3. Sosok Ayah (Part 3)
“Masalah motormu tenang saja, nanti ada kawan saya dari Pasar Bong ang antar kesini, aku sudah minta tolong dia” kata Pak Salim
Aku dan Fajar tersenyum bersyukur mendengar hal itu.
Perlakuan Pak Salim juga istrinya sangat baik kepada kami,
kami bahkan sebelumnya sudah diajak makan malam bersama.
Tiba-tiba saja putri kecil Pak Salim datang dari dalam kamar,
dia berlari menuju ayahnya tanpa memedulikan keberadaaanku dan Fajar.
Aliyah, itulah nama putri kecil Pak Salim, dia mengajak ayahnya bermain.
“Ayah-ayah gini lho”
sambil membuka kedua telapak tangannya,
Aliyah meminta ayahnya melakukan hal serupa, Pak Salim pun menurutinya.
Aliyah lantas bernyanyi sambil menepukkan telapak tangannya
ke telapak tangan ayahnya.
“Pok pok pok dem dem dem...
Ji walang kaji kokok beluk dem dem dem...
Cang kacang lombok abang melungker...
Siti nang kali bagong nang embong...
Plekenuuu....t”
Lho bait terakhirnya kok jadi gitu? gumamku dalam hati.
Mestinya ini nih lanjutannya
Siti njaluk rabi tak olehno asu mbaong...
(tapi mungkin memang ga enak ya, masa’ lagu anak-anak
isinya njaluk rabi = minta kawin.
By the way plekenuuu...t artinya apa ya?
Whatever-lah yang penting ga minta kawin)
Wah ini lagu dolanan (permainan) lawas versinya Aliyah.
Lagu ini begitu populer di kalangan anak-anak tempo doeloe terutama
di Surabaya dan sekitarnya. Ternyata di Jawa Tengah dan
Jogjakarta juga ada lho dengan sedikit redaksi yang berbeda.
Kalo anak-anak kecil zaman sekarang mungkin sangat sedikit yang tahu,
mereka mungkin lebih tahu Let it go dari pada pok pok ini atau
lebih senang main gadget yang justru bisa berpotensi penurunan
kemampuan bersosialisasi anak.
Tapi Aliyah ternyata masih mewarisi lagu ini dari keluarganya
dengan versi dan gayanya sendiri. Ayah dan anak itu tertawa berbahagia,
aku dan Fajar yang melihatnya juga turut senyum-senyum
melihat keceriaan Aliyah. Fajar bahkan kemudian ikut
menggoda Aliyah, keduanya lantas tertawa.
Pandanganku tertuju pada sosok Pak Salim,
dia tidak hanya telah menyelamatkan aku dan Fajar
dari sindikat yang mengerikan, tetapi juga menampilkan
kepada kami sosok Ayah. Meskipun telah seharian dia bekerja,
tak nampak kelelahan di wajahnya ketika putri kecilnya menyambut.
Dengan suka hati dia menggendong putrinya,
didengarkannya cerita dari anaknya dengan penuh perhatian,
dia pun tak malu-malu bermain dan bernyanyi bersama putrinya.
Sungguh Pak Salim, engkau adalah seorang ayah.
Ingin rasanya aku memiliki ayah seperti beliau.
Sekalipun tidak setiap saat engkau menemani putra-putrimu
Tapi sungguh sedetik dalam dekapanmu adalah keceriaannnya
Memang tanganmu tak selembut sutra
Suaramu juga tak semerdu sang diva
Wajahmu juga tak seelok bintang muda
Tapi....
Tangan itulah yang bisa melindungi dan mengayomi mereka
Suara itulah yang bisa mengajarkan kehidupan pada mereka
Wajah itulah yang bisa menyalakan semangat mereka
Ayah...
Engkaulah perisai
Engkaulah pelita hati
Engkaulah asa mimpi
Bagi kami putra-putrimu
***
Yusuf S Wiyono, nama itulah yang aku ketahui di lembar akta kelahiranku sebagai nama ayahku.
bahwa di Surabaya pada tanggal Dua Belas Maret
tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh Delapan telah lahir
ARIS MAULANA WIYONO
anak ke Satu dari Ayah Yusuf S Wiyono dan Ibu Suhartiningsih
Entah bagaimana caranya ayah dan ibuku bisa menguruskan akta kelahiranku eperti itu. Padahal mereka sebenarnya tidak tahu secara pasti tanggal berapa
aku lahir, tapi tanggal 12 Maret yang kemudian dipilih sebagai tanggal lahirku.
Semenjak Ayah meninggalkan Ibu, Ibu selalu mengatakan kepadaku bahwa
Ayahku sudah tidak ada dan meminta supaya penulisan namaku cukup Aris Maulana
tanpa Wiyono. Ibu tidak pernah menceritakan sama sekali perihal masa lalu
ayah bagaimana. Nampaknya Ibu sangat marah dan sakit hati terhadap ayah.
Aku bahkan sudah lupa wajahnya seperti apa, satu hal yang pernah aku dengar
dari Ibu ketika berbicara dengan nenek, bahwa Ayahku bekerja di kapal,
dia biasa berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dengan membawa berbagai
komoditi, ya... Ayahku adalah seorang pelaut. Jika saja ayah masih berada
di sisiku sekarang, barangkali aku tidak akan kesulitan untuk mengetahui
keluarga kandungku, yah.. setidaknya barangkali Ayah Yusuf memiliki petunjuk
tentang masa laluku. Sayang aku tidak tahu keberadaan ayah,
Pak Lek juga tidak tahu. Kami benar-benar putus hubungan.
***
Aku dan Fajar memutuskan untuk menginap di rumah Pak Salim.
Fajar sudah berhasil menghubungi keluarganya via smartphone-nya
yang telah di charge. Dia menjelaskan semua yang terjadi, dan
keberadaannya sekarang di rumah Pak Salim.
Jam sepuluh malam, dua orang kawan Pak Salim datang dan
mengantarkan motor Fajar. Alhamdulillah, aku dan Fajar akhirnya
bisa tidur tenang, meskipun harus tidur di ruang tamu, karena
memang rumah Pak Salim hanya ada satu kamar saja.
Kami memang tidak mendapatkan petunjuk apa-apa hari ini,
tapi setidaknya aku dan Fajar sudah bisa selamat dari
kejahatan yang luar biasa.
Tengah malam aku terbangun. Kulihat Fajar disampingku sedang
tertidur pulas. Aku berdiri, samar-samar kulihat seperti sebuah
sertifikat atau ijazah yang menggantung di tembok.
Tadi aku tidak seberapa memerhatikannya, karena memang
letaknya di pojok, seperti di taruh sekenanya.
Aku mendekat dan kulihat dengan seksama tulisan dalam
sertifikat atau ijazah itu, Ternyata itu adalah sebuah ijazah
Mualim Pelayaran Intersuler (MPI) atau sekarang disebut
Ahli Nautika Tingkat IV (ANT IV). ANT IV adalah keahlian perwira-perwira
kapal antar pulau, tugasnya antara lain mengatur muatan,
persediaan air tawar dan sebagai pengatur arah navigasi.
Jadi Pak Salim adalah seorang pelaut juga, tapi mengapa dia sekarang berhenti?
Tapi perhatianku sesungguhnya adalah pada nama dalam
ijazah tersebut, Yusuf Salim,
Nama itu... Nama itu sangat mirip dengan nama ayahku
Yusuf S Wiyono,
Apakah S dalam nama ayahku adalah Salim???
Apakah Pak Salim adalah Ayahku???
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H