Namanya Said. Berusia 55 Tahun. Seorang penjual pisang keliling.
Siang itu Malang sedang sangat panas. Mentari terlalu bersemangat menyengat. Kira-kira pukul 11.00 kujumpai Pak Said di jalanan pasar Mergan, sedang duduk bersandar pada dinding toko di pinggir jalan yang kebetulan sedang tutup. Tubuhnya kecil dan kurus, berkulit coklat gelap, mungkin karena kelewat sering dibakar matahari. Selembar baju kemeja putih bergaris lusuh dengan celana panjang hitam seadanya membalut tubuh kurusnya. Sepasang sandal jepit berwarna hijau kusam beralas mantap di dua kaki tuanya. Tak lupa sebuah topi hitam lebar bertengger di kepalanya yang putih beruban itu. Pak Said tidak sedang beristirahat, tapi berjualan. Sepeda pancal tuanya diparkir di pinggir jalan dengan dua keranjang rotan besar penuh berisi pisang bergantung mantap di sadel belakangnya.
Kuhampiri pancalnya dan mulai melihat-lihat pisang jualan Pak Said.“Pak, berapa harganya kalau yang ini?”, tanyaku sambil mengangkat sesisir pisang.“Kalau itu 7.500 mas, ada juga yang 5.000”, jawabnya antusias sambil menunjuk sesisir pisang yang berukuran lebih kecil. Kulepas kembali pisang itu ke dalam keranjang, pura-pura tidak tertarik. Pak Said lalu kembali duduk di tempatnya semula, sepertinya sedikit kecewa karena pisangnya tak jadi kubeli. Ah sial. Memang sakuku lagi kering, hanya pas buat biaya angkot pulang nanti. Di detik berikut, kubuntuti dia dan ikut bersandar di sampingnya.
“Udah dari tadi di sini ya Pak?”, tanyaku memulai lagi cakap dengannya.“Dari jam 08.00 Mas.”Jawabnya singkat.“Boleh tahu Pak, rumahnya di mana?”, tanyaku lagi mencari tahu.“Saya dari Tajinan mas.”Jawabnya.“Tajinan itu di mana Pak, kok baru saya dengar nama daerah itu?”Pak Said menjawab ketus:“Yo jauh tempatnya mas, kalo pancalan ke sini bisa sampe dua setengah jam.”Wah, jauh benar ucapku dalam hati. Rupanya Pak Said datang jauh-jauh dari rumahnya, berpancal dengan memuat dua keranjang besar pisang, mendayung sampe dua setengah jam untuk berjualan di Mergan. Pekerjaan melelahkan bagi seorang laki-laki tua setengah baya macam Pak Said. Ah, tentu luar biasa kuatnya Pak Said, tepatnya terpaksa kuat karena tuntutan untuk bertahan hidup.
Ditemani raung kendaraan yang kian ramai berlalu-lalang, Pak Said tertarik berbagi lebih banyak kisah denganku. Rupanya sudah hampir 26 tahun Pak Said berjualan pisang. Tiga sampai empat kali seminggu, Pak Saidmangkaldi pasar Mergan. Setelahshalatpagi, Pak Saidstartdari rumahnya, memacu pancal tuanya dan baru sampai di Mergan pada jamdelapananpagi. Selain di Mergan, Pak Said juga berkeliling ke rumah-rumah langganannya.“Alhamdullilah mas, ada yang udah pasti ngambil satu atau dua sisir pisang setiap kali saya datang”,katanya. Selebihnya, beliau tinggal menanti kemujuran dari orang-orang yang lewat di pinggir jalan tempatmangkalnya. Pak Said mengakui kalau berjualan pisang memang tak banyak mendatangkan uang. Hanya ada sedikit keuntungan dari setiap penjualan satu sisir pisang, sebab rupanya pisang-pisang itu bukan miliknya sendiri, bukan dihasilkan dari kebunnya. Pak Said membeli per tandan dari penjual lain, kemudian menjualnya per sisir.“Kalau rejeki mas, sehari bisa dapet paling tinggi 75.000 ribu rupiah.”Untuk rejeki yang tak menentu, Pak Said harus menghabiskan banyak tenaga dan waktu. Paling cepat, pukul enam sore Pak Said baru mulai mengayuh pedal sepeda, membawanya kembali ke Tajinan. Karena jalan menuju rumahnya dari arah Malang lebih banyak menanjak, maka perjalanan pulangnya menjadi lebih lama karena harus berjalan kaki sambil mendorong pancal tuanya. “Wah, pasti lelah sekali Pak, mana keesokannya mesti bangun pagi dan berjualan lagi”, kataku padanya.“Yo pasti lelah mas, tapi saya gak pernah lupa shalat dulu sebelum tidur. Saya ngucap terima kasih sama Allah udah melewati seharian, meski kadang rejekinya gak bagus. Sambil minta sehat buat esoknya, mas”,ujar Pak Said kalem.
Kusempat bertanya pada beliau:“Pak, bekerja sebagai penjual pisang keliling kayak gini ‘kan gak seberapa pendapatannya. Apa gak pernah terpikir dari dulu untuk mencari kerjaan yang lain?”Dengan sedikit tersenyum kecut, Pak Said berkata lirih:“Sekarang susah buat nyari kerjaan mas. Saya udah betah jualan pisang. Mau dibilang penghasilannya gak cukup yah gak juga, toh tiap hari saya dapet biar sedikit, gak pernah gak dapet apa-apa.”Aku terpancing bertanya lebih lanjut:“Terus, ngapain bapak masih bekerja keras kayak gini sampai sekarang, ‘kan mestinya istirahat aja?”Dengan mantap beliau berkata:“Yah, saya masih punya istri sama anak-anak. Anak saya yang bungsu dan keluarganya sekarang tinggal bersama kami, jadi saya ingat juga sama cucu saya. Saya kerja aja mas, karena kalau usaha, yo rejeki itu pasti dikasih sama Allah.”Pak Said sudah cukup bergembira dengan boleh bertahan hidup pas-pasan, sempat menyekolahkan anak-anaknya walau hanya sampai SMP saja.
Beliau bahkan sempat menasihatiku, begini katanya:“Kita gak bisa kalo gak kerja, gak akan dapet apa-apa, mas. Tapi kalo kerja juga harus sabar. Berusaha aja, pasti dikasih rejekinya sama Yang di Atas, asal jangan diam aja.”Bagi Pak Said, bekerja adalah sebuah keharusan dalam hidup. Masih dengan yakin yang jujur kalau Tuhanlah yang memberi imbalan rejeki atasnya, bahkan dalam susah sekalipun. Satu cerita paling membekas di benaknya adalah manakala ia ditabrak oleh sepeda motor. Waktu itu kakinya terkilir parah, badannya terluka dan pisang-pisang jualannya hancur terinjak-injak ban kendaraan yang lewat. Setelah semua kesialan itu, kepadanya hanya diberi uang ganti rugi sebesar 100.000 ribu rupiah.“Waktu itu saya kecewa mas. Saya mesti beristirahat selama empat hari, tak bisa jualan karena kaki saya susah digerakkan. Tapi saya beruntung dikasih cepat sehat sama Yang Di Atas, saya bisa cepat sembuh dan berjualan lagi. Kalau gak begitu, saya sama ibu gak bisa makan apa-apa”, katanya. Barangkali buat Pak Said, Tuhan itucare, terlibat saja dalam susah-senang hidupnya.
Sebelum aku pulang, Pak Said sempat mengeluh kalau ia sedang batuk parah. Barangkali karena terpaan debu dan asap yang tiada henti dihirup hidungnya setiap berpancal, menyusuri jalan-jalan yang tak ramah lagi. Terselip harap dalam diriku akan berjumpa lagi dengan Pak Said di hari lain. Bila kesempatan itu datang, kujanjikan sebuah masker untuknya.***
Sedikit Menginterupsi…
Narasinya Pak Said mungkin sederhana, kecil atau kering. Narasi yang semakin tersembunyi di balik kemeriahan modernitas, tersisihkan oleh cerita usang tingkah politisi koruptif, terdepak oleh popularitas tayangan drama-drama romantis dengan rating yang aduhai.
Namun, Pak Said mungkin akan selalu ‘berbicara’ di era ini bahwa keliru bila Para Sosiolog, LSM-LSM atau Publik menilainya sebagai orang ‘kalah.’ Pak Said adalah pemenang di medan tarungnya sendiri. Bukan marginal, karena Pak Said tampil sebagai pejuang di pusat gelanggang juangnya.
Bahkan Pak Said mengajarkan satu hal ini bahwa kemenangan itu tak pantas dibandingkan dengan kemapanan, karena orang mapan tak selalu adalah pemenang. Pemenang adalah mereka yang tekun berproses, jatuh dan bangun. Kemenangan tak terletak pada hasil, tapi pada seberapa banyak keringat usaha yang menetes… dan dalam setiap kemenangan, selalu ada ‘ruang’ bagi Sang Khalik….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H