Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu-ibu biasa

Sedang tinggal di negeri orang. Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing. Lulusan S1 Fikom Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pramugari, di Balik Senyum dan Anggunnya Seragam

10 April 2019   04:33 Diperbarui: 10 April 2019   13:36 4419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akhirnya saya dapat memegang dan mengagumi kemegahan Piramida Giza di Mesir. Sesuatu yang dulu hanya bisa saya lihat gambar-gambarnya di buku-buku pelajaran Sejarah (foto : dok. Derby Asmaningrum)

Pramugari. Mereka menjalani hidup di hamparan cakrawala. Berjanji setia mengikuti ke mana pun si burung besi mengangkasa. Berani terbang tinggi beribu-ribu kaki menyeberangi horison yang membentang, memendam kerinduan beribu-ribu mil jauhnya dari orang-orang yang dicinta, senantiasa menggoreskan cerita dari setiap tempat di penjuru bumi yang disinggahi.

Ditemani sebuah koper yang menjadi saksi bisu tiap-tiap perjalanan, mereka tak ragu menapaki kaki langit mengantar ribuan nyawa melintasi darat dan lautan dengan menggenggam satu misi utama, selamat sampai di tujuan.

Menjadi seorang pramugari atau awak kabin memang bisa mewujudkan impian segelintir wanita yang ingin sekali, katakanlah keliling dunia, berkesempatan mendatangi tempat-tempat di segala sudut bumi yang belum tentu orang lain bisa pergi ke sana, diinapkan di hotel-hotel berbintang serta meraup upah yang tidak sedikit, menjadi suatu gambaran profesi yang sangat menggiurkan. 

Selama ini yang terlihat oleh mata, tugas dari seorang pramugari hanya sebatas mendorong-dorong trolley menyajikan makanan dan minuman kepada para penumpangnya dibarengi seulas senyum dalam balutan seragam maskapai yang anggun. Sesuatu yang sangat mudah sekali dikerjakan, namun di balik semua itu, terdapat sebuah kerja keras, dedikasi serta pembelajaran yang takkan pernah terhenti. 

Kalau mau menengok lebih dalam, perjalanan ketika digembleng menjadi seorang awak kabin penuh dengan lika-liku, tidaklah segampang yang orang bayangkan, setidaknya untuk saya yang pernah bekerja untuk maskapai internasional milik negara Singapura yaitu Singapore Airlines (berkode SQ dan SIA) yang sudah 4 kali menyabet gelar sebagai airline terbaik nomer satu di dunia (Airline of The Year) ditahun 2004, 2007, 2008 dan 2018 versi situs penerbangan wahid Skytrax.

Situs Skytrax sendiri merupakan perusahaan dari Inggris yang melakukan riset mengenai maskapai penerbangan. Perusahaan ini melakukan survei untuk menentukan maskapai, bandar udara, hiburan dalam pesawat, staff, dan elemen perjalanan udara terbaik lainnya.

Selain survei ini, Skytrax juga memiliki forum maskapai penerbangan tempat penumpang pesawat dapat memberikan ulasan untuk dilihat oleh calon penumpang lain (Wikipedia).

Kode 2 digit SQ merupakan pemberian IATA (International Air Transport Association atau Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional) di mana Singapore Airlines tergabung sebagai anggota. IATA adalah sebuah organisasi perdagangan internasional yang terdiri dari maskapai-maskapai penerbangan bermarkas di Montreal, Kanada. 

Maskapai-maskapai penerbangan anggotanya diberikan kelonggaran khusus sehingga dapat mengonsultasikan harga antara sesama anggota melalui organisasi ini. IATA juga bertugas menjalankan peraturan dalam pengiriman barang-barang berbahaya dan menerbitkan panduan Peraturan Barang-barang Berbahaya IATA (IATA Dangerous Goods Regulations), tulis Wikipedia.

Sedangkan kode 3 digit SIA disematkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization atau Organisasi Penerbangan Sipil Internasional), yaitu sebuah lembaga dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengembangkan teknik dan prinsip-prinsip navigasi udara internasional serta membantu perkembangan perencanaan dan pengembangan angkutan udara internasional untuk memastikan pertumbuhannya terencana dan aman.

Dewan ICAO mengadopsi standar dan merekomendasikan praktik mengenai penerbangan, pencegahan gangguan campur tangan yang ilegal, dan pemberian kemudahan prosedur lintas negara untuk penerbangan sipil internasional (Wikipedia).

Iseng-iseng berhadiah
Sejak jaman dahulu kala, tidak pernah terlintas dalam benak ini untuk menjadi seorang pramugari namun saya sudah sangat kenal dengan dunia penerbangan berkat Papa saya yang seorang teknisi senior maskapai Merpati Nusantara Airlines (sebelum perusahaan ini gulung tikar) dan kini bekerja untuk Trigana Air Service serta kerap pula diminta untuk mengajar para pilot.

Waktu saya kecil Beliau sering sekali membawa saya ke area anjungan di bandara Soekarno-Hatta dan kami akan berada di sana berjam-jam untuk sekedar menyaksikan pesawat-pesawat yang tengah berseliweran.

Semua berawal dari keisengan saya menjawab lowongan kerja untuk bergabung sebagai awak kabin Singapore Airlines yang saat itu saya ketahui memiliki keunggulan dalam inflight service-nya.

SQ sendiri tidak hanya membuka kesempatan bagi warga Singapura saja. Maskapai tersebut juga membuka lowongan bagi warga negara Indonesia, Malaysia, India, Taiwan, Jepang, Cina, Korea Selatan dan terakhir ketika saya akan resign, mereka mulai membuka lowongan untuk warga negara Thailand dan Filipina.

Ketika itu, mereka mencari calon pramugari asal Indonesia dengan kriteria utama lulusan Sarjana S1 dari segala jurusan dengan kemampuan berbahasa Inggris yang lancar, tinggi minimal 158 cm (seingat saya) dibarengi berat badan yang proporsional.

Saya yang seorang fresh graduate jurusan jurnalistik dan kala itu baru sekitar dua bulan bekerja sebagai wartawan freelance, merasa tergelitik untuk coba-coba melamar ke sana, siapa tahu hasilnya terpetik. Surat lamaran pun akhirnya diketik.

Beberapa bulan kemudian saya diminta untuk menghadiri seleksi calon pramugari di Hotel Mulia Senayan, Jakarta Selatan. Pada tanggal yang ditentukan, saya datang bak tim sepakbola underdog yang akan bermain tanpa tekanan. Kalau diterima ini akan menjadi rezeki saya, jika tidak pun, itu bukanlah akhir dunia. 

Tes pertama adalah pengukuran tinggi badan. Saya yang memiliki tinggi cuma 165 cm dengan berat 50 kg, ternyata lolos. Pada tes kedua kami diminta untuk melakukan perkenalan diri dalam bahasa Inggris (seluruh tes tertulis dan wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris), saya pun masih diloloskan.

Tes ketiga adalah tes tertulis yang dapat saya lalui dengan lumayan baik sehingga melaju ke tes keempat yaitu wawancara dengan seorang Bapak bule perwakilan dari SQ. Sebetulnya sampai sini saya mandek namun SQ masih memberi kesempatan dengan meloloskan saya ke tahap berikutnya.

Tes kelima yang dilaksanakan di lain hari juga merupakan wawancara yang menghadirkan petinggi-petinggi SQ bagian Cabin Crew Service yang datang langsung dari Singapura disertai beberapa pramugari senior SQ asal Indonesia. Setelah diwawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang intens dan menjebak, saya dinyatakan lolos lalu menuju tes keenam yang merupakan tes terakhir yaitu fitting seragam. 

Kami diharuskan memakai seragam SQ yang telah disediakan kemudian diminta berjalan mondar-mandir untuk dilihat pantas tidaknya berada di dalam balutan seragam mereka.

Pada hari itu juga, pihak SQ langsung mengumumkan hasil seleksi. Saya akhirnya dipercaya menjadi salah satu awak kabin maskapai yang berdiri pada 1 Mei 1947 dengan nama awal Malayan Airways tersebut. Kala itu, dari ratusan pelamar, SQ hanya memilih 13 orang, termasuk saya.

Setelah menandatangani kontrak untuk 5 tahun kerja, sekitar sebulan kemudian (atau dua bulan, saya lupa) saya dan 12 orang lainnya berangkat ke Singapura untuk menjalani medical check-up. Setelah hasil medical check-up tidak menunjukkan kelainan dan work permit sudah digenggaman, kami diharuskan mencari akomodasi sendiri karena SQ tidak memberi fasilitas tempat tinggal atau mess untuk para awak kabin dan pilotnya.

Buat saya ini lebih baik karena saya bisa hidup berbaur dengan orang lokal Singapura. Akhirnya saya mendapat tempat tinggal di kawasan Pasir Ris, tak jauh dari Bandara Changi bersama 2 mojang Bandung yang canthik-canthik yang hingga kini kami masih saling bertegur sapa meski hanya lewat aplikasi WA.

Training
Sebelum mendapat gelar pramugari, saya dan teman-teman seperjuangan harus ngos-ngosan mengikuti training yang super intensif, berlangsung Senin hingga Jumat dari pukul 9 pagi hingga jam 5 sore di Singapore Airlines Training Centre (STC) di area Changi.

Kami dijejali materi-materi padat berisikan tata cara servis onboard yang sesuai dengan standar maskapai serta latihan evakuasi penyelamatan yang tidak bisa dilakukan dengan cengengesan dan berujung pada ujian akhir yang bisa membuat hati gelisah tak karuan di malam hari. 

Training ini berlangsung selama 4 bulan guna memperoleh izin terbang yang berbentuk selembar kartu kecil persegi panjang di mana tertera jenis-jenis pesawat yang berhak kita operasikan serta expiry date izin terbang tersebut dan harus selalu dibawa ketika terbang sama seperti SIM yang harus dibawa ketika kita berkendara.

Penampakan kartu izin terbang maskapai Singapore Airlines (foto : Derby Asmaningrum)
Penampakan kartu izin terbang maskapai Singapore Airlines (foto : Derby Asmaningrum)

Kartu izin terbang diterawang dari depan (foto : Derby Asmaningrum)
Kartu izin terbang diterawang dari depan (foto : Derby Asmaningrum)

Training 2 bulan pertama adalah teori. Fase ini mengharuskan saya berkutat dengan manual-manual pesawat yang super gede dan mega tebel. Selain itu SQ mempersiapkan para calon awak kabinnya agar selalu cool, calm and confident dengan menyodorkan materi mengenai Stress Management, Communication Skills, penguasaan F&B Products (Food and Beverages) mulai dari pengetahuan jenis-jenis keju, beragam masakan, macam-macam teh hingga belajar meracik minuman bak seorang bartender, wine tasting (icip-icip minuman anggur) sampai tata cara urut-urutan servis (service flow) termasuk meal service (penyajian makanan dan minuman) sesuai dengan lamanya waktu penerbangan. Jadi meski cuma dorong-dorong gerobak tetap ada aturan baku dan ujiannya. 

Kami juga dibekali dengan pengetahuan tentang merias wajah dan tata rambut melalui Grooming Class. Bukan asal belajar dandan, tapi dandan yang sesuai dengan kriteria make-up Singapore Airlines dengan menghadirkan seorang make-up artist dari sebuah merk kosmetik internasional ternama.

Setelah kami menjalani kelas dandan ini, masing-masing calon cabin crew diberi kartu kecil yang juga harus dibawa ketika sedang bertugas, berupa colour chart untuk warna make-up yang harus kami pakai ketika terbang. Jadi ketika ada evaluasi bulanan dari kru senior, jika kami tidak menggunakan warna di colour chart tersebut, konsekuensinya adalah berkurangnya poin penilaian.

Warna yang tertera di colour chart tersebut diputuskan oleh sang make-up artist setelah disesuaikan dengan warna kulit masing-masing para calon pramugari. Mereka yang berkulit coklat hingga gelap maka wajib memakai eyeshadow berwarna coklat sedangkan yang berkulit terang hingga yang terang redup-redup dikit diharuskan mengoles eyeshadow berwarna biru. 

Lipstik dan pewarna kuku alias kutek, SQ hanya mewajibkan satu warna yaitu merah sedangkan untuk rambut, ketika tengah bertugas, tidak boleh dicat alias diwarnai macam para selebritis itu apalagi menggunakan lensa kontak berwarna dan bulu mata palsu yang terlalu berlebihan, baiknya lupakan saja.

Namun pada praktiknya, semakin senior seorang pramugari, semakin pandai ia selingkuh dari warna-warni make-up yang seharusnya dipakai. Misalnya, lipstik yang digunakan menjadi warna pink, coral atau keungu-unguan. Saya pun begitu. Ahahahaha 

Setelah Grooming Class, kami juga dilatih cara berjalan yang elegan ketika berada dalam balutan seragam. Seragam SQ sendiri didesain pada tahun 1968 oleh fashion designer Prancis terkenal bernama Pierre Balmain sekaligus pendiri rumah mode Balmain yang butiknya dapat dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan lux di berbagai penjuru dunia.

Pada tahun 1994, patung lilin berwujud pramugari Singapore Airlines pun dipamerkan di Madame Tussaud’s Wax Museum di London, Inggris. Berikut jabatan yang disandang pramugari SQ dilihat dari warna seragam yang mereka pakai :

Pramugari Singapore Airlines dalam balutan seragam yang menunjukkan pangkat masing-masing (sumber foto : maryhop.com)
Pramugari Singapore Airlines dalam balutan seragam yang menunjukkan pangkat masing-masing (sumber foto : maryhop.com)

Keterangan dari warna seragam awak kabin Singapore Airlines (foto : singaporeair.com)
Keterangan dari warna seragam awak kabin Singapore Airlines (foto : singaporeair.com)

Training di bulan ketiga dan keempat merupakan latihan prosedur evakuasi penyelamatan (Safety and Emergency Procedure atau SEP) yang menjadi klimaks dalam tugas seorang awak kabin, terdiri dari langkah-langkah penyelamatan untuk emergency di laut (ditching) dan di darat (crash landing) yang dilakukan di pesawat mock-up (pesawat tiruan dengan model sama persis dengan pesawat asli yang digunakan sebagai alat demonstrasi atau pengajaran misalnya dalam training). 

Ketika melakukan latihan ditching, dengan mengenakan seragam dinas dan pelampung, kami diharuskan untuk melompat dari pesawat ke dalam air lalu berenang menuju raft kemudian naik ke atas raft tersebut (saya lupa kira-kira berapa meter ketinggian untuk melompat tapi memang lumayan tinggi yang membuat lutut saya gemeteran ketika memandang ke bawah). 

Lain lagi halnya dengan latihan untuk crash landing di mana kami diwajibkan untuk meluncur di atas slide yang rasanya seperti main perosotan namun yang ini berkali-kali lebih tinggi dan lebih panjang yang membuat jantung serasa berpindah posisi entah di bawah atau malah di luar kulit. 

Para kru wanita pun dilarang keras untuk cekikikan apalagi teriak-teriak. Setelah kenyang main air dan luncur-luncuran, training disambung dengan latihan First Aid yang mencakup langkah-langkah melakukan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation atau resusitasi jantung paru-paru yaitu tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu, (Wikipedia), berlatih cara-cara menghadapi kebakaran (firefighting), menguasai prosedur ketika terjadi decompression (berkurangnya tekanan udara di dalam kabin secara tiba-tiba, (Wikipedia), mengoperasikan oxygen bottle, mempelajari dasar-dasar martial art (teknik pembelaan diri dari suatu serangan, Wikipedia) hingga mencoba menerbangkan dan mendaratkan pesawat melalui simulator di ruangan training para pilot (baik pilot dan pramugari, keduanya sama-sama menjalani training di Singapore Airlines Training Centre). 

Semuanya itu (kecuali belajar di simulator dan martial art) berujung pada ujian akhir yang menentukan apakah kita layak mendapatkan izin terbang yang berdurasi setahun dan diperbarui lagi dengan mengikuti ujian teori dan praktek seperti sebelumnya. 

Tiap-tiap calon pramugari wajib melaksanakan training terbang dengan status sebagai Supernumerary Crew (kru tambahan) dan di pesawat akan dibimbing oleh mentor yang biasanya seorang pramugari senior. Ketika itu saya mendapat jadwal untuk terbang ke Auckland (Selandia Baru), Hong Kong, Perth (Australia) dan Shanghai (Cina). 

Keempat flight tersebut saya operasikan dengan 2 jenis pesawat yang berbeda. Biasanya salah satu keuntungan menjadi Supernumerary Crew adalah mendapat jatah istimewa untuk duduk di kokpit selagi take-off atau landing. Nah, saya pun kecipratan rezeki diizinkan duduk di ruang kemudi sang pilot ketika pesawat akan landing dari Shanghai. Kira-kira 30 menit sebelum mendarat, saya sudah berada di dalam kokpit yang ketika itu diawaki oleh dua orang cockpit crew saja, Kapten dan seorang First Officer. 

Setelah duduk manis di belakang kedua pilot dengan seatbelt terpasang, melalui jendela kokpit saya bisa menyaksikan sekaligus merasakan bagaimana menembus kapas-kapas putih yang saat itu bergumul tepat di hadapan hidung si burung besi. Lebih lebay lagi, ingin sekali rasanya membuka semua kaca-kaca itu lalu menyentuh kawanan awan yang menggumpal-gumpal, dibuntel, dibawa pulang biar terus dikenang tapi karena nggak bisa jadinya dibungkus dalam hati aja deh. 

Setelah terkesima dengan pemandangan yang bagi saya super duper luar biasa, kedua mata saya segera beralih kepada kesibukan para pilot mengerjakan tugas-tugas mempersiapkan pesawat untuk memasuki fase landing termasuk bertukar komunikasi dengan ATC (Air Traffic Controller) dengan kode-kode dan singkatan-singkatan serta angka-angka rinci yang meminta segenap konsentrasi demi mendaratkan si burung besi tepat di runway dengan selamat. Salam hormat buat para pilot di luar sana!

Empat bulan berlalu, izin terbang sudah didapat, akhirnya saya dinyatakan sah sebagai Singapore Airlines Flight Stewardess (FSS). First solo flight (debut terbang) pun sudah menanti. Destinasinya adalah kota Copenhagen (Denmark), nggak ada transit, lurus terus meluncur di langit selama kurang lebih 12 jam. Stress, bingung, gelisah, malu, mual, deg-degan, males makan sampai sakit perut pun melanda sebelum terbang. Maklum, namanya juga first flight. Dapet first kiss dari si rocker aja yang cuma sedetik dua detik deg-degan apalagi first flight yang 12 jam. Ahahahahah. Eh, beda ya?? 

Sebagai pramugari baru, kami semua terlibat masa probation (masa percobaan) selama 6 bulan yang  merupakan masa-masa paling stress dan menakutkan karena akan banyak tekanan yang datang dari para senior apalagi sebagai anak baru kami dituntut untuk belajar dengan cepat, super fokus dan harus dapat melakukan service sesuai dengan visi misi maskapai. Tak jarang banyak yang langsung menyerah setelah masa probation kelar atau ketika masih menyandang gelar Probationary Crew. 

Setelah 2 tahun terbang saya malah tidak bisa santai karena training untuk Business Class telah menanti. Saya dan teman-teman harus tenggelam lagi dalam buku-buku panduan serta praktek bagaimana cara bekerja di kelas bisnis yang pelayanannya lebih rinci dan individual. Belum lagi ketika pesawat tingkat (double decker) Airbus A380 dengan Rolls Royce Trent 900-nya hadir sebagai anggota baru di mana SQ menjadi pengguna pertama, membuat saya pun harus duduk di kelas lagi, praktek di mock-up lagi serta harus menjalani ujian lagi demi izin terbang untuk mengoperasikan pesawat yang berpabrik di Toulouse, Prancis itu. 

Jadwal
Menjadi seorang pramugari harus berkutat dengan jadwal terbang (flight roster) yang terkadang malah membuat saya tidak mau terbang mulai dari profil penumpang yang ribet, anggota tim yang jutek hingga destinasi yang kurang saya sukai. Saya pasrah saja menjalani fenomena jet lag dan waktu yang terbolak-balik namun untungnya saya gampang tidur dan ketika itu single alias gak punya pacar jadi tidak ada yang harus dipikirin apalagi kalau harus terbang ketika sedang berantem. Ogah lah yaawww!

Tiap awal bulan, flight roster ini menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu (selain gajian dan flight allowance tentunya, ahaahahah) karena di dalam roster tersebut tertera destinasi mana yang akan kami datangi, semakin jauh tempatnya, tentu semakin banyak pundi-pundi yang kami terima. Saya ambil contoh rute SIN (Singapore)-TPE (Taipei)-LAX (Los Angeles)-TPE-SIN atau SIN-FRA (Frankfurt, Jerman)-JFK (John F. Kennedy New York)-FRA-SIN yang bisa mencapai 7-8 hari yang ketika jaman saya dulu merupakan jadwal terbang favorit. 

Selain rute yang akan kita terbangi, sebuah flight roster juga berisi jadwal untuk melakukan medical check-up (peraturan SQ adalah tiap 6 bulan sekali), jadwal untuk kembali melakukan training SEP dan tanggal ujiannya, serta jadwal untuk menghadiri pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan diri di dunia penerbangan. 

Flight Briefing 
Urutan kerja sebagai awak kabin SQ, pertama-tama adalah harus menghadiri flight briefing dengan reporting time 2 jam sebelum STD (Scheduled Time of Departure atau jadwal waktu keberangkatan). Jadi kalau STD-nya jam 7 pagi maka reporting time jam 5 pagi. Saya sudah harus melek jam 2 pagi di mana kedua mata masih lengket, jiwa raga masih betah menempel pada kasur dan bantal. 

Agar semangat bergemuruh di dada, lagu kramat Paradise City milik Guns N' Roses yang dibuka dengan petikan gitar Slash disusul gebukan drum si keren Steven Adler pun terdengar di seantero kamar. Setelah itu saya melakukan ritual 3M yaitu Mandi, Make-up dan Makan. Sebelum meninggalkan apartemen, saya pasti menghubungi orangtua melalui ponsel untuk pamit bertugas, meminta restu dan doa. Ya, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi setelah pintu pesawat ditutup lalu lepas landas.

Sesampainya di airport, saya langsung menuju Cabin Crew Control Centre yang waktu itu terletak di Basement Terminal 3 Bandara Changi sedangkan Control Centre buat para pilot berada di Basement Bandara Changi Terminal 2. Setelah absen melalui komputer, ruang briefing adalah tujuan selanjutnya di mana sudah menanti tim terbang hari itu. 

Hal-hal yang dibahas dalam sebuah flight briefing adalah pembagian tugas untuk masing-masing kru misalnya siapa saja yang harus duduk di tiap-tiap pintu pesawat atau siapa yang harus bekerja di galley (sebutan untuk 'dapur' pesawat). 

Selain itu kami akan membicarakan situasi kota yang dituju, kurs mata uangnya, tanya jawab tentang safety dan service procedure hingga mendiskusikan profil penumpang, contohnya, penerbangan ke kota A yang hanya 4 jam tekenal sulit karena para penumpangnya yang super demanding, biasanya terjadi di kelas ekonomi, di mana baru boarding sudah menginginkan ini itu plus bawaan cabin baggage yang beratnya terkadang keterlaluan, sepanjang penerbangan pun tak henti-hentinya meminta macem-macem (biasanya minuman beralkohol). 

Sebaliknya, ada penerbangan ke kota B dengan flight time yang lebih lama namun penumpangnya tertib dan kalem yang membuat kami para pramugari harus sedikit 'memaksa' mereka agar mau ini mau itu. Dengan mengenal dan memahami profil penumpang di tiap-tiap flight, hal itu akan memudahkan para awak kabin dalam mengatur strategi untuk inflight service yang lebih baik.

Ada pula saat-saat ketika harus berhadapan dengan penumpang yang hobi marah-marah kepada awak kabin hanya karena mau pindah tempat duduk agar bisa duduk berdekatan dengan anggota keluarga yang lain atau ketika check-in bersitegang dengan ground staff atau ada lagi yang sedang memiliki problem pribadi sehingga ketika masuk pesawat, menumpahkan kekesalannya kepada kru. Ya, kami sebagai pramugari terkadang menjadi destinasi terakhir mereka untuk itu. Kasihan, ya jadi pramugari? Tapi nggak ah, justru saya yang kasihan sama para penumpang macam itu. Ahaahahah.. 

Setelah briefing selesai, saya dan tim berjalan menuju gate keberangkatan dan langsung memasuki aircraft. Tidak pernah ada awak kabin dan penumpang yang masuk ke dalam pesawat bersama-sama. Layaknya sebuah rumah, pasti si empunya akan bersiap-siap dahulu sebelum menyambut si tamu. Waktu itu teman saya pernah bertanya apakah bersih-bersih kabin setelah pesawat landing juga termasuk tugas dari para pramugari? Jawabannya tidak karena kami sudah capek ahahahaha bukan deng, tapi karena sudah ada para petugas yang melakukannya mulai dari membersihkan lantai kabin hingga mengganti sarung bantal dan selimut. Jadi pramugarinya ngapain, dong?

Ketika memasuki pesawat, masing-masing awak kabin memiliki tugasnya sendiri-sendiri yang sudah dimandatkan oleh Inflight Manager (Inflight Supervisor) ketika melakukan flight briefing. Tugas utamanya adalah mengecek tiap-tiap pintu pesawat apakah ada kelainan fisik, memeriksa safety equipments mulai dari fire extinguisher, oxygen bottle, senter, first-aid box (kotak P3K) masih harus tersegel alias baru, mengecek defibrillator (stimulator detak jantung yang menggunakan listrik dengan tegangan tinggi, Wikipedia), memeriksa smoke detector di tiap-tiap toilet hingga mengecek pelampung (life vest) yang berada di bawah tiap-tiap kursi penumpang untuk memastikan ada wujudnya alias tidak hilang dicuri orang dan harus dalam keadaan terbungkus rapi tidak menjulur-julur keluar. 

Setelah itu, awak kabin juga harus memastikan kompartemen atas (overhead compartment) kosong, tidak terdapat benda-benda asing yang bukan milik pesawat misalnya rompi milik ground staff atau vacuum cleaner petugas kebersihan yang tertinggal di dalam kabin. Semua harus di-offload semata-mata demi keselamatan sampai di tujuan. 

Setelah itu kami akan mengecek safety video di masing-masing layar tempat duduk penumpang. Jika tidak menyala berarti kami kudu bersiap-siap melakukan safety demonstration (secara manual). Itu tuuuh yang berdiri di tengah-tengah kabin lalu mempraktekkan bagaimana cara memasang sabuk pengaman, pelampung dan sebagainya. Selama saya bekerja, saya hanya sekali melakukan safety demonstration yakni pada flight dari Istanbul (Turki) ke Singapura karena tiba-tiba safety video-nya ngambek. 

Setelah hal-hal yang berkaitan dengan safety dan security rampung, barulah kami mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan inflight service mulai dari mempersiapkan headset, memeriksa apakah layar IFE (In-Flight Entertainmet) di kursi penumpang bekerja dengan semestinya hingga briefing tentang menu yang akan disajikan hari itu lalu akhirnya bersiap bertemu muka menyambut para penumpang alias boarding. Semuaaaa tugas-tugas di atas tidak dilakukan sambil santai lemah gemulai melainkan dengan cepat dan cekatan namun tidak berantakan... 

Long-haul flight
Ketika menjalani penerbangan jarak pendek (short flight), memang dibutuhkan stamina yang luar biasa (tapi saya tidak sampai minum Extra Joss, sih...) karena harus melakukan service dengan diuber-uber waktu sementara banyak yang harus diberikan kepada penumpang terutama ketika meal service terlebih jika hari itu full flight. 

Contohnya, dari SIN (Singapura)-CGK (Jakarta) dengan flight time cuma sekitar 1 jam 25 menit, kami tetap harus melaksanakan meal service lengkap hingga menyajikan teh dan kopi sedangkan 30 menit sebelum mendarat, sesuai dengan peraturan SQ, kabin sudah harus dibereskan dan dipersiapkan untuk landing di mana cockpit crew akan membuat announcement melalui pengeras suara. 

Jadi untuk short flight seperti ini kami para awak kabin akan melakukan meal service secara super ngebut namun harus tetap sopan lagi elegan. Tak heran, setelah berjibaku di angkasa, diburu waktu seperti itu yang terkadang dicolek-colek cuaca buruk, badan saya akan dipenuhi koyo-koyo Salonpas.

Namun untuk penerbangan jarak jauh (long-haul flight, 10-12 jam) kami bisa sedikit relax karena tidak dikejar waktu meskipun meal service harus sebisa mungkin secepatnya diselesaikan. 

Ketika melakukan long flight, para awak kabin diberi masa istirahat yang dibagi dalam 2 shift setelah menyelesaikan meal service pertama dan rehat berakhir sebelum memulai meal service yang kedua (terdapat 2 kali acara makan di setiap long flight). Lamanya waktu istirahat diputuskan oleh Inflight Supervisor dengan melihat jumlah penumpang dan lamanya waktu penerbangan. Biasanya sih Beliau memberi waktu 2 jam 30 menit untuk masing-masing shift. Kadangkala menjadi 3 jam jika hari itu sepi penumpang (light load). Tempat istirahatnya disebut Crew Bunk.

Tampilan crew bunk pada pesawat Singapore Airlines Airbus A380 (foto : Derby Asmaningrum)
Tampilan crew bunk pada pesawat Singapore Airlines Airbus A380 (foto : Derby Asmaningrum)

Di dalam ruangan kecil tersebut selain terhampar kasur dan saudara-saudaranya, teronggok pula sebuah lemari kecil untuk menggantungkan jas bagi para awak kabin pria, ada pula layar IFE di setiap bunk, sama seperti yang terdapat di kursi penumpang, jadi kalau nggak mau tidur bisa nonton film atau denger musik. Selain itu terdapat pula sebuah senter yang siap siaga jika terjadi sesuatu. Uniknya buat saya, jika turbulence menerjang dikala saya sedang tidur, maka goncangannya akan membuat saya semakin tertidur lelap. Ahahahaha entah kenapa. 

Desain sebuah crew bunk berbeda antara satu maskapai dengan yang lainnya. Semuanya disesuaikan dengan jenis-jenis pesawat dan berdasarkan selera maskapai tersebut. Pesawat yang memiliki crew bunk hanyalah para pesawat yang beroperasi untuk long-haul flight kecuali jika terjadi pergantian pesawat (change of aircraft) ketika ada kerusakan yang mengharuskan pesawat dengan crew bunk dipakai untuk melayani rute penerbangan jarak pendek (45 menit-4 jam) atau medium (5-8 jam).

Inilah tempat para awak kabin melepas lelah sejenak di tengah perjalanan (foto : Derby Asmaningrum)
Inilah tempat para awak kabin melepas lelah sejenak di tengah perjalanan (foto : Derby Asmaningrum)

Lay over
Setelah mendarat di kota tujuan dan penumpang telah keluar dari pesawat, kami akan mengecek kembali kabin yang sudah acak-acakan mulai dari tempat duduk hingga kompartemen atas lalu menuju bis yang sudah menunggu di luar terminal kedatangan atau terkadang bis sudah menanti tepat di dekat pesawat yang telah diparkir (apron) untuk membawa rombongan yang sudah kelelahan ini menuju hotel dan selanjutnya, kami bisa menikmati saat-saat lay over. 

Lay over adalah sebutan ketika para flight crew telah mendarat di destinasi dan menjalani masa off duty di sana sembari nenunggu jadwal keberangkatan pesawat selanjutnya. Masa-masa lay over adalah saatnya untuk senang-senang, shopping, mencicipi kuliner lokal, jalan-jalan mengunjungi beberapa objek wisata atau landmark yang terkenal dari setiap kota yang kami singgahi dan untuk awak kabin, terkadang kami diberi diskon khusus untuk yang terakhir tadi.

Musim panas di negeri beruang merah. Numpang foto di depan St. Basil's Cathedral di kawasan Red Square, Moscow, Rusia (foto : Derby Asmaningrum) 
Musim panas di negeri beruang merah. Numpang foto di depan St. Basil's Cathedral di kawasan Red Square, Moscow, Rusia (foto : Derby Asmaningrum) 

Hasil akhir dari sebuah lay over biasanya koper (cargo bag) yang terlalu penuh yang bisa melebihi 20 kg. Ahahaahha. Apalagi kalau bukan berisi suvenir-suvenir khas, belanjaan peralatan dandan, kosmetik, baju hingga berbagai jenis makanan ringan.

Akhirnya saya dapat memegang dan mengagumi kemegahan Piramida Giza di Mesir. Sesuatu yang dulu hanya bisa saya lihat gambar-gambarnya di buku-buku pelajaran Sejarah (foto : dok. Derby Asmaningrum)
Akhirnya saya dapat memegang dan mengagumi kemegahan Piramida Giza di Mesir. Sesuatu yang dulu hanya bisa saya lihat gambar-gambarnya di buku-buku pelajaran Sejarah (foto : dok. Derby Asmaningrum)

Insiden kecil
Saya sungguh bersyukur selama mengepakkan sayap bersama SQ tidak pernah sampai harus membuka pintu pesawat dalam keadaan darurat. Kalau turbulence, yaa saya sudah kenyang merasakan dari yang imut-imut hingga yang amit-amit bikin mulut komat-kamit pengen cepat-cepat pamit dari pesawat. Hanya ada satu insiden kecil yang saya alami saat flight dari Singapura menuju London Heathrow (LHR). Ketika itu pesawat lepas landas pukul 9 pagi dari Singapore Changi Airport. 

Setelah take off, ternyata landing gear pesawat tidak mau menutup kembali. Akhirnya Kapten memutuskan untuk kembali ke Singapura. Tetapi karena pesawat baru saja lepas landas sekaligus menampung penuh bahan bakar untuk direct flight kurang lebih 13 jam ke London, maka para cockpit crew harus melakukan prosedur membuang bahan bakar (fuel dumping) karena akan sangat berbahaya jika mendarat dengan bahan bakar yang masih utuh ditambah dengan pesawat yang penuh pula pada hari itu.

Setelah berputar-putar beberapa waktu membuang bahan bakar, akhirnya pesawat landing kembali dengan selamat di Singapura. Saya pun tidak jadi bekerja hari itu dan diposisikan sebagai kru stand by di mana saya tidak boleh meninggalkan base (Singapura), harus senantiasa berjaga-jaga di dekat telepon karena para pegawai di Cabin Crew Control Centre di Changi Airport bisa menghubungi kapan saja untuk flight ke mana saja dengan reporting time jam berapa saja. Kalau sudah begini saya biasanya jadi tidak enak makan apalagi berani-beraninya sampai tertidur karena gelisah gundah gulana memikirkan ke mana pesawat akan membawa diri ini selanjutnya... 

Kangen keluarga
Merasa sendirian di tengah keramaian. Begitulah gambaran perasaan saya ketika tinggal di Singapura, sendiri dan pastinya memendam kerinduan. Segala sesuatu dilakukan secara tunggal ditemani lagu Angka Satu milik om Caca Handika yang melantun pilu : masak, masak sendiri/makan, makan sendiri/cuci baju sendiri/tidurku sendiri (nah ini nih yang paling nggak enak. Ahahahahah...). Apalagi ketika tengah melakukan long flight berhari-hari, saya merasa sangat jauuuh sekali bagaikan anak hilang. Sesuatu hal yang dengan mudahnya membuat saya selalu menitikkan air mata.

Bekerja untuk maskapai luar negeri berarti harus mengikuti aturannya untuk bersedia tinggal di negeri tersebut. Maka saya pun harus rela hidup jauh dari keluarga tercinta di Bekasi. Jarak antara Singapura dengan Jakarta memang dekat tapi buat saya itu menyedihkan. Tidak bisa lagi setiap hari menikmati lezatnya sambel terasi buatan Mama, ketawa ngakak bercanda bareng adik tercinta sambil pedes-pedesan makan bakso atau diskusi tentang topik-topik yang lagi hangat bersama Papa tengah malam sembari makan indomie terkadang kacang rebus.

Saya memang sangat dekat dengan keluarga meski ketika masih ABG doyan sekali ngeband gak jelas sana-sini dan main sepakbola, masa-masa kuliah pun datang ke kampus hanya dengan jeans belel robek-robek, sepatu dan kaos butut, rambut tergerai panjang, namun saya tetap akrab dengan tetangga-tetangga sebelah dan juga si Eman, sang tukang sayur langganan asal Cikarang yang menjadi idola ibu-ibu dan kadang menjadi provokator ranah pergosipan di kampung saya. Jadi ketika saya harus mengepak koper untuk menjalani karir yang baru di negeri orang, tentu saja terlalu berat meninggalkan semuanya. Namun berkat cinta dan dukungan keluarga, semangat saya pun membara dan tidak pernah redup sampai detik ini.

Cuti maupun libur pendek adalah waktu bagi saya untuk kembali ke tanah air dan bercengkrama dengan keluarga berbagi kisah yang saya lewati ketika mengarungi angkasa. Meski terkadang hanya mendapat jatah libur 2 atau 3 hari, saya pasti memilih untuk pulang ditambah dengan kemudahan mendapatkan tiket dengan harga 'spesial' cabin crew, maka sangat gampang sekali buat saya untuk bolak-balik Singapura-Jakarta dengan menumpang maskapai tempat saya bekerja ditambah diberi tiket gratis tiap tahun, saya pun dapat membawa keluarga terutama Mama, untuk berpergian. 

Meski kangen rumah, seperti kata band rock jadul Poison, life goes on. Saya harus tetap kuat menjalani hidup dan karir. Ada kalanya saya down tapi nggak mungkin harus berhenti apalagi menyerah melepaskan semua rezeki yang sudah diberikan Tuhan kepada saya. Namun akhirnya, dengan bekerja dan hidup jauh dari keluarga, saya menjadi seorang wanita yang benar-benar mandiri dan berani.

Berkelana dari satu kota ke kota lainnya membuat saya benar-benar melihat dunia dengan segala perbedaan yang ada. Sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya dan tentu saja sangat saya syukuri. Buat saya, tiap-tiap negara memiliki keunikan dan cerita tersendiri yang akan selalu terkenang di lubuk hati. 

Bekerja di perusahan asing, saya senantiasa menjaga citra maskapai dan nama baik Indonesia. Bekerja dan tinggal di negeri orang bukan berarti tidak mencintai negara sendiri. Dengan menjaga nama baik Ibu Pertiwi selagi saya berada di negeri orang dengan tidak melakukan hal yang 'aneh-aneh', bagi saya itu sudah merupakan salah satu wujud dari kecintaan terhadap tanah air.

Akhirnya, setelah berpacu bersama Singapore Airlines merangkaki cakrawala yang tak berujung, dengan alasan pribadi saya mengundurkan diri. Tentu saja rasa bangga yang tak terhingga dibungkus beragam pengalaman, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia yang berbeda budaya, mengunjungi tempat-tempat yang mungkin tidak semua orang punya kesempatan untuk mencicipi, sedih senang keringat air mata yang telah banyak memberikan pelajaran hidup dan mendewasakan saya meski hanya 6 tahun bergelut di sana. 

Kini, setiap kedua mata ini tertuju pada pesawat yang tengah terbang melintas bebas di langit yang tak berbatas, saya hanya bisa memandangi bersama segenap kenangan yang sayup-sayup berbisik kalau saya pernah menjadi bagian dari dunia itu.

Flight terakhir sebelum resign. Membelakangi si montok favorit saya, Airbus A380 setelah landing di bandara Charles de Gaulle, Paris, Prancis (foto : dok. Derby Asmaningrum)
Flight terakhir sebelum resign. Membelakangi si montok favorit saya, Airbus A380 setelah landing di bandara Charles de Gaulle, Paris, Prancis (foto : dok. Derby Asmaningrum)
Have a safe flight always, everyone!

Urutan 5 teratas airline terbaik di dunia tahun 2018 versi Skytrax :
1. Singapore Airlines (Singapura)
2. Qatar Airways (Qatar)
3. ANA All Nippon Airways (Jepang)
4. Emirates (Uni Emirat Arab)
5. EVA Air (Taiwan)

catatan : semua aktivitas training dan ritme kerja pramugari yang saya jalani adalah peraturan Singapore Airlines ketika saya masih bekerja di sana. Kemungkinan beberapa peraturan kini telah diperbarui atau diubah. Tiap airline memiliki cara training yang berbeda namun dengan prinsip sama yaitu menyajikan inflight service yang terdepan sedangkan untuk prosedur penyelamatan sudah pasti disesuaikan dengan jenis-jenis pesawat yang dioperasikan masing-masing maskapai.
***
Derby Asmaningrum
Prancis, 8 April 2019

Lagu dari band rock jadul berikut yang keempat personilnya merupakan mantan pacar saya ini selalu setia mendampingi naik turunnya perjalanan sebagai seorang awak kabin, dikala diri merasa lelah berada di sudut-sudut bumi menembus ruang dan waktu untuk yang kesekian kali entah sudah berapa lama, di mana yang saya inginkan akhirnya cuma satu, menyeret langkah pulang ke rumah... 

Mötley Crüe
"Home Sweet Home"
Album : Theatre of Pain (1985)
Lirik : Nikki Sixx (bass), Tommy Lee (drum)
Label : Elektra

Referensi :
Wikipedia Bahasa Indonesia
worldairlineawards.com

singaporeair.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun