Mohon tunggu...
Depitriadi
Depitriadi Mohon Tunggu... Wartawan -

Tengah giat menulis cerita anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dylan dan Nobel Sastra yang Berpolemik

25 November 2016   17:47 Diperbarui: 25 November 2016   19:35 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bod Dylan (The Bob Dylan Archive. Sumber Gambar: www.musicshopeurope.com)

Dalam hemat penulis (boleh diklarifikasi) beberapa dekade terakhir istilah sastra seolah telah dikotakkan oleh satu kajian ilmu. Seolah yang bisa ‘nyastra’ ialah mereka-mereka yang menekuni kajian tersebut. Sementara di luarnya ialah mereka yang berkarya sebagai pelampiasan kegalauan saja. Adalah yang digolongkan sastra populer yang booming sekali waktu.

Menarik untuk dipersoalkan di sini ialah, menyepakati hal berikut; sastrawan bukanlah mereka yang menyadang gelar akademik, ataupun mereka yang menulis buku diary. Sastrawan ialah mereka menggeluti sastrawi dengan ragam pemikiran yang mendalam. Kata kuncinya di ‘pemikiran’.

Roland Barthes dalam bukunya The Rustle of Language menerangkan hakikat sastra dan peranan sastra, yang amat luas dan mendalam, tidak sama seperti pandangan umum. Sastra hadir dalam bentuk institusi dan karya. Dan karya itu bukan pula memaparkan realitas sosial saja, akan tetapi juga memberitahukan status sosial pengarang atau sastrawannya, juga menyertakan ideologi, pemikiran, serta kritikan terhadap masyarakat. Sebagai sebuah karya sastra, ia mempunyai amanat khusus dan kaya dengan sarana-sarana retorik. Mari kita melihat manfaat sastra dan fungsi sastra dalam wilayah tersebut.

Apa yang perlu diterangkan ialah maksud ‘pemikiran’ di sini. Ialah suatu usaha pengarangnya dalam memikirkan bagaimana mangatasi masalah tertentu (termasuk dalam diri) yang tengah dihadapi. Andai kata sastrawan mempunyai pendapat dan pemikiran tertentu dalam karyanya yang berhubungan dengan manusia dan kemanusiaannya atau masyarakat dan kemasyarakatannya, alam dan lain sebagainya, maka pendapat atau pemikiran tersebut dapat kita kutip, dan kepadanya kita sematkan predikat sastrawan. Seharusnyalah sastrawan dan intelektual menjadi pemikir di zaman yang ia lalui.

Lalu Bagaimana Dylan?

Barangkali khalayak awam tidak ramai membicarakan ihwal sastra maupun sastrawan. Tidak banyak yang melihat sastra sebagai alat dan cara manusia berkomunikasi antar sesamanya. Barangkali ini terjadi karena tidak banyak yang mengira sastra dapat dijadikan wadah untuk berkomunikasi. Barangkali juga kita tidak pernah memperbincangkan bahwa hakikat sebuah karya sastra itu mempunyai nilai-nilai khusus, terutama yang berhubungan dengan pembentukan pola pikir manusia. Barangkali juga dikarenakan sastra telah menjadi bidang ilmu.

Aart van Zoest pernah berpendapat, bahwa proses komunikasi sastra akan lebih berkesan jika terjadinya proses indentifikasi, seperti pembaca berhasil menyatukan diri dengan watak atau tokoh yang didenotasikan oleh teks dengan pikiran, perasaan, dan pengelaman sastrawan. Jadi alurnya seperti ini; pengarang-teks-pembaca. Kata kuncinya ‘pengarang’, ‘teks’ dan ‘pembaca’. Ihwal Dylan silakan sidang pembaca sekalian berpendapat.

Kritikus Sastra bukan Sastrawan

Bolehlah penulis menuliskan pendapat di sini, bahwa kritikus sastra bukanlah seorang sastrawan, dan predikat sastrawan tidak melulu diperuntukkan bagi mereka yang menekuni ilmu sastra yang tidak berkarya. Teori dan praktik ialah dua hal yang berbeda. Mengapa demikian?

Apa jadinya jika seorang yang telah menggeluti teori sastra menjadi seorang sastrawan? Bisa ditebak karya yang akan dihasilkannya. Sudah barang tentu karya yang dihasilkan kaku seperti ajaran teori-toeri yang menggenangi benaknya, sedikit banyaknya akan dipengaruhi dan terpenjara dengan hal yang demikian. Ketika ia telah bertindak sebagai sastrawan lalu siapa lagi yang akan mengulas karya sastra, apakah orang-orang itu juga? Apakah kekakuan yang demikian yang diharapkan? Tentu tidak.

Dalam hemat penulis, lebih tepat mereka yang menekuni ilmu sastra bertindak sebagai pengamat sastra. Mereka yang membedah karya-karya sastra dari ragam latarbelakang, sehingga dengan demikian peradaban sastra yang lebih baik dapat diwujudkan. Sudah tepat kiranya jika kritikus sastra mempertanyakan ihwal perhargaan yang diberikan kepada Dylan, memang begitulah seharusnya. Sebab, merekalah yang lebih banyak tahu tentang dunia sastra. Tentunya, kritikus sastra juga harus bebas dari segala sentiman yang berseliweran, bertindak dengan seobjektif mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun