Mohon tunggu...
Derajat Fitra
Derajat Fitra Mohon Tunggu... Guru - Masih belajar

Iman-Ilmu-Amal

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sophisme Kontemporer

11 Juni 2020   15:21 Diperbarui: 11 Juni 2020   15:21 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Iklim perpolitikan di negeri kita saat ini, seperti sedang dikuasai oleh “rezim kata-kata” yang menjajah akal sehat manusia. Banyak orang dengan berani dan lantang berkata-kata, baik secara lisan maupun melalui tulisan, menyuarakan segala hal meskipun tidak sesuai dengan bidang keilmuan, kebenaran dan kenyataan yang sesungguhnya. Mereka yang memiliki citra keilmuan, kekayaan materil atau kekuasaan politik, dan mereka yang berasal dari kalangan masyarakat biasa, bermunculan layaknya seorang pakar, bermain kata-kata di tengah arus banjir informasi atau berita, untuk mempengaruhi, menjerat, dan menggiring para pembaca maupun pendengar awam dari berbagai lapisan masyarakat agar mempercayai semua tutur pembicaraan mereka.

Berbagai media, baik media cetak, elektronik maupun digital, dijadikan alat untuk menjerat masyarakat yang bimbang dalam memahami isi berita dan bingung menentukan dan menyikapi kebenarannya. Masyarakat digiring agar tetap percaya bahwa semua yang mereka perkatakan itu adalah kebenaran yang senyata-nyatanya dan kenyataan yang sebenar-benarnya. Padahal sejatinya semua itu palsu dan keliru, namun sengaja mereka kemukakan untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.

Sebagai contoh, salah satunya dapat kita temukan di dalam perhelatan politik Indonesia lima tahunan terakhir, yang penuh sesak dengan konsultan atau lembaga survey. Banyak di antara mereka yang menjajakan kepintaran menganalisa masalah-masalah sosial dan politik, dengan retorika yang menawan, dan argumentasi yang meyakinkan kepada pihak-pihak yang dapat memberi mereka bayaran yang tinggi, guna memenangkannya dalam perhelatan politik yang lima tahunan itu. Dengan citra kepintaran dan keilmuannya, para konsultan atau lembaga survey itu menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas untuk berbisnis.

Itulah satu di antara sekian banyak gejala sosial di kalangan masyarakat luas, di tengah perkembangan aliran pemikiran post-modernisme dalam diskursus intelektual di era kita dewasa ini.

Sebuah aliran pemikiran yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial, di dalamnya tidak akan terdapat kebenaran yang pasti dan hukum yang baku, sebab tidak ada bahasa atau logika yang sama, yang dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai kebenaran absolute tentang segala realitas yang niscaya sebagai acuannya. Sehingga, ilmu sosial dan turunannya seperti antropologi misalnya, tampak jauh melepaskan diri dari sistem pemikiran yang ilmiah. Bahkan salah seorang sosiolog terkenal, yaitu Clifford Geertz mengungkapkan bahwa antropologi hanyalah semacam karya fiksi belaka, yang mengacu pada data dan fakta. Dengan demikian, tidak ada bedanya antara ilmu sosial dengan sastra aliran post-modern.

Istilah post-modernisme pertama kali digunakan pada tahun 1930 oleh seorang pemerhati seni asal Spanyol yang bernama Federico de Onis dan pertama kali diproklamirkan dalam sebuah forum oleh Ihab Hassan. Melalui perspektif mereka dan perspektif kolektif dari sejumlah pemikir sekitar abad ke-20, seperti Nietzsche, Heidegger, Pynchon, Baselitz, Jencks, Brecht, Camus, Lyotard, Derrida, Foucault, Toynbee, Giddens, Herbet Marcuse, Habermas, Paul Feyerabend, Emre Lakatos, Baudrillard, Heisenberg, Fritjof Capra, dan lainnya, dapat diketahui bahwa post-modernisme tidak hanya mempengaruhi bidang ilmu-ilmu sosial. Post-modernisme juga mempengaruhi hampir seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk bidang ilmu pengetahuan secara keseluruhan.

Berdasarkan perspektif para pemikir itu, dapat diketahui bahwa aliran pemikiran post-modernisme pada awalnya muncul terlebih dahulu dalam lingkup bidang kesenian, arsitektural, dan kesusastraan. Dalam perkembangan selanjutnya, post-modernisme kemudian merambah seluruh bidang kebudayaan, filsafat, ilmu-ilmu kealaman, teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti, ilmu sejarah, hukum, ekonomi, politik, komunikasi, dan lain sebagainya.

Pengaruh pemikiran post-modernisme, sejak awal kemunculannya, yang kemudian mencapai puncak popularitas sekitar tahun 1960-an, dewasa ini telah merasuki segala bidang yang ada hubungannya dengan manusia. Secara khusus, dalam perspektif filsafat, post-modernisme telah menjadi bagian dari epistemologi atau kerangka mental (worldview) yang melahirkan paradigma atau interpretasi tentang episteme atau tradisi ilmu pengetahuan yang berbeda dengan interpretasi modernisme.

Istilah post-modernisme memiliki banyak pengertian. Namun, jika ditinjau secara etimologis, maka kata “post” adalah prefiks dalam bahasa Inggris yang merujuk pada keterangan waktu yang berarti “sesudah”, kata “modern” berasal dari kata Latin “modernus” yang artinya “baru” “mutakhir” atau “sekarang”, sedangkan “isme” berasal dari kata Yunani “ismos” atau kata Latin “ismus” yang berarti “paham” atau “kepercayaan”.

Adapun secara historis, post-modernisme adalah aliran, gerakan pemikiran, atau paham yang muncul sebagai refleksi kritis Barat terhadap tradisi kebudayaan, filsafat, ilmu pengetahuan, dan seluruh aspek peradaban Barat modern lainnya. Meskipun telah melahirkan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya bidang ilmu pengetahuan sains dan teknologi, tetapi modernisme dianggap telah gagal mewujudkan kehidupan manusia menjadi lebih baik dan dianggap bertanggungjawab atas munculnya berbagai bentuk eksploitasi manusia terhadap manusia, atau eksploitasi manusia terhadap alam.

Modernisme mulai muncul di Barat sekitar abad ke-15 Masehi. Tokoh-tokoh pemikir yang membidani dan memotori modernisme di antaranya seperti Copernicus, Francis Bacon, Descartes, Thomas Hobbes, Newton, John Locke, Spinoza, Liebniz, Hume, Rousseu, Hegel, Feuerbach, Adam Smith, Kant, Comte, Karl Marx, Bentham dan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun