Mohon tunggu...
Derajat Fitra
Derajat Fitra Mohon Tunggu... Guru - Masih belajar

Iman-Ilmu-Amal

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Marxisme dan Pembebasan Manusia

11 Juni 2020   16:45 Diperbarui: 11 Juni 2020   16:55 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Analisis Marx mengenai persoalan hidup manusia merujuk kepada hubungan antara sifat dasar manusia dengan aktivitas pekerjaannya di dalam sistem kapitalisme.

Marx percaya bahwa terdapat kontradiksi nyata antara sifat dasar manusia dengan cara manusia bekerja yang disebabkan oleh kapitalisme. Bagi Marx, kapitalisme memicu tindakan sewenang-wenang para pemilik modal untuk menindas dan memeras rakyat, termasuk kaum buruh dan kaum tani, demi kepentingannya menumpuk kapital, sehingga menyebabkan manusia teralienasi atau mengalami keterasingan diri ketika menjalani aktivitas pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam kapitalisme, pekerjaan manusia tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri sebagai ungkapan dari kemampuan dan potensi diri, melainkan direduksi menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan para pemodal. Dengan kata lain, dalam kapitalisme manusia dialienasi atau diasingkan dari sifat dasarnya sebagai manusia, sehingga memicu persoalan-persoalan destruktif lainnya. Oleh karena itu, untuk memahami persoalan hidup manusia menurut Marx, perlu memahami terlebih dahulu konsepsinya tentang sifat dasar manusia itu sendiri.

Manusia dalam Pandangan Marx

Konsepsi Marx tentang sifat dasar manusia mengacu pada sintesis antara naturalisme dan humanisme. Jika merujuk pada A Dictionary of Marxist Thought, naturalisme merupakan suatu ajaran yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan ciptaan Tuhan atau sesuatu yang transenden, melainkan merupakan produk evolusi biologis yang panjang, yang pada satu titik mengalami perkembangan baru dan spesifik melalui perjalanan sejarah manusia, yang muncul atas daya kreatif mandiri. Adapun humanisme adalah paham yang mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk praksis atau memiliki kemampuan untuk mentransformasikan alam dan menciptakan sejarahnya sendiri.

Manusia memiliki kendali atas kekuatan alam yang dengan kendali tersebut dia dapat menciptakan lingkungan manusiawinya sendiri, mampu mengembangkan kapasitas diri dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, yang kemudian menjadi titik awal dari pengembangan diri berikutnya. Marx membedakan antara sifat dasar manusia secara umum yang mangacu pada aspek naturalis atau biologis dan sifat khusus yang mengacu pada aspek humanis atau historis. Keduanya merupakan sifat-sifat yang dapat “dimodifikasi dalam setiap tahapan-tahapan sejarahnya.”

Sejalan dengan perbedaan antara sifat dasar manusia dan cara sifat tersebut dimodifikasi dalam tiap-tiap tahapan sejarahnya, Marx membedakan dua jenis dorongan atau hasrat dalam diri manusia untuk menjalani kehidupannya.

Pertama, dorongan atau hasrat diri manusia yang tetap, seperti nafsu makan, seksual, atau hasrat terhadap kebutuhan material lainnya, yang merupakan bagian integral dari sifat dasar manusia, yang bentuk dan arahnya dapat berubah sesuai dengan tahapan sejarah kebudayaannya. Kedua, dorongan relatif, yang bukan merupakan bagian integral dari sifat dasar manusia tetapi ditentukan oleh kondisi ekonomi, khususnya cara-cara produksi kebutuhan materialnya. Dengan demikian, dalam pandangan Marx, sifat dasar manusia tidaklah statis, tetapi akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan sejarah kehidupannya.

Bagi Marx, kesadaran atau hasrat diri manusia tersebut tidak menentukan keadaan produksi materil, tetapi keadaan produksi materil lah yang menentukan kesadaran dan hasrat manusia. Berkaitan dengan hal ini, Marx mengklaim bahwa pemikirannya tidaklah mengacu pada faktor-faktor psikologis yang subjektif, melainkan pada faktor-faktor ekonomi-sosiologis yang objekif. Keberadaan kondisi-kondisi objektif ini mendahului kesadaran dan menentukan ruang gerak manusia dalam berproduksi, membangun relasi-relasi produksi, organisasi sosial, ideologi maupun hal keagamaan.

Basis Pemikiran Marxisme

Landasan teoritis pemikiran Marxisme adalah filsafat materialisme–dialektika. Dimensi materialisme dalam Marxisme, sebagaimana dalam terminologi filsafat, mengacu pada sebuah ajaran yang menyatakan bahwa segala sesuatu hakikatnya adalah materi, yakni yang berada di luar jangkauan persepsi indera atau kesadaran manusia; mengakui bahwa dunia materi adalah satu-satunya yang hakiki; dan mengakui bahwa materi adalah unsur primer atau basis yang menentukan ide atau kesadaran sebagai unsur sekundernya; Sedangkan dimensi dialektika mengajarkan bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan, termasuk perubahan yang bersifat revolusioner, karena terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan di dalamnya.sehingga menyebabkan perubahan terus terjadi.

Materialisme dialektika merupakan buah dari kajian kritis Marx terhadap pemikiran materialisme Feurbach yang dianggapnya sebagai pemikiran kontemplatif semata dan terhadap pemikiran idealisme Hegel yang dianggapnya tidak realistis. Dalam Tesis Tentang Feuerbach, Marx mengemukakan kritiknya terhadap Feuerbach di antaranya sebagai berikut:

“Kelemahan utama materialisme yang ada termasuk materialisme Feuerbach adalah mengenai kebendaan, kenyataan, atau kepancaindraan yang hanya dipahami dalam bentuknya sebagai objek atau suatu renungan, bukan sebagai aktivitas manusia yang inderawi dan praktis, atau bukan secara subjektif. Sebagai kebalikan dari materialisme, sisi aktif suatu objek dikembangkan secara abstrak oleh idealisme, yang tentu saja tidak mampu memahami aktivitas inderawi sebagaimana yang dikatakan tersebut. Feuerbach telah membedakan antara objek inderawi dengan objek berpikir, tetapi dia tidak memahami aktivitas manusia itu sendiri sebagai aktivitas yang objektif.

Kritik terhadap Feuerbach tersebut menujukkan bahwa Marx menginginkan sebuah pemikiran mengenai realitas alam yang tidak sebatas perenungan semata, tetapi mampu melahirkan aktivitas manusia di dalam kenyataan. Berkenaan dengan itu, juga dikatakan bahwa para ahli filsafat hanya telah mempersepsi atau menafsirkan dunia, sementara persoalan sebenarnya adalah tentang bagaimana mengubahnya. Adapun kritik Marx terhadap Hegel dalam Capital sebagai berikut:

“Metode dialektika saya, bukan hanya berbeda dengan Hegel, melainkan berlawanan dengannya. Bagi Hegel, proses berpikir merupakan suatu subjek yang independen, yaitu “Ide,” merupakan penentu dunia yang hakiki, dan dunia yang hakiki hanyalah sekedar bentuk eksternal dari “Ide.” Bagi saya, sebaliknya, ide bukanlah apa-apa kecuali merupakan cerminan dari dunia materi dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pemikiran.”

Dalam kutipan di atas Marx menyatakan bahwa pendekatannya adalah pendekatan yang berpijak pada realitas material yang berlawanan dengan pendekatan idealisme Hegel. Marx mengupayakan konsepsi materialis tentang dialektika dalam sejarah manusia secara ilmiah. Penerapan metode materialisme-dialektika sehingga menyentuh kehidupan nyata manusia, khususnya bidang ekonomi dan sosial masyarakat dikenal dengan istilah materialisme-historis. Marx menjelaskan materialisme historis secara umum sebagai berikut:

“Di dalam proses produksi sosial yang dilakukannya, manusia memasuki hubungan-hubungan tertentu yang pasti dan tidak bergantung pada keinginan mereka. Hubungan-hubungan produksi ini bergantung pada suatu tahap tertentu dari perkembangan kekuatan-kekuatan produksi material mereka. Keseluruhan hubungan produksi ini membentuk struktur ekonomi masyarakat yang merupakan basis bagi super-struktur hukum, politik, dan spiritual yang berhubungan denganbentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu secara jelas…Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan ekonomi masyarakat, melainkan struktur ekonomi masyarakat yang menentukan kesadarannya… pada tahap tertentu dari perkembangan mereka, kekuatan-kekuatan produksi material di dalam masyarakat berkonflik dengan hubungan-hubungan produksi yang ada… kemudian muncul suatu periode revolusi sosial. Ketika basis ekonomi mengalami perubahan, keseluruhan superstruktur juga mengalami perubahan yang kurang lebih sama.”

Dalam kutipan tersebut Marx membagi lingkup kehidupan manusia menjadi dua bagian, yakni “basis” dan “bangunan atas”. Basis adalah kekuatan-kekuatan produksi material atau struktur ekonomi masyarakat, sedangkan super-struktur atau bangunan atas meliputi proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual. Bagi Marx,struktur ekonomi masyarakat atau basis itulah yang menentukan kesadaran dan keadaan masyarakat, bukan sebaliknya.

Hal ini senada dengan pernyataan Marxdi lain tempat yang menjelaskan bahwa “ide, konsepsi, ataupun kesadaran manusia, pada awalnya terjalin langsung dengan cara produksi material, kemudian terbentuk hubungan-hubungan produksi material atau institusi-institusi antara sesama manusia sebagai sebuah bahasa kehidupan yang nyata.

Adapun proses memahami, berpikir, dan hubungan mental dengan manusia lainnya muncul sebagai akibat langsung dari aktivitas produksi materialnya. Hal yang sama juga berlaku pada produksi mental yang diekspresikan dalam bahasa politik, hukum, moralitas, agama dan metafisika suatu masyarakat.

Sebagaimana dikatakan bahwa Marx menghendaki pemikiran yang dinamis dan tindakan nyata. Marx menempatkan paham materialismenya dalam lingkup dialektika yang berangkat dari realitas kehidupan manusia, yakni dengan memperhatikan kesalinghubungan antara manusia dengan struktur ekonomi masyarakat dalam perkembangan sejarahnya.

Pada suatu tahapan tertentu, struktur ekonomi bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada. Ketika hal ini terjadi, yakni ketika cara-cara produksi yang dikembangkan tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan oleh institusi yang ada, sehingga tiba saatnya revolusi sosial. Dengan demikian,prinsip materialisme dialektika memiliki dua pola pemikiran, yakni menyatakan bahwa kesadaran atau kehidupan manusia tidak menentukan realitas material atau keadaan ekonomi masyarakat, tetapi sebaliknya, realitas yang menentukan kehidupan manusia. Dan menyatakan bahwa dengan tindakan atau aktivitas produksi materialnya, manusia dapat mengubah keadaan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Meskipun dua pola pemikiran tersebut yang dikembangkan Marx, pemikiran Marx pada dasarnya adalah materialisme. Prinsip pemikiran Marx ini tidak berbeda dengan para pemikir materialisme sebelumnya, yakni bertumpu pada keyakinan bahwa kenyataan adalah bersifat materi dan menjadikan hasil observasi inderawi sebagai landasan berpikir.

Dengan demikian, pemikiran Marx jelas menafikan keberadaan Tuhan pencipta, keabsahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan kebenaran agama karena agama bersandar pada wahyu dari Tuhan.

Dalam kritiknya terhadap Hegel, Marx menyatakan bahwa ketergantungan pada agama merupakan ekspresi kegelisahan dan protes terhadap kesulitan hidup, agama adalah desahan makhluk tertindas, jantung dunia yang tak berperasaan, sama seperti semangat kondisi tanpa roh, ia adalah candu manusia. Andaipun Marx mengakui adanya Tuhan dan agama, agama dan Tuhan yang dibayangkan Marx tersebut bukan lah Tuhan Yang Ada Tertinggi atau transenden, melainkan sesuatu yang bersifat material atau produk dari realitas material. Artinya, bagi Marx kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran agama bukanlah berasal dari dunia di atas sana, melainkan direduksi menjadi sekedar hasil kesadaran yang merupakan perkembangan dunia material.

Visi Pembebasan Marxisme

Bagi Marx, kapitalisme membagi manusia menjadi kelas para pemilik modal yang menguasai alat-alat produksi dan kelas para pekerja yang hidup dengan menjual tenaga kerjanya kepada para pemilik modal. Keadaan ini menjadi penyebab terjadinya penindasan manusia terhadap manusia lainnya dan bukan suatu kebetulan, melainkan cerminan dari kepentingan penguasaan alat-alat produksi sebagai akibat niscaya dari upaya manusia untuk mempertahankan dan memperbaiki kehidupannya.

Artinya, pembebasan manusia dari persoalan hidup diri hanya dapat dicapai jika sumber penindasan, yakni sistem hak milik pribadi dapat dihapuskan. Keadaan tanpa sistem kepemilikan pribadi inilah yang diharapkan dapat ditemukan dalam masyarakat tanpa kelas dengan sistem kepemilikan bersama atau sosialisme.

Jika meninjau kembali pemikiran Marx, dalam Gothaer Program, ia menyatakan bahwa perubahan atau revolusi sosial pada permulaannya adalah bersifat politis. Pada mulanya terjadi melalui perebutan kekuasaan oleh kaum para pekerja (proletar) untuk kemudian mendirikan “diktator proletariat”. Jika kekuasaan negara berhasil menumpas kelas para kapitalis untuk mencegah mereka menguasai kekayaan dan sarana-sarana secara pribadi dan jika sisa-sisa perbedaan kelas dalam masyarakat telah hilang, maka dengan sendirinya diktator proletariat akan menghilang. Sehingga tercipta masyarakat komunis tanpa hak kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, kelas-kelas sosial, negara dan pembagian kerja.

Sebagaimana dalam German ideology dijelaskan bahwa, “dalam masyarakat komunis masing-masing orang tidak terbatas pada bidang kegiatan ekslusif, melainkan dapat memperoleh kemahiran dalam bidang apapun, masyarakat mengatur produksi umum, sehingga memungkinkan mereka untuk bekerja hari ini, hal itu besok, pagi hari berburu, siang hari memancing ikan, sore hari memelihara ternak, setelah makan mengkritik…”

Namun pada kenyataannya, ide-ide utopis Marx tersebut terbukti gagal. Banyak negara komunis ataupun yang terinspirasi ide-ide Marx sekarang berubah menjadi berorientasi kapitalis. Selain itu, kaum proletariat atau para pekerja yang ditempatkan Marx sebagai jantung perubahan sosial telah banyak yang memperoleh kemakmuran dan sering termasuk kelompok yang menentang komunisme.

Herbert Marcuse, salah seorang pemikir Neo Marxis memandang bahwa optimalisasi teknologi modern dalam masyarakat kapitalis telah menancapkan kontrolnya secara lebih halus dan kuat, sehingga banyak di antara kalangan para pekerja berubah menjadi kelas baru yang sejahtera. Marcuse, yang juga salah seorang teoretisi kritis, mengibaratkan kondisi ini sudah seperti masyarakat tanpa kelas itu sendiri.

Para pemikir setelahnya, baik yang bercorak Neo-Marxisme maupun Post-Marxisme muncul mengkritisi pemikiran Marx. Namun, terlepas dari perdebatan beragam corak pemikiran yang menghadang pemikiran Marx, setidaknya terdapat satu hal yang membuat pemikiran-pemikiran Marxian sejalan dengan pemikiran.

Marx yang asli, yaitu visi memperjuangkan kebebasan manusia dari segala bentuk penindasan, khususnya yang berasal dari sistem kapitalistik. Jika konsisten dengan basis pemikiran Marx, maka perjuangan tersebut adalah perjuangan yang berprinsip pemikiran materialisme dialektika dan mengandalkan sains empiris sebagai satu-satunya neraca kebenaran untuk mewujudkan visi komunisme atau menciptakan masyarakat tanpa kelas. Meliputi perjuangan menghapuskan hak milik pribadi sebagai upaya penghapusan semua bentuk keterasingan, sehingga manusia kembali dari pengasingan diri dalam agama, keluarga, negara, atau hal-hal ideologis lainnya, kepada dirinya sendiri dalam kehidupan sosial ekonomi yang nyata.

Marx memandang bahwa pengasingan manusia dalam agama atau aspek ideologis lainnya hanya terjadi di dalam pikiran atau batin manusia saja, sedangkan persoalan hidup dalam sosial ekonomi merupakan kerterasingan yang nyata sebagai manifestasi realitas produksi material manusia. Realitas produksi material atau struktur sosial ekonomi masyarakat adalah basis yang menentukan seluruh aspek kehidupan manusia lainnya, bukan sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun