Mohon tunggu...
Depitriadi
Depitriadi Mohon Tunggu... Wartawan -

Tengah giat menulis cerita anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis adalah Kematian yang Kau Percepat

18 Januari 2018   10:00 Diperbarui: 19 Januari 2018   00:20 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasih percayalah kepada diriku

Hidup matiku hanya untukmu

(Kasih-Ermy Kullit)

Namun, demikianlah musik tulis Fajar Martha, -penulis yang  karyanya kugandrungi belakangan ini- ia seperti sastra. Ia adalah soal rasa. Rasa yang timbul darinya disemai melalui pengalaman hidup sehari-hari. Ia bisa datang dari mana saja, dan disukai oleh siapa saja.

Ya sudahlah, mari abaikan saja musikalitas keponakanku itu, toh Jason Ranti -psikolog  yang juga penyanyi- pernah bilang; musik itu cuma ada dua genre, musik yang enak didengar dan musik yang tidak enak didengar. 

Kuingin garis bawahi kata "enak" dan "tidak enak" untuk tulisan berikut ini. Barangkali kedua kata tersebut bisa sepadan dengan kalimat; "tulisan yang enak dibaca dan yang tidak enak dibaca." Boleh jadi tulisan yang tengah sidang pembaca simak ini termasuk ke dalam salah satunya. Boleh jadi sangat tidak enak, sebab dari awal sampai detik ini melewarentah ke mana - seperti kiramu tentangku saat ini. Percayalah kubisa terima itu.

Sampai di paragraf ini, kembali kuteringat quotes super dari pencipta Alina yang sendu; Seno Gumira Ajidarma. Dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, dia meriwayatkan bahwa menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa---suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.

Quotes itu benar adanya, sebab banyak kudapati penulis yang berkata-kata melalui tulisannya. Lebih-lebih bagi penulis yang kukenal dekat. Melalui tulisannya, kubisa lihat mimik dan gestur tubuhnya saat bicara. Amboi! Beruntungnya "aku".

Tapi kukira menulis adalah "kematian" yang kau percepat atau yang harusnya kau percepat. Mati dari segala rasa ke"aku"an; mendaku, diakui, terakui, mengakui. Setelah kau menulis, harusnya kau menjadi hampa. Biarkan tulisanmu mencari nasibnya sendiri, tanpa perlu kau urusi kemana ia akan pergi. Tapi sayang, kini banyak yang menjajakan karya yang ditulis.

"Aku suka menulis. Aku cinta menulis. Tetapi aku menulis untuk diriku sendiri dan kesenanganku sendiri," kata J.D Salinger, yang mungkin bisa menjelaskan mengapa ia sangat tidak mau dikenal sebagai penulis. Meski banyak yang bilang itu tidak ubahnya dengan onani, tapi kupikir dia jauh lebih baik dari mereka yang menandatangani buku-buku dengan iming-iming diskon karena memesan lebih awal. Betapa malangnya mereka yang tidak tahu dirinya jadi korban dan dikorbankan, kata Seno Gumira Ajidarma dalam Kitab Omong Kosong.

J.D Salinger menulis "The Catcher in the Rye" tahun 1951. Dua tahun setelah itu ia pindah ke daerah pedesaan terpencil di Cornish, New Hampshire, Amerika Serikat. Ia mengasingkan diri hingga akhir hidupnya di sana. Tak hanya itu. J.D Salinger melengkapi dirinya dengan senapan. Dia anti selebriti. Ia pun tak mau fotonya berada di sampul bukunya sendiri. Kukira ia penulis yang benar-benar hanya ingin menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun