2. Slompretan (part 4)
Tersentak tubuhku,.. kaget mendengar suara Fajar berteriak. Mataku langsung terbelalak, mencari tahu apa gerangan yang terjadi dengan Fajar di dalam.
Ris....., lari Ris....!!!
Sejak semula dia sudah ragu dengan laki-laki itu, sehingga selalu waspada. Fajar memberanikan diri masuk lebih dulu ke rumah itu dan menyuruhku menunggu di luar. Aku tidak mungkin lari meninggalkan Fajar sendiri dalam
situasi yang tak pasti. Ayo Fajar segera keluarlah.....
Sesosok tubuh dewasa dengan pakaian mirip lelaki paruh baya tadi mendekati Fajar. Dia mengayunkan kepalan tangan kanannya ke arah pipi kiri Fajar. Fajar tangkas, dia menggerakkan tubuhnya ke samping dan bisa menghindari pukulan itu. Namun tiba-tiba seseorang dari belakang mencengkram tubuh Fajar, posisi kedua tangan Fajar menjadi sulit
bergerak. Fajar bergerak meronta-ronta, namun cengkraman sosok berbaju serba hitam itu cukup kuat. Fajar lalu mendorong tubuhnya mundur sekuat tenaga,
sehingga laki-laki yang mencengkramnya juga ikut mundur sampai membentur pagar teralis. Laki-laki itu kesakitan dan melepaskan
cengkramannya, Fajar segera mengambil kesempatan itu,
dia bergegas lari keluar keluar rumah itu.
Dadaku berdegup lebih kencang. Wajahku sumringah
melihat Fajar berhasil keluar dari rumah itu.
“Ayo.. Jar!,” teriakku. Kita berdua segera lari menuju arah Pasar Bong.
Tapi dua orang berpakian serba hitam itu keluar dari rumah,
mereka melihat aku dan Fajar dan lari mengejar kami.
Sudah menjelang maghrib, suasana jalan slompretan sangat sepi.
Kami berdua terus lari, melewati pertigaan jalan bibis dan slompretan,
kami lihat Klenteng Hok An Kiong di depan, “masuk klenteng ta Jar!?”
tanyaku sambil lari terengah-engah.
“Tutup ris, pagarnya tutup, belok ae ke jalan coklat.”
Aku dan Fajar lari membelokkan arah ke kiri masuk ke jalan coklat.
Di kawasan ini juga terdapat bangunan-bangunan lama,
sebagian besar sudah dipugar atau dibangun kembali
dan digunakan sebagai perkantoran bank-bank swasta.
Namun sayang sore hari sudah tutup semua.
Kami tidak bisa minta tolong kepada siapa pun disini.
Aku menoleh ke belakang, aku lihat hanya seorang saja
yang mengejar kami. Kemana laki-laki berpakaian hitam satunya?,
aku dan Fajar terus berlari, melewati beberapa kantor bank yang sudah tutup. Kami sampai di pertigaan jalan Teh dan jalan Coklat. “belok kanan Ris, nanti tembus jalan gula, terus nanti ke Slompretan Pasar Bong” “yowis ayo cepet...!! orang itu sudah semakin dekat”
Aku dan fajar masuk ke jalan Teh, kami mempercepat
gerak lari kami. Fajar yang tubuhnya lebih besar dari aku,
jangkauan langkahnya lebih lebar daripada aku,
sehingga posisinya berada di depanku. Aku terus lari
membuntuti Fajar dari belakang. Aku lihat laki-laki yang
mengejar kami, juga masuk ke jalan Teh.
Jarak kami kira-kira dua puluh meter. Laki-laki itu melihatku
seperti aku ini adalah mangsanya. Nafas terengah-engah dan
keringat bercucuran tetapi kami tidak mungkin berhenti.
Sampai di pertigaan jalan Gula dan jalan Teh, Fajar belok kanan
aku mengikutinya. Tapi baru beberapa meter berlari, kami terkejut
dan berhenti mendadak, ternyata laki-laki berpakian hitam yang satunya
sudah ada sekitar sepuluh meter di depan kami.
“balik-balik, balik-balik, ayo cepet...cepet!”
Kami membalikkan badan, berlari dan kembali melewati
pertigaan jalan Teh. Laki-laki yang mengejar kami di jalan Teh
hampir saja mendapatkan kami, dia sudah dua atau tiga meter
dari ujung pertigaan yang kami lewati. Kami terus lari di jalan Gula.
Lebar jalan ini menyempit, seperti sebuah gang.
Kanan dan kirinya banyak bangunan tua yang berlantai dua atau tiga.
Gedung-gedung tua itu tidak terawat, tembok-temboknya
banyak yang sudah terkelupas, sehingga susunan bata-batanya kelihatan,
catnya sudah banyak yang pudar bercampur dengan jamur dan debu,
namun di situlah keeksotisan jalan ini.
Aku dan Fajar tidak sempat menikmati itu semua,
kami terus berlari, karena dua orang yang tak jelas apa
tujuannya mengejar kami.
Kami sudah hampir sampai di ujung jalan Gula,
pertigaan dengan jalan Karet. Dua orang tersebut masih
mengejar kami jarak mereka semakin dekat.
Tiba-tiba ada mobil pick up warna hitam berhenti tepat di pertigaan,
seorang laki-laki paroh baya yang mengemudikan pick up
melihat kami, lalu berkata “Ayo naik belakang”
Situasi sudah mendesak, tanpa pikir panjang aku dan Fajar
langsung melompat ke dalam pick up tersebut.
Pak Sopir segera menginjak gas dan mobil segera melaju kencang
di jalan Karet. Kami lihat dua laki-laki yang mengejar kami tadi
sudah tidak bisa melakukan apa-apa, mereka menatap kami
dengan kesal. Selamatlah aku dan Fajar.
Tapi siapakah Pak Sopir ini? Dari mana datangnya dia?
Kok tiba-tiba muncul seperti malaikat penolong?
Apakah benar dia penolong? Atau jangan-jangan
kami hanya keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya?
Oh... Dimanakah petunjuk masa lalku...???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H