Mohon tunggu...
Alle Leta
Alle Leta Mohon Tunggu... -

Bila hidup adalah memberi, maka menulis adalah salah satu cara membagi dan membaca adalah cara untuk menjadi semakin kaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Reduktif

6 Desember 2011   07:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:46 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik reduktif pertama-tama memaksudkan penyimpangan terhadap makna hakiki politik sebagai sebuah sistem pengelolaan hidup bersama. Dari asal katanya polis, politik terutama merujuk pada totalitas tata hidup bersama. Dengan perspektif ini, politik sejatinya merupakan sistem yang dari sendirinya menghamparkan berbagai upaya yang diarahkan pada pencapaian kepentingan kolektif. Konstitusi UUD 1945 secara eksplisit telah menetapkan kesejahteraan bersama sebagai target penyelenggaraan negara. Maka dalam alur berpikir yang konsisten dengan maksud pendiri bangsa, pergerakan politik yang berada di luar koridor pencapaian kesejahteraan bersama tak lebih sebagai sebuah penyelewengan terhadap idealisme nasional. Fenomen penyelewengan inilah yang kini tanpa henti tersaji dengan semakin menyingkap cela kelambanan pemerintah dalam menangani persoalan-persoalan krusial masyarakat.

Persoalan kemiskinan, kurangnya sarana-sarana kesehatan dan pendidikan di berbagai daerah atau yang paling konkret penanganan lumpur panas Porong yang belum tuntas, sebetulnya menjadi bahasa yang berbicara dengan sangat efektiftentang bagaimana negara ini telah diurus dengan sistem politik yang tercerabut dari realitas keseharian. Teriakan protes para karyawan Freeport sebagai representasi opini publik Papua adalah gugatan paling aktual terhadap gerak lambaninstansi pemerintah yang gagal bereaksi secara cepat dan tepat. Reduktifikasi politik memang kerap menghanyutkan dinamika kehidupan bernegara pada kontes debat kepentingan seperti yang kini lagi dipentaskan oleh DPR, Pemerintah dan oposisi seputar peluang ketua KPK terpilih untuk memberantas korupsi di tanah air. Di sisi lain, reduktifikasi macam ini kian menyingkirkan masalah-masalah konkret berlevel kronis yang sudah semestinya mendapatkan penanganan yang segera. Sayang nian karena korban reduktifikasi politik ini akhirnya datang dari kalangan masyarakat kecil yang hampir tidak pernah tahu apa itu berpolitik dan bagaimana politik seharusnya dilakoni. Satu-satunya idealisme yang terus menggelantung dalam benak mereka adalah harapan akan perbaikan kesejahteraan yang kini makin hari makin tersendat oleh tersedotnya konsentrasi Negara pada soal-soal seputar pengadilan tokoh-tokoh koruptif macam Nazarudin, dan kawan-kawan.

Adalah Nicollo Machiavelli, filosof yang kemudian mengawali pembelokan intelektual terhadap makna etis politik yang sebelumnya telah ditancapkan oleh Sokrates dan pemikir Yunani lainnya. Dengan memisahkan politik dari ranah etika, Machiavelli meracik politik sebagai instrumen kekuasaaan yang bergerak terbatas pada lorong idealisme bagaimana kekuasaan diraih dan dijalankan secara efektif. Idelogi kekuasaan Machiavellian telah meminggirkan dasar-dasar etis dari medan wacana politik. Padahal dengan berkaca pada rekam jejak korupsi yang semakin membudaya semenjak bergulirnya reformasi, Indonesia sesungguhnya membutuhkan ruang kolaborasi etis-kekuasaan yang memahat nilai keadilan dan kejujuran sebagai jiwa sekaligus orientasi penyelenggaraan negara. Di tengah carut-marut drama pertikaian antar institusi negara yang telah menyita perhatian dan tenaga, menghabiskan banyak dana namun tanpa hasil memadai, kerinduan masyarakat terpatri pada perlunya konsistensi perangkat negara terhadap tugas dan fungsinya masing-masing, serta pengasahan kepekaan pada sense of humanitynya yang berpeluang memantik lahirnya kebijakan-kebijakan yang tanggap pada kebutuhan mereka. Dalam arti ini, politik tidak lagi dipojokkan pada panggung perlombaan mendapuk kekuasaaan alias pemilu, tetapi secara lebih dalam dan luas mencakup tanggung jawab moral para pemimpin pilihan rakyat untuk dengan penuh dedikasi meretas jalan bagi perwujudan kesejahteraan bersama.

Aktualitas reduktifikasi politik sebagai sebuah wacana yang alienatif, sejatinya menggugah kewaspadaan semua pihak pada berbagai mentalitas kepemimpinan yang cenderung mengabaikan atau memandang sebelah mata realitas keseharian masyarakat kecil sebagai potret jujur keadaan bangsa. Kehebohan pemberitaan media terkait kasus-kasus korupsi tidak boleh serta merta merampas konsentrasi pemerintah misalnya pada soal mendesaknya pembenahan sistem, orientasi dan pemerataan pendidikan di tanah air yang selama ini terkesan dangkal dengan hanya bergerak pada upaya bagaimana meningkatkan persentase kelulusan siswa dari tahun ke tahun. Kenyataan membengkaknya persentase ketidaklulusan siswa pada tahun-tahun kemarin bukanlah ukuran yang cukup representatif tentang bagaimana pendidikan nasional telah dikelola. Mari menengok kenyataan konkret Guru dan para siswa di beberapa daerah pelosok yang terpaksa menjalankan proses pembelajaran setiap hari dengan hanya memanfaatkan ‘bangunan’ tak berdinding, beratap daun kelapa dan berlantai tanah saja lantaran tak memiliki dana. Sebuah fakta ironis tentunya sebab hal ini justru terjadi di tengah mengemukanya kasus-kasus penggelapan uang negara berjumlah trilyunan rupiah.

Berpolitik akhirnya memang bukan sekadar urusan merengkuh dan mempertahankan kekuasaan, tetapi bagaimana mengelola kekuasaan secara bijaksana. Berpolitiklah secara etis sebab politik pada dasarnya merupakan ruang berelaborasi menata dan mengelola kehidupan bersama, merakit dan meraih mimpi-mimpi bersama dengan selalu mengusung manusia sebagai preferensinya. Inilah cara berpolitik yang simpatik, berpolitik demi kemanusiaan ((Prof. Dr. Eko Armada Riyanto, Politik, Sejarah, Identitas, Posmodernitas, hal. 33). Gambaran yang menjadi terlalu ideal untuk konteks Indonesia saat ini akhirnya memang lebih baik menjelma sebagai hantu yang terus menakut-nakuti dan mengganggu tidur lelap para pemimpin, mendesak ketangkasan mereka dalam mengurus negara ini. Hanya dengan begitu kita tidak tercebur untuk kesekian kalinya dalam kubangan reduktifikasi politik yang dangkal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun