Mohon tunggu...
Derajat Fitra
Derajat Fitra Mohon Tunggu... Guru - Masih belajar

Iman-Ilmu-Amal

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sophisme Kontemporer

11 Juni 2020   15:21 Diperbarui: 11 Juni 2020   15:21 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Alternatif lain, manusia bisa kembali pada agama, tetapi bukan agama yang melembaga dan teroganisir, melainkan aliran-aliran kepercayaan dan kebatinan yang mirip dengan agama atau agama-agama palsu. Sebab, agama yang melembaga tak mendapat tempat dalam post-modernisme yang sejatinya anti kebenaran tunggal, absolut, dan universal.

Post-modernisme yang pada awalnya merupakan kritik terhadap modernisme untuk mencegah totaliterianisme dalam segala bidang, pada akhirnya cenderung jatuh ke dalam nihilisme. Ketika seorang post-modernis mengkritik suatu sistem pemikiran, lalu dia terpancing untuk menyusun suatu sistem yang lain, maka dia terjebak inkonsitensi. Sebab sistem yang disusunnya itulah yang dikritiknya sendiri, karena dianggap akan mendominasi dan mengeksploitasi sistem pemikiran yang lainnya. Namun, jika dia tidak menawarkan sistem yang lain, maka dia telah terjebak dalam kebisuan, kekosongan, atau nihilisme.

Ketika kebenaran objektif di luar pikiran ditolak, maka semua manusia boleh berbicara. Sebab batas-batas objektif antara kebenaran dan kesalahan telah diruntuhkan, klaim-klaim atas kebenaran mutlak dan universal telah diharamkan, dan otoritas apapun di luar diri manusia telah dirobohkan, karena ukuran kebenaran atas segala sesuatu adalah perspektif dari manusia itu sendiri.

Sebuah pemikiran yang menjadi unsur humanisme abad modern, kemudian dirayakan sekitar akhir abad ke-19 oleh para penganut nihilisme seperti Nietzsche, namun tiada lain adalah sebuah pemikiran yang telah dikemukakan jauh sejak sekitar 4 abad sebelum Masehi yang lalu, oleh seorang penganut sophisme di era Yunani Kuno, yaitu Protagoras.

Kebimbangan dan kebingungan masyarakat awam dalam menilai dan menentukan kebenaran, kekeliruan di kalangan konsultan yang memperjualbelikan ilmu demi kepentingan pribadi dan golongan dalam situasi perpolitikan Indonesia, dan munculnya aliran pemikiran post-modernisme dalam diskursus intelektual di era saat ini, mirip dengan kondisi sosial dan politik di Yunani Kuno sekitar 450-380 SM ketika aliran pemikiran sophisme muncul sesaat sebelum atau hampir bersamaan dengan era Sokratik.

Sophisme itu dikaitkan dengan suatu kaum yang disebut sebagai kaum Sophis dengan nama-nama filosofnya yang terkenal seperti Heraclius, Protagoras, Georgias, Hippia, dan Prodicus. Mereka hadir ketika masyarakat Athena sedang menikmati masa-masa demokratis setelah berhasil bebas dari tirani Imperium Persia. Mereka adalah orang-orang yang mahir beretorika dan beragumentasi guna meyakinkan orang lain bahwa pendapatnyalah yang paling benar, padahal semua itu hanya demi kepentingan pribadi untuk memperoleh keuntungan besar.

Maka para sophis itu adalah semacam orang-orang profesional penjaja kepintaran kepada orang-orang yang bisa membayarnya dengan harga tinggi supaya menang dalam beradu argumentasi dalam arena perdebatan.

Meskipun demikian, intelektualitas dan moralitas mereka dianggap meragukan. Sikap sewenang-wenang mereka dalam mempersoalkan kebenaran, sikap dari sebagian mereka yang selalu menolak semua klaim kebenaran tentang segala hal (skeptisime), dan sebagiannya lagi selalu memandang bahwa semua pendapat dari semua orang dan golongan sama-sama benar, tergantung sudut pandangnya masing-masing (relativisme), membawa masyarakat ke dalam pusaran skeptisisme dan relativisme kebenaran, nilai-nilai moral, dan spiritual. Sehingga lambat laun menimbulkan kekacauan dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari kekacauan di dalam pemikiran, hingga ujungnya menyebabkan keruntuhan tatanan masyarakat kota Athena ketika itu.

Plato menjuluki mereka sebagai pemikir-pemikir yang amoral, sebab tidak lagi mementingkan baik dan buruk, yang terpenting bagi mereka adalah memenangkan argumen dan mendapatkan bayaran. Bagi mereka kebenaran bukan diciptakan atau ditentukan oleh Tuhan, atau para dewa, bukan sesuatu yang suci atau yang bersifat ilahi. Kebenaran hanya bisa dicari, tetapi mustahil dapat dicapai.

Penentuan kebenaran berdasarkan kesepakatan manusia, yang mana standar benar atau salah, baik atau buruk, adil atau tidak adilnya, adalah persepsi manusia itu sendiri. Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, sehingga apa-apa yang dipercayai benar adalah apa-apa yang disepakati manusia atau komunitasnya. Tidak ada landasan kodratiah yang membuat kebenaran menjadi absolut.

Pokok pemikiran sophisme yang muncul di era Yunani Kuno lahir kembali dengan interpretasi yang berbeda dalam gaya aliran pemikiran postmodernisme yang muncul di era saat ini. Dalam perspektif para pemikir Barat abad ke-20, seperti Foulcault, Derrida, Alan Badiou dan lainnya, dapat diketahui bahwa pemikiran post-modernisme yang muncul saat ini, tiada lain adalah pemikiran yang mencerminkan kembali pokok-pokok pemikiran kaum sophisme Yunani Kuno ke dalam diskursus intelektual dewasa ini, meskipun dengan gaya dan corak khas yang baru. Dengan demikian, post-modernisme bisa disebut sebagai sophisme kontemporer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun