eksistensi mereka terutama Jim Morrison, yang membuat namanya semakin menggelegar dibanding band The Doors sendiri.

The Doors. Ki-ka: John Densmore (drum), Ray Manzarek (keyboard), si seksi Jim Morrison (vokal), Robby Krieger (gitar)/ultimateclassicrock.com
The Doors. Ki-ka: John Densmore (drum), Ray Manzarek (keyboard), si seksi Jim Morrison (vokal), Robby Krieger (gitar)/ultimateclassicrock.com
James Douglas Morrison lahir pada 8 Desember 1943 di Florida, Amerika Serikat dari ayah yang seorang tentara militer. Ia adalah seorang lulusan sekolah film UCLA (University of California Los Angeles), seorang pembaca buku yang rakus, pengidola akut filsuf Jerman Friedrich Nietzsche dan penyair Prancis Arthur Rimbaud. 

Jika grup band Base Jam mengaku bukan pujangga yang pandai merangkai kata, maka Jim adalah kebalikannya, passion-nya adalah sastra, menulis puisi. Ia bukanlah seseorang yang musikal, tidak bisa memainkan alat musik (kecuali maracas) terlebih membaca not balok dan sejenisnya namun ia tergoda ingin membentuk sebuah band ketika tak sengaja bertemu dengan teman kuliahnya, pemain keyboard briliant Ray Manzarek. 

Jim menulis hampir seluruh lagu The Doors yang banyak berasal dari coretan-coretan puisinya seperti When The Music's Over (Strange Days, 1967), The End (The Doors, 1967), Soul Kitchen (The Doors, 1967), LA Woman (LA Woman, 1971) dan salah satu tembang kesukaan saya Moonlight Drive (The Doors, 1967) yang ditulis dari jendela apartemennya di pinggir pantai. 

Mistis romantis. Itulah kesan yang didapat ketika mendengar tembang yang digarap dengan permainan bottleneck slide sang gitaris Robby Krieger, menjadikannya ramuan apik sebuah psychedelic love song. 

Let's swim to the moon
Let's climb thru the tide
You reach a hand to hold me but I can't be your guide
It's easy to love you as I watch you glide
We're falling through wet forests on our moonlight drive

-Moonlight Drive- (The Doors, 1967)

Pemberontakan, protes dan kekacauan adalah hal-hal yang dinikmati seorang Jim Morrison. Hal ini berpengaruh kepada lirik lagu-lagu The Doors dan puisi-puisinya yang cenderung provokatif, menggambarkan sisi hitam kehidupan, mengglamorkan kematian sehingga pada jamannya.

The Doors juga dikenal sebagai band pendobrak gerakan hippie yang saat itu mewabah di Amerika Serikat memproklamasikan cinta, kedamaian dan flower power attitude. Meski begitu, sang rockstar tetaplah lihai dalam menggambarkan romantisme dan sensualitas dalam karya-karyanya. 

Sang Pujangga Rock n' Roll, frontman terbaik sepanjang masa! (cbsnews/Henry Diltz)
Sang Pujangga Rock n' Roll, frontman terbaik sepanjang masa! (cbsnews/Henry Diltz)
Dianugerahi otak yang jenius, wajah yang begitu indah dengan tubuh yang menjulang tinggi proporsional membuat Jim digandrungi para wanita, termasuk saya meski saya jelas-jelas belum lahir di tahun 60-an dan orangtua saya juga masih remaja debutan di jaman itu. 

Majalah Village Voice edisi Desember 1967 menyebut Jim sebagai simbol seks pria setelah aktor James Dean yang tewas karena kecelakaan mobil di tahun 1955. 

Majalah Time menjulukinya 'Dionysus of Rock n' Roll' sedangkan para fans memanggilnya 'The Lizard King' yang berasal dari penggalan puisinya berjudul Celebration of The Lizard di mana Jim menuliskan: 'I am the lizard king, I can do anything'.

Puisi tersebut kemudian diramu menjadi lagu, dimasukkan ke dalam album live The Doors bertajuk Absolutely Live (1970) dan kerap dibawakan ketika mereka tampil. 

Sepak terjang Jim sebagai vokalis diganjar dengan reward. Suara sendu dan teriakan rock n' roll-nya yang khas, aksi panggungnya yang unik terinspirasi dari tarian Shaman suku Indian Amerika, lirik lagu dan torehan puisi-puisi yang maknanya kadang sulit dimengerti, telah membuat The Doors menjadi sebuah band yang berkarakter. 

Majalah Rolling Stone menempatkan Jim di posisi ke-47 dalam daftar '100 Greatest Singers of All Time' sedangkan majalah Classic Rock memberinya ranking ke-22 untuk tahta '50 Greatest Singers in Rock'. Di tahun 1993, Jim Morrison diciduk ke dalam Rock and Roll Hall of Fame sebagai personil The Doors.

Salah satu aksi teatrikal Jim yang sekaligus memamerkan kejeniusan The Doors adalah ketika mereka membawakan lagu epic The End pada konser ikonik The Doors di Hollywood Bowl pada Juli 1968 yang juga disaksikan Mick Jagger dari The Rolling Stones. Lagu ini terdapat di album self-titled perdana mereka The Doors (1967) dan direkam live di studio tanpa ada proses overdub dan sejenisnya. 

The End menjadi lagu terpanjang pada album tersebut (sekitar 12 menit) di mana terdapat Oedipal (Oedipus complex) spoken word oleh sang vokalis. Gelap dan suram, tembang ini awalnya hanyalah sebuah lagu putus cinta biasa yang kemudian berkembang menjadi perjalanan sang rockstar menuju rasa sakit dan kematian. 

Konser The Doors di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat pada 5 Desember 1967 menjadi saksi kerebelan Jim. Kala itu ia tengah asyik bermesraan dengan seorang fans di belakang panggung. Tiba-tiba salah seorang polisi yang tidak tahu bahwa ia adalah sang vokalis tersohor The Doors, menegurnya untuk kembali ke arena konser. 

Jim sontak tersinggung dan menjawab dengan kata-kata tak senonoh. Sang polisi pun menghadiahinya dengan semprotan gas air mata. Sang rockstar tentu saja tidak terima. Ia membawa masalah ini ke atas pentas dan terang-terangan menantang polisi tersebut.

Kali ini gantian pihak polisi yang marah sehingga mereka memutuskan untuk menangkap Jim langsung saat itu juga di atas panggung. Insiden ini pun menjadi awal menurunnya pamor The Doors. 

Ada lagi kasus di Amsterdam, Belanda pada September 1968 ketika The Doors dijadwalkan tampil dalam sebuah festival musik bersama senior mereka, The Jefferson Airplane. Jim yang sudah teler berat akibat mengkonsumsi ganja secara berlebihan yang diberikan fansnya tiba-tiba naik ke atas pentas ketika The Jefferson Airplane tengah beraksi, hanya untuk numpang pingsan. 

Lucunya, penonton mengira itu adalah bagian dari aksi panggung. Setelah dimaafkan setengah hati oleh sang senior, The Doors tampil sukses meski trio karena sang vokalis harus diseret ke rumah sakit. 

Tak sampai di situ, konser The Doors bulan Maret 1969 di kota Miami, Amerika Serikat lagi-lagi menjadi bukti kalau Jim memang mencintai kekacauan.

Ia yang waktu itu berada di bawah pengaruh alkohol, diduga membuka celana, menunjukkan alat kelaminnya, mengucapkan kata-kata cabul lalu melakukan masturbasi di atas panggung, di hadapan sekitar 12.000 anak muda yang ratusan di antaranya adalah gadis-gadis remaja. 

Namun di persidangan, para personel The Doors lainnya membantah hal yang dituduhkan kepada frontman mereka yang semakin unpredictable itu lagipula tidak ada foto-foto yang menjadi bukti akurat tentang insiden tersebut.

Jim telah mengajukan banding namun kasusnya belum terselesaikan karena ia terlanjur pergi dan tidak pernah kembali. Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, pada 9 Desember 2010 mantan Gubernur Florida Charlie Crist akhirnya menyudahi kasus tersebut dan memaafkan perbuatan sang rockstar. 

Paris, tragis

This is the end, beautiful friend
This is the end, my only friend, the end
It hurts to set you free
But you'll never follow me
The end of laughter and soft lies
The end of nights we tried to die
This is the end

-The End- (The Doors, 1967)

Semenjak tenar bersama The Doors, kehidupan Jim Morrison menjadi tak terkendali, candu alkohol dan heroin menjadi teman baru yang membuat dirinya tenggelam dan membawa karir The Doors ke ujung tanduk. Album studio keenam The Doors bertitel L.A. Woman (rilis April 1971) dengan single andalan Love Her Madly dan Riders On the Storm, ternyata menjadi karya terakhir The Doors bersama sang vokalis. 

Setelah L.A. Woman dirilis, ia pamit kepada sang keybordis Ray Manzarek untuk plesiran ke kota Paris, Prancis sekalian memperkaya ilmu sastra serta bertemu dengan kekasihnya Pamela Courson yang telah lebih dulu tiba di sana. Pada pagi hari tanggal 3 Juli 1971, Jim Morrison ditemukan tewas di dalam bathtub kamar mandi di apartemen yang disewanya bersama sang pacar. 

Penyebab resmi kematiannya adalah heart failure. Namun rumor yang berhembus nampaknya lebih kencang mengatakan bahwa ia tewas karena konsumsi alkohol berlebihan dan overdosis heroin.

Ada juga spekulasi yang berbisik kalau Jim memalsukan kematian guna menghindar dari popularitas yang melilitnya.  Tanpa autopsi, hingga sekarang penyebab kematian sang rockstar tidak pernah jelas, tragedi yang menimpanya menjadi misteri hebat dalam sejarah rock n' roll. 

Bersama sang kekasih di Prancis, 28 Juni 1971, beberapa hari sebelum kematiannya (dangerousminds.net/Alain Ronay)
Bersama sang kekasih di Prancis, 28 Juni 1971, beberapa hari sebelum kematiannya (dangerousminds.net/Alain Ronay)
Setelah kematiannya, The Doors melanjutkan karir tanpa vokalis baru karena menurut mereka Jim Morrison tidak bisa tergantikan. Sebuah album bertajuk An American Prayer (1978) yang memperdengarkan puisi-puisi Jim Morrison yang direkamnya di tahun 1969 hingga 1970, menjadi album pamungkas The Doors. 

Di tahun 1991, sang drummer John Densmore menerbitkan autobiografi, kisah hidupnya bersama The Doors berjudul Riders On the Storm: My Life with Jim Morrison and The Doors dan menjadi best seller.

Selain berisi kehidupan pribadi dan karir musiknya, ia juga menceritakan lika-liku The Doors. Bukunya sangat menarik dan inspiratif dikemas dengan bahasa yang lugas membuat pembaca serasa dibawa ke kehidupan tahun 60-an, merasakan greget The Doors dan mengenal sosok Jim Morrison. 

Buku yang menguak kisah The Doors dari sudut pandang sang drummer (foto: Derby Asmaningrum)
Buku yang menguak kisah The Doors dari sudut pandang sang drummer (foto: Derby Asmaningrum)
Sang Rockstar Pujangga pun tidak pergi begitu saja meninggalkan tanda tanya besar bagi alam semesta. Selain lirik lagu yang diciptakannya, buku kumpulan puisinya juga menjadi warisan untuk para penggemarnya, para pecinta sastra, para pecinta The Doors, yaitu The Lords and The New Creatures (1971).

Buku tersebut berisi pemikirannya tentang sisi gelap masyarakat seperti seks, narkoba, ketenaran, dan kematian dilanjutkan dengan Wilderness Volume 1 (1989) yang di dalamnya terdapat segelintir puisi yang belum pernah dipublikasikan, beberapa foto, tulisan tangan Jim serta sebuah self-interview. 

Sedangkan buku selanjutnya, The American Night Volume 2 (1991) memuat kumpulan puisi-puisi terakhir Jim sebelum kematiannya yang ia beri judul Paris Journal.

Puisi-puisi di dalam buku Wilderness dan The American Night dikumpulkan oleh orangtua sang kekasih Pamela Courson bersama salah seorang sahabat Jim. Mereka menyortir puisi-puisi tersebut tanpa mengubah apa yang sudah dituliskan oleh Sang Rockstar.  

Dua dari tiga buku kumpulan puisi Jim Morrison yang saya miliki (foto: Derby Asmaningrum)
Dua dari tiga buku kumpulan puisi Jim Morrison yang saya miliki (foto: Derby Asmaningrum)
Salah satu puisi Sang Rockstar yang bikin saya klepek-klepek (foto: Derby Asmaningrum)
Salah satu puisi Sang Rockstar yang bikin saya klepek-klepek (foto: Derby Asmaningrum)
'Bertemu' Sang Pujangga 
Jim Morrison dimakamkan di kompleks pemakanan Père Lachaise yang terletak di dalam kota Paris. Sang kekasih berhasil mendapatkan sertifikat kematian Jim dengan profesi sebagai penyair, bukan seorang musisi karena mengingat reputasinya sebagai rockstar pembuat onar, maka kecil kemungkinan ia mendapat izin untuk dimakamkan di sana. 

Tak hanya Jim Morrison, Père Lachaise juga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi nama-nama terkenal seperti Édith Piaf (penyanyi Prancis), Oscar Wilde (penyair Irlandia), Molière (pemain drama, aktor, penyair dan penulis besar Prancis) hingga Frédéric Chopin (komposer dan pianis Polandia).

Luas kompleks pemakaman ini mencapai 44 hektar dan memiliki sekitar 70.000 slot penguburan dan merupakan kompleks pemakaman terbesar di kota Paris. 

Di kelilingi deretan gedung apartemen warga, kantor, berbagai restoran, jalan raya hingga supermarket, Père Lachaise menjadi salah satu obyek wisata kota Paris dan tidak pernah sepi dari kunjungan turis-turis lokal, internasional ataupun les Parisiens (sebutan untuk penduduk kota Paris) sendiri. 

Lokasinya mudah dicapai dengan bus apalagi dengan menumpang kereta api bawah tanah (métro) karena stasiun keretanya yang juga bernama Père Lachaise hanya berjarak beberapa langkah dari area kompleks pemakaman. Gak bakal nyasar dan nangis kebingungan. 

Jadi nanti kalau teman-teman Kompasianer tengah jalan-jalan ke Paris, selain Menara Eiffel dan Museum Louvre yang tersohor itu, jangan lupa untuk bertandang ke sini sekalian intip-intip arsitekturnya.

Rindang, adem, dan sepoi-sepoi di musim panas, kalau kita capek mengitari area pemakaman, ada sebuah taman yang diisi dengan banyak kursi untuk melepas lelah ditambah toilet yang siap siaga di dekat pintu keluar.

Pintu masuk kompleks pemakaman Père Lachaise (foto: Derby Asmaningrum)
Pintu masuk kompleks pemakaman Père Lachaise (foto: Derby Asmaningrum)
Bulan Juli kemarin ketika musim panas tengah ganas, saya menyempatkan diri ke lokasi, tujuannya apalagi kalau bukan melihat makam pahlawan saya, Jim Morrison. Kompleks pemakaman ini terbuka untuk umum dan bebas biaya masuk alias gratis bahkan ada jasa tour guide di akhir pekan bagi yang menginginkan. 

Disesuaikan dengan musim dan pergantian waktu yang terjadi di Prancis, bulan November hingga pertengahan Maret pengunjung dapat datang dari pukul 08.00-17.30 (Senin-Jum'at), pukul 08.30-17.30 (Sabtu) dan pukul 09.00-17.30 (Minggu dan tanggal merah).

Sedangkan pada pertengahan Maret hingga Oktober, kompleks pemakaman ini akan buka dari jam 08.00-18.00 (Senin-Jum'at), jam 08.30-18.00 (Sabtu), dan dari jam 09.00-18.00 (Minggu dan tanggal merah).

Salah satu jalan menuju makam Jim Morrison (foto: Derby Asmaningrum)
Salah satu jalan menuju makam Jim Morrison (foto: Derby Asmaningrum)
Di sebelah kiri setelah pintu masuk, selain terdapat pos jaga dan petugasnya, juga tepampang peta pemakaman. Pada peta tersebut, tiap-tiap makam diberi nomor untuk memudahkan pencarian para pengunjung. 

Satu yang menarik, hampir semua pengunjung ternyata mencari makam Jim Morrison, saya dan mereka bareng-bareng menelusuri peta dengan telunjuk untuk menemukan nomor makamnya. Semua bibir manusia saat itu mengucapkan satu nama, Jim Morrison! 

Sebetulnya jika dilihat dari peta, lokasi makam Sang Legenda rock n' roll tersebut tidaklah jauh dari pintu masuk namun kenyataannya saya masih harus mentok sana-sini nanjak banyak turun dikit melewati berbagai macam makam yang berjajar teratur. 

Setelah berpapasan dengan beberapa gerombolan anak muda berkaos The Doors, saya semakin yakin sebentar lagi akan mencapai tujuan. Dan setelah naik beberapa langkah, akhirnya makam Jim nampak di pelupuk. 

Sialnya, terdapat pagar pembatas sehingga para pengunjung tidak bisa menyentuh makam karena sepertinya Pemkot Paris berkaca dari kasus-kasus terdahulu, banyak penggemar fanatik (tidak bertanggung jawab) yang datang lalu seenaknya minum-minum di sana, coret sana coret sini hingga mengotori makam sang idola dan mengganggu ketertiban umum. Tapi wajar sih, ini adalah makam Jim Morrison, rockstar penuh sensasi yang namanya malah terus meroket setelah kematiannya. 

Kondisi makam Jim Morrison di bulan Juli 2019 (foto: Derby Asmaningrum)
Kondisi makam Jim Morrison di bulan Juli 2019 (foto: Derby Asmaningrum)
Tak ada pilihan, akhirnya saya hanya bisa mengamati dan mengambil gambar dari balik pagar pembatas. Sebuah makam yang teramat sederhana untuk seorang rockstar besar bergelimang kontroversi namun nampak segar dengan taburan berbagai bunga, boneka, hingga foto-foto yang tersebar di pusara sang pujangga, sebuah pembuktian bahwa Jim Morrison tetap hidup di hati para penggemarnya. 

Semua pengunjung tertib, tahu diri dan antri satu persatu untuk bisa mengambil gambar dan mengamati sejenak makamnya yang tidak pernah sepi. Tiap saat, orang-orang dari berbagai generasi datang silih berganti dan sepanjang pengamatan saya, makam Jim Morrison-lah yang banyak menarik minat pengunjung. Saya pun terpukau, The Lizard King, hanya berada beberapa langkah di depan mata, meski hanya dalam keheningan dan kenangan. 

Sang Pujangga, tetap dicinta (foto: Derby Asmaningrum)
Sang Pujangga, tetap dicinta (foto: Derby Asmaningrum)
The Doors boleh saja menciptakan dua tembang epic yang membuat saya merinding takjub, When the Music's Over dan The End. Tapi kenyataannya musik mereka tidak pernah game over, tetap hidup, nostalgic dengan kejayaan yang sebenar-benarnya.

Terbukti, penikmat The Doors bukan hanya dari kalangan kaum super jadul saja, musik mereka pun telah menjadi inspirasi bagi banyak generasi sesudahnya. 

Well the music is your special friend
Dance on fire as it intends
Music is your only friend
Until the end 

-When the Music's Over-
(Strange Days, 1967)

Jim Morrison telah tiada, pemain keyboard The Doors yang super jenius Ray Manzarek turut menyusul sang frontman. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Jerman pada 20 Mei 2013 setelah bergulat dengan kanker.

Kini hanya tinggal tersisa sang gitaris Robby Krieger dan sang drummer John Densmore yang terus melanjutkan legacy The Doors. Bulan Januari 2017 lalu mereka larut dalam perayaan 50 tahun karier The Doors bersama para sahabat dan penggemar mereka di Venice Beach, California yang merupakan kawasan seniman tempat The Doors dilahirkan. 

Dan terakhir, teruntuk seorang penyair yang telah menghidupkan dan mengharumkan rock n' roll to the fullest, lyricist handal, sang seniman sejati, The End bukanlah akhir tapi akan selalu menjadi awal kebangkitan kharisma dan karya-karyamu sebagai bukti sebuah dedikasi.

Musik yang kau lumuri sastra, takkan pernah berhenti membara, darimu, pujanggaku. Light My Fire, The Lizard King! 

Jim Morrison, kau abadi.

Long Live Rock n' Roll..!!


Light My Fire
Lirik/lagu : The Doors
Album : The Doors (1967)
Label : Elektra

 ********

Derby Asmaningrum
Paris, 3 Desember 2019 

Referensi:
Densmore, John. 1991. Riders On the Storm: My Life with Jim Morrison and The Doors. New York: Dell Publishing
Morrison, Jim. 1989. The Lost Writings of Jim Morrison:  Wilderness Volume 1. New York: Vintage Books
Morrison, Jim. 1991. The American Night: The Writings of Jim Morrison Volume 2. New York: Vintage Books 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun