Kata hubung "tapi" dalam kalimat tersebut menunjukkan pertentangan antara dua konsep sebelum dan setelah kata itu. Kedua hal tersebut dipertentangkan, karena dalam pandangan yang banyak diterima seseorang yang cantik itu semestinya tidak nakal; atau bahwa nakal-nya itu tidak patut berdampingan dengan 'cantik.
Mengapa harus demikian? Apakah orang cantik tidak boleh nakal?
Simak penjelasan saya sebentar saja.
SELEKSI SEKSUAL
Dalam kerangka pikir Seleksi Seksual (cabang pemikiran Seleksi Alam ~ Teori Evolusi Darwinan), seperti disampaikan oleh Ersnt Mayrr dalam bukunya Evolusi,
"Certain female phenotype selects a male with particular phenotypic traits."
Intinya, wanita akan memilih pria dengan ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan syaratnya. Wanita itu bisa berbuat demikian karena sudah memiliki ciri "cantik" yang diterima komunitasnya. Tidak semua pria bisa mendapatkan kecantikan wanita itu. Oleh karena itu lumrah bila terjadi kompetisi, seleksi seksual untuk mendapatkan pasangan yang sesuai.
Kompetisi ini layak dilakukan karena label "cantik" ini tidak selalu dimiliki semua orang. Untuk menjadi cantik, beberapa wanita melakukan usaha yang tidak ringan. Dalam beberapa masyarakat, dimana cantik identik dengan tinggi dan langsing, usaha dilakukan supaya kelangsingan terjaga dan ada faktor keberuntungan genetis sehubungan dengan tinggi badan yang ingin dipertahankan dan diturunkan kepada generasi berikutnya.
Masyarakat lain menentukan kecantikan mereka dengan cara yang berbeda-beda; ada yang dinilai dengan kulit putih, panjang leher, tubuh yang berisi (di abad pertengahan gadis yang kurus dianggap miskin dan kurang gizi) .dll.
Intinya, kecantikan adalah hal yang langka dan seringkali diupayakan dengan usaha yang tidak ringan. Hal ini mengesahkan terjadinya kompetisi yang sengit untuk mendapatkan pemilik kecantikan. Dengan demikan kecantikan menjadi hal yang "tinggi", yang dinilai "baik": prototipe kesempurnaan.
EFEK MATIUS
Sering diacu sebagai "The Matthew Effect" yang diambil dari kitab Matius dalam Alkitab. Tidak akan ada pembahasan teologis di sini. Prinsip ini diambil karena sudah menjadi fakta dalam pembelajaran psikologi sosial dan sosiologi.
Bunyinya demikian, "For unto every one that hath shall be given, and he shall have abundance: but from him that hath not shall be taken away even that which he hath" (Mat 25:29, KJV)
Intinya, kalau kita sudah punya sesuatu, banyak hal yang lebih akan ditambahkan. Sedangkan kalau kita tidak punya apa-apa, apa yang ada akan diambil dari kita.
Jika seseorang itu cantik, dimana kecantikan itu dinilai sebagi ciri yang prototipikal sempurna, maka mengikuti matthew effect, gadis cantik tadi juga akan dianggap cerdas, rajin, baik hati .dll. Sedangkan jika seseorang tidak cantik, maka besar kemungkinan gadis tadi akan dianggap bodoh, malas, tidak tahu sopan santun .dll.
"Good things tend to compound", kata Paul Bloom.
Diakui atau tidak, Matthew Effect seringkali (kalau bukan malah selalu) berpengaruh di masyarakat kita juga. Buktinya?
Cantik tapi Nakal.
Cantik kok Nakal.
Cakep kok Males Kerja.
Cakep-cakep bodoh... .dll
Kita berharap "good things to compound."
Selayaknya sikap positif diikuti dengan sikap positif lainnya. Ini berlaku juga sebaliknya untuk sikap yang dianggap negatif. Seringkali mengherankan melihat anak yang tampak biasa saja tapi cerdas luar biasa - kita tidak selalu siap mengantisipasi kemungkingkinan sikap positif muncul dari pemilik sifat yang dianggap tidak menguntungkan, seperti pendek, hitam, gemuk... we lah, ternyata pinter dan kaya...
MATTHEW EFFECT on EFFECT
Untuk para pendidik, "good things tend to compound." Hal baik cenderung bertumpuk. Kata kuncinya "cenderung". Kecenderungan itu berawal dari Matthew Effect yang dimunculkan masyarakat. Bagi yang memiliki atribut itu, Matthew Effect menjadi ramalan yang harus digenapi.
Seorang siswa yang cantik, mungkin lebih diperhatikan oleh gurunya dibanding siswa yang tidak cantik. Sang guru berasumsi (karena terkena Matthew Effect) bahwa siswa yang cantik tadi tentu juga pintar dan rajin. Bagi sang siswa, yang diperlakukan dengan khusus oleh gurunya, ini menjadi motivasi baginya untuk "menggenapi ramalan"gurunya dan terus berjuang sebaik mungkin membuktikan dirinya pintar dan rajin. Setelah terbukti demikian, sang guru menyimpulkan bahwa asumsinya benar.
Beginilah cara Matthew Effect bekerja dalam masyarakat kita.
UNTUK KITA
Kita tidak bisa menghindar dari Matthew Effect. Efek ini tidak selalu buruk, banyak orang telah memanfaatkan efek ini hingga dapat mencapai obsesi dan cita-cita mereka. Tetapi perlu juga kita waspada agar tidak termakan efek ini.
Misalnya, untuk para guru, perhatian diberikan bukan pada mereka yang pintar, rajin dan cantik saja. Barangkali siswa yang malas itu cerdas, malas karena cerdas, atau siswa yang berwujud fisik di bawah standar itu ternyata jago lari .dll.
Jangan lagi kita terlalu kaget sewaktu mengatakan, "Ayu ning Bodo."
Itu bisa terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H