Mohon tunggu...
Deotri Totonafo Saro Gulo
Deotri Totonafo Saro Gulo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Segera Legalkan Ganja Medis"

7 Oktober 2022   12:19 Diperbarui: 7 Oktober 2022   12:29 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Sederhananya untuk mudah dipahami obat adalah suatu alat, metode atau cara sembuh serta terapi agar terbebas dari suatu penyakit.

Di Indonesia sendiri, obat-obatan yang ada di atur sedemikian rupa bahkan sampai bahan-bahan dari obat tersebut ikut di atur agar mencapai tujuan dari obat itu sendiri yaitu menyembuhkan atau mengurangi efek penyakit di tubuh.  Akan tetapi dari  bahan-bahan tersebut ada beberapa yang masih diperdebatkan hingga saat ini salah satunya penggunaan obat-obatan berbahan dasar tumbuhan ganja yang di anggap negatif  sehingga tidak direkomendasikan untuk menjadi bahan dasar obat.

Padahal, jika dilihat dari perspektif yang berbeda, tumbuhan ganja mempunyai sisi positif untuk dijadikan obat dalam melawan beberapa jenis penyakit tertentu yang pastinya hanya bisa disembuhkan atau dikurangi efeknya oleh tumbuhan ini. Menurut opini penulis, harus diberikan indikator-indikator tertentu untuk membedakan klaim ganja berefek negatif dan ganja berefek positif, seperti dalam hal penggunaanya untuk tujuan rekreasi atau untuk tujuan medis.

Aturan pelarangan ganja di Indonesia

Ganja diatur dalam pasal 8 UU No. 39 Tahun 2009 ayat 1 tentang narkotika yang menyatakan bahwa Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan. Namun ayat 2 menyatakan dalam jumlah terbatas ganja dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan serta reagensi laboratorium setelah mendapat persetujuan Menkes atas rekomendasi BPOM. Akan tetapi pada tahun 2015 setelah disetujui, penelitian ini tidak dilanjut lantaran biaya yang besar yang memutus harapan terhadap upaya pelegalan ganja medis di Indonesia.

Dilihat menggunakan kacamata yang lain, aturan ini bersifat kaku serta tidak menoleransi penggunaan ganja dalam bentuk apapun sehingga menutup kemungkinan terlihatnya sisi positif dari ganja tersebut. Mengenai aturan ini diperlukan evaluasi serta monitoring kebijakan dari pemerintah untuk melihat seberapa jauh aturan ini dapat mencapai target di awal perumusannya yaitu untuk memberikan solusi serta menyelesaikan permasalahan yang ada.

Kasus kematian akibat pelarangan ganja

Pada awal tahun 2017 sepasang suami istri yang berasal dari kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat bernama Fidelis Arie Sudewarto dan istrinya Yeni Irawati sempat viral lantaran perjuangan sang suami yang berupaya menyembuhkan penyakit langka istrinya yang bernama Syringomelia. Penyakit ini membuat Yeni mengalami pertumbuhan kista pada sumsum tulang belakang lalu membuat perlukaan pada tulang belakang yang mengakibatkan sensasi kram dan kebas yang tak tertahankan sakitnya.

Bukan hanya itu saja, penyakit ini juga membuat area sekitar alat kelamin dan perutnya membengkak yang mengakibatkan Yeni mengalami penurunan nafsu makan, tidur terganggu, sehingga membuat kualitas hidupnya menjadi rendah. Dari berbagai upaya pengobatan yang dilakukan oleh Fidelis, penggunaan ekstrak ganja saja yang dapat meredakan kondisi dan penderitaan istrinya. Oleh karena hal itu, Fidelis menanam tumbuhan ganja di pekarangan rumahnya.

Namun, pada tanggal 19 Februari 2017 Badan Narkotika Nasional (BNN) memusnahkan ganja yang ada di pekarangan rumah Fidelis dan menjatuhi hukuman 8 bulan penjara serta denda sebesar 1 Milyar Rupiah pada Fidelis atas kasus kepemilikan ganja. Dengan tidak diberikannya lagi ganja pada Yeni sejak saat itu, akhirnya membuat kondisinya makin memburuk hingga akhirnya Yeni harus meregang nyawa pada tanggal 25 Maret 2017 yang membuat luka mendalam bagi Fidelis yang masih menjalani masa hukumannya.

Dari kasus ini, lahirlah pertanyaan siapa yang layak dipersalahkan dan bertanggung jawab atas kematian Yeni tersebut. Menurut penulis dengan tidak diberikannya pelonggaran penggunaan ganja untuk keperluan medis, serta tidak dilakukannya evalusi dari aturan tersebut, pemerintah sebagai institusi yang mengelola dan mengeluarkan aturan layak dipersalahkan dan bertanggung jawab atas kematian Yeni tersebut. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.

Harapan dalam Perspektif Penulis

Disini penulis menyadari penulis bukanlah ahli bidang kesehatan atau ahli bidang medis dan obat-obatan, akan tetapi penulis melihat efek dari ganja yang ternyata mempunyai dampak positif, lalu merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melihat fakta di lapangan, hal ini menurut penulis mengindikasikan bahwa apa yang kita yakini di dalam sesuatu hal yang buruk tidak selamanya semuanya buruk, pasti ada sisi positifnya.

Penulis melihat bahwa pemerintah menganggap hal ini sepenuhnya negatif, tetapi di lain hal pemerintah tidak mampu memberi solusi atau alternatif lain seperti yang di alami oleh Yeni dari Kalimantan Barat yang menggantungkan hidupnya pada tumbuhan ganja ini. Penulis melihat ini adalah bentuk keputusan yang sulit diambil oleh pemerintah, tetapi ini adalah satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini, sederhananya ini adalah pilihan terbaik di antara pilihan terburuk.

Memang bagi kita orang yang sehat bugar bisa mengatakan tidak butuh ganja dan menganggap ganja sesuatu yang negatif dan berbahaya. Akan tetapi di lain hal, bagi orang yang baru saja menjalani kemoterapi pasca kanker atau seperti yang dialami Ibu Yeni ini yang sangat membutuhkan ganja medis ini untuk menyambung hidupnya. Simplenya begini, kita tidak butuh ganja, tetapi bagi orang yang membutuhkannya, mereka jelas butuh ganja medis.

Kita juga harusnya tidak boleh memaksakan kehendak kita yang tidak butuh ganja terhadap orang yang sangat jelas membutuhkan ganja dengan alibi apapun serta mencoba membenarkan tindakan kita untuk mendukung pelarangan ganja medis di Indonesia. Hal ini membuat orang yang membutuhkan ganja medis semakin tersakiti. Selain tersakiti karena penyakit mereka, rasa sakit mereka semakin diperparah dengan di anggapnya obat penyembuh mereka sebagai sesuatu yang ilegal.

Terakhir, di sini penulis juga berharap pemerintah dapat memahami persoalan ini dan melihat permasalahan ini dengan menggunakan kacamata yang berbeda. Mengenai upaya untuk melegalkan ganja medis ini pun harus di ikuti oleh kebijakan publik yang berkualitas serta bisa menjamin hal ini tepat sasaran dan kontrol yang ketat sehingga tidak berpeluang untuk disalahgunakan selain untuk kegiatan medis untuk menyelamatkan kehidupan banyak orang yang memang membutuhkan hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun