"Ketika tulisanmu begitu melejit maka kamu tak bisa lagi menandinginya," kata Harper Lee mengingatkan.
Tulisan singkat lagi fakir pengetahuan ini bukan bermaksud bertendensi. Sebab, sampai sekarang penulis sendiri belum bisa lepas dari kalimat-kalimat yang ditulis. Dan membiarkannya mencari untungnya sendiri. Pertama, semati-mati angin, selemah-lemah iman, penulis masih berkeinginan tulisan-tulisan yang dihasilkan dibaca banyak orang. Walau itu hanya corat-coret yang kusebut tulisan.
Kemudian, kali keduanya, kita juga tidak bisa mungkiri motivasi seseorang untuk menulis. Jika menulis hanya sekadar untuk menulis tanpa ada iming dan pengharapan di baliknya, maka itulah jalan yang ia pilih. Kita harus hargai itu. Juga sebaliknya, jika menulis untuk menafkahi, itu juga pilihan yang harus dihargai. Menulis untuk jadi selebriti itu juga pilihan.
Menurut pengetahuanku yang sempit, barangkali dulu pada awalnya, alasan orang menulis ya sekadar menulis. Menulis untuk menghibur, menulis untuk perjuangan, menulis untuk pengetahuan atau berdakwah barangkali muncul belakangan ini, setelah pengalaman-pengalaman manusia semakin kompleks.
Terakhir, tulisan sama halnya dengan musik. Sebagai produk kultural, ia boleh saja terkait perkara selera -enak atau tidak enak. Ia boleh saja terkait perkara motivasi. Ia boleh saja terkait perkara pengalaman-pengalaman hidup yang dirasai. Ia boleh saja dikekang atau dilepas kemanapun ia senangi. Sebab tulisan itu soal rasa, maka boleh jadi setelah menulis membuatmu "mati rasa".
Karena melalui tulisan kita bisa curhat, barangkali tulisan ini salah satunya. Selamat berakhir pekan, mungkin hari ini aku harus menyelesaikan kencan rahasiaku bersama Iris Murdoch. Salam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H