Salah seorang ulama besar di zamannya, Yahya bin Khalid Al-Barmaki yang juga merupakan guru masa kecil Harun Ar-Rasyid, pernah menjadi perdana menterinya, meskipun tidak terlalu lama. Kecintaannya terhadap ilmu dan kedekatannya dengan para ulama membentengi Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Dia sangat tidak senang dengan perdebatan dalam masalah agama dan tidak suka membicarakan sesuatu yang telah jelas nashnya dalam agama.
Sebagaimana diungkapkan oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa, “Telah sampai kabar kepada khalifah Harun Al-Rasyid tentang Bisyr Al-Marisi yang berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Ketika itu dia kemudian berkata,” Jika saya bisa menangkapnya, niscaya akan saya penggal lehernya!” Pendapat yang dikemukakan oleh Bisyr itu berkembang pesat pada zaman ke-khalifahan putranya, yaitu Al-Ma’mun, namun ternyata Al-Ma’mun mendukung apa yang dikatakan oleh Bisyr. Sehingga Al-Ma’mun tidak memenggal kepalanya.
Pada suatu hari Abu Mu'awiyah adh-Dharir berkata, “Tidak pernah satu kalipun saya menyebutkan nama Rasulullah di depan Ar-Rasyid, kecuali dia akan selalu mengatakan, “Semoga Allah melimpahkan shalawat atas junjunganku.” Lalu pada kesempatan yang lain Abu Mu’awiyah berkata bahwa dia pernah membacakan hadits Rasulullah Saw., di depannya yang berbunyi: “Saya sungguh menginginkan mati di jalan Allah, lalu saya hidup dan dibunuh kembali di jalannya.” Mendengar ini dia menangis terisak-isak.”
Ketika Abu Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi: ”Adam dan Musa berdebat,” di hadapan Ar-Rasyid, ada beberapa pemuka dari orang-orang Quraisy yang menyela pembicaraan, lalu berkatalah salah seorang dari mereka: “Bagaimana Adam bisa bertemu dengan Musa?” Mendengar pertanyaan itu Ar-Rasyid marah, lalu berkata, “Ambil cemeti dan pedang. Dia adalah zindiq yang melecehkan hadits Rasulullah.” Kemudian Abu Mu'awiyah berkata: “Saya berusaha menenangkannya, lalu saya katakan kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin dia memiliki perilaku yang aneh.” Cukup lama saya menenangkannya, hingga akhirnya dia kembali tenang.” Pungkas Abu Mu’awiyah.
Kecintaan Harun Ar-Rasyid terhadap ilmu pun tercermin dalam akhlaknya kepada ulama. Suatu ketika dia meminta kepada Imam Malik bin Anas untuk datang kepadanya supaya mengajar anak-anaknya Amin dan Ma'mun, namun Imam Malik menolak, seraya berkata, “sesungguhnya ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. “Lantas untuk kedua kalinya, dia mengirim anaknya, dan dikatakan kepada Imam Malik, “Aku mengirim kedua anakku ini untuk mendengarkan ilmu bersama para sahabatmu. “Mendengar ini Imam Malik berpesan, “Dengan syarat kedua anak ini tidak menulis khat di pundak orang-orang, dan mereka berdua duduk sampai selesai majelis.” Lantas mereka boleh menghadirinya dengan dua syarat tersebut. Hingga akhirnya Khalifah kaum Muslimin, Harun Ar-Rasyid pun membawa kedua anaknya Amin dan Ma'mun untuk mendengarkan “Kitab Al-Muwatha” lmam Malik di Madinah Al-Munawarah.
Perhatian yang sangat baik terhadap ilmu dan ilmuwan membuat Ar-Rasyid juga sangat giat dalam pergerakan penerjemahan berbagai buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Pergerakan penerjemahan mengalami kemajuan pesat ketika ia menghidupkan kembali dan mengembangkan perpustakaan besar yang telah dibangun khalifah kedua Bani Abbasiyyah Abu Ja’far Al-Manshur, di ibukota kekhilafahan Baghdad. Dia begitu antusias terhadap ilmu, sehingga yang banyak disebut-sebut dalam sejarah sebagai khalifah terbesar Bani Abbasiyyah ini memerintahkan supaya mengeluarkan peninggalan buku-buku kuno, diwan-diwan, dan manuskrip-manuskrip yang ditulis dan diterjemahkan, yang terjaga dan dipelihara dalam istana khilafah setelah menjadi megah. Kemudian ia membuatkan bangunan khusus, untuk memperbaiki ruang lingkup sebagian besar jumlah kitab-kitab yang ada, dan itu terbuka di hadapan setiap para pengajar dan penuntut ilmu. Lalu tahun 813 M ia mendirikan sebuah tempat yang sangat luas dan megah, kemudian semua kitab-kitab simpanan itu dipindahkan ke tempat tersebut dan disebutlah tempat itu dengan nama Baitul Hikmah.
Kantor Baitul Hikmah di Baghdad dikelola oleh sejumlah mudir (direktur) para ilmuan. Mereka mendapatkan gelar “Shahib”. Direktur Baitul Hikmah ini disebut dengan “shahib Baitul Hikmah.” Sedangkan mudir pertama Baitul Hikmah adalah Sahal bin Harun Al-Farisi (215 H/830 M). Dia diangkat oleh Harun Ar-Rasyid sebagai penanggung jawab perbendaharaan kitab-kitab hikmah yang disalin dari bahasa Persia ke bahasa Arab dan apa yang didapatinya dari semua hikmah Persia. Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komuniksi umum. Sehingga tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Adapun orang yang diberi tanggungjawab melaksanakan menyalin dari bahasa Persia ke bahasa Arab adalah perdana menteri Yahya bin Khalid Al Barmaki, yang juga seorang berketurunan Persia. Yahya Al Barmaki adalah seorang pencinta ilmu pengetahuan, dan beliau adalah seorang yang sangat pandai dan alim di dalam bermacam-macam ilmu pengetahuan termasuklah ilmu-ilmu agama. Yahya al-Barmaki telah meminta para sarjana dan cendekiawan India untuk datang ke kota Baghdad. Yahya bin Khalid mengarahkan kepada sarjana-sarjana India itu menterjemahkan buku-buku India ke dalam bahasa Arab.
Ibnu Usaibiyah pula menyebut bahwa Khalifah Harun ar-Rasyid telah mengarahkan kepada Yuhanna bin Masawaih untuk menjadi anggota dewan penerjemah yang bertanggung jawab menerjemahkan buku-buku lama yang ditemui di kota Ankara, Ammuriyyah dan di tanah jajahan takluk Rom yang lain ke dalam bahasa Arab. selain itu ada pula buku-buku lama yang dibawa dari pulau Cyprus atas perintah Khalifah Harun ar-Rasyid. Tetapi buku-buku yang dibawa dari pulau Cyprus tidak sempat diterjemah pada zaman pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid. Penerjemahan itu baru giat dilakukan pada zaman pemerintahan khalifah Al Ma'mun.
Kota Baghdad menjadi daya tarik kepada manusia seperti lampu yang menjadi daya tarik kepada laron-laron yang terbang dari kegelapan. Meskipun pada awalnya merupakan sebuah perpustakaan biasa, tetapi Baitul Hikmah berkembang pesat menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Setelah kota Baghdad dibangun pada zaman pemerintahan kerajaan Bani Abbasiyyah, yaitu setelah berlalu masa sekitar 135 tahun dari masa hidup Rasulullah Saw., para tabiin, para tabiut tabiin beserta seluruh murid-murid dan penuntut ilmu lainnya telah banyak yang memusatkan kegiatan pembelajaran di kota Baghdad. Manakala ketika itu, saat Ar-Rasyid mulai menjabat sebagai khalifah, telah hidup tiga orang tokoh ulama pengasas mazhab yang empat, yang terkemuka yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ketika itu Imam Malik berusia 77 tahun, Imam Asy-Syafi’i berusia 20 tahun, dan Imam Ahmad bin Hanbal baru berusia 6 tahun. Sedangkan Imam Abu Hanifah sudah lebih dulu wafat sebelum Ar Rasyid menjadi khalifah, yakni pada tahun 150 hijrah/767 Masehi.
Pada zaman pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani dan Romawi) dan dari Timur (Persia, India, dan China). Banyak sekali cendekiawan-cendekiawan Islam dari berbagai bangsa yang menetap di kota Baghdad dan telah banyak pula muncul tokoh-tokoh ilmu baik dalam bidang ilmu-ilmu naqli (tafsir, hadits, musthalah hadits, tauhid, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, jarh wa ta'dil dan lain-lain), ilmu bahasa (nahwu, saraf, bayan dan lain-lain), maupun ilmu-ilmu aqli seperti ilmu kedokteran, sejarah, kesusasteraan, filsafat, astronomi, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu di bidang-bidang lainnya. Perkembangan ilmu selanjutnya semakin mengalami kemajuan pesat pada zaman pemerintahan putranya yaitu khalifah Al-Ma'mun. Dalam perkembangannya, Baitul Hikmah telah memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam seperti Al Kindi, Al Khawarizmi, Al Jahiz, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Biruni, Al Ghazali, Ibnu Misykawaih, Ibnu Khaldun dan lainnya. Merekalah tokoh-tokoh yang berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, bukan hanya untuk peradaban Islam, tetapi juga berpengaruh besar terhadap kemajuan peradaban Barat, bahkan peradaban dunia secara keseluruhan hingga saat ini.