Mohon tunggu...
depra rasio
depra rasio Mohon Tunggu... Administrasi - Staf di Sekolah Tinggi

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC) Aku Ini Siapa? (6)

23 Maret 2016   12:22 Diperbarui: 23 Maret 2016   12:27 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

2. Slompretan (part 4)

 

Tersentak tubuhku,.. kaget mendengar suara Fajar berteriak. Mataku langsung terbelalak, mencari tahu apa gerangan yang terjadi dengan Fajar di dalam.

 Ris....., lari Ris....!!!

 

Sejak semula dia sudah ragu dengan laki-laki itu, sehingga selalu waspada. Fajar memberanikan diri masuk lebih dulu ke rumah itu dan menyuruhku menunggu di luar. Aku tidak mungkin lari meninggalkan Fajar sendiri dalam

situasi yang tak pasti. Ayo Fajar segera keluarlah.....

 

Sesosok tubuh dewasa dengan pakaian mirip lelaki paruh baya tadi mendekati Fajar. Dia mengayunkan kepalan tangan kanannya ke arah pipi kiri Fajar. Fajar tangkas, dia menggerakkan tubuhnya ke samping dan bisa menghindari pukulan itu. Namun tiba-tiba seseorang dari belakang mencengkram tubuh Fajar, posisi kedua tangan Fajar menjadi sulit

bergerak. Fajar bergerak meronta-ronta, namun cengkraman sosok berbaju serba hitam itu cukup kuat. Fajar lalu mendorong tubuhnya mundur sekuat tenaga,

sehingga laki-laki yang mencengkramnya juga ikut mundur sampai membentur pagar teralis. Laki-laki itu kesakitan dan melepaskan

cengkramannya, Fajar segera mengambil kesempatan itu,

dia bergegas lari keluar keluar rumah itu.

 

Dadaku berdegup lebih kencang. Wajahku sumringah

melihat Fajar berhasil keluar dari rumah itu.

“Ayo.. Jar!,” teriakku. Kita berdua segera lari menuju arah Pasar Bong.

 

Tapi dua orang berpakian serba hitam itu keluar dari rumah, 

mereka melihat aku dan Fajar dan lari mengejar kami. 

Sudah menjelang maghrib, suasana jalan slompretan sangat sepi. 

Kami berdua terus lari, melewati pertigaan jalan bibis dan slompretan, 

kami lihat Klenteng Hok An Kiong di depan, “masuk klenteng ta Jar!?” 

tanyaku sambil lari terengah-engah.

“Tutup ris, pagarnya tutup, belok ae ke jalan coklat.” 

Aku dan Fajar lari membelokkan arah ke kiri masuk ke jalan coklat. 

Di kawasan ini juga terdapat bangunan-bangunan lama,

sebagian besar sudah dipugar atau dibangun kembali 

dan digunakan sebagai perkantoran bank-bank swasta.

Namun sayang sore hari sudah tutup semua.

Kami tidak bisa minta tolong kepada siapa pun disini.

 

Aku menoleh ke belakang, aku lihat hanya seorang saja

yang mengejar kami. Kemana laki-laki berpakaian hitam satunya?,

aku dan Fajar terus berlari, melewati beberapa kantor bank yang sudah tutup. Kami sampai di pertigaan jalan Teh dan jalan Coklat. “belok kanan Ris, nanti tembus jalan gula, terus nanti ke Slompretan Pasar Bong” “yowis ayo cepet...!! orang itu sudah semakin dekat”

 

Aku dan fajar masuk ke jalan Teh, kami mempercepat 

gerak lari kami. Fajar yang tubuhnya lebih besar dari aku, 

jangkauan langkahnya lebih lebar daripada aku, 

sehingga posisinya berada di depanku. Aku terus lari 

membuntuti Fajar dari belakang. Aku lihat laki-laki yang

mengejar kami, juga masuk ke jalan Teh. 

Jarak kami kira-kira dua puluh meter. Laki-laki itu melihatku

seperti aku ini adalah mangsanya. Nafas terengah-engah dan

keringat bercucuran tetapi kami tidak mungkin berhenti.

 

Sampai di pertigaan jalan Gula dan jalan Teh, Fajar belok kanan 

aku mengikutinya. Tapi baru beberapa meter berlari, kami terkejut 

dan berhenti mendadak, ternyata laki-laki berpakian hitam yang satunya 

sudah ada sekitar sepuluh meter di depan kami.

“balik-balik, balik-balik, ayo cepet...cepet!”

 

Kami membalikkan badan, berlari dan kembali melewati 

pertigaan jalan Teh. Laki-laki yang mengejar kami di jalan Teh 

hampir saja mendapatkan kami, dia sudah dua atau tiga meter 

dari ujung pertigaan yang kami lewati. Kami terus lari di jalan Gula. 

Lebar jalan ini menyempit, seperti sebuah gang. 

Kanan dan kirinya banyak bangunan tua yang berlantai dua atau tiga. 

Gedung-gedung tua itu tidak terawat, tembok-temboknya 

banyak yang sudah terkelupas, sehingga susunan bata-batanya kelihatan, 

catnya sudah banyak yang pudar bercampur dengan jamur dan debu,

namun di situlah keeksotisan jalan ini. 

Aku dan Fajar tidak sempat menikmati itu semua,

kami terus berlari, karena dua orang yang tak jelas apa 

tujuannya mengejar kami. 

 

Kami sudah hampir sampai di ujung jalan Gula, 

pertigaan dengan jalan Karet. Dua orang tersebut masih 

mengejar kami jarak mereka semakin dekat. 

Tiba-tiba ada mobil pick up warna hitam berhenti tepat di pertigaan, 

seorang laki-laki paroh baya yang mengemudikan pick up 

melihat kami, lalu berkata “Ayo naik belakang” 

 

Situasi sudah mendesak, tanpa pikir panjang aku dan Fajar 

langsung melompat ke dalam pick up tersebut. 

Pak Sopir segera menginjak gas dan mobil segera melaju kencang 

di jalan Karet. Kami lihat dua laki-laki yang mengejar kami tadi 

sudah tidak bisa melakukan apa-apa, mereka menatap kami 

dengan kesal. Selamatlah aku dan Fajar.

 

Tapi siapakah Pak Sopir ini? Dari mana datangnya dia? 

Kok tiba-tiba muncul seperti malaikat penolong? 

Apakah benar dia penolong? Atau jangan-jangan 

kami hanya keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya? 

Oh... Dimanakah petunjuk masa lalku...???

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun