Mohon tunggu...
Valentino Deo Sanjaya
Valentino Deo Sanjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Deo

hobi bermain game

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trauma

19 November 2024   08:17 Diperbarui: 19 November 2024   08:37 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika langit senja menciptakan suasana yang tenang bagi siapapun kecuali Radja. Radja duduk diteras depan kelas melihat anak-anak bermain dan tertawa, tetapi Radja tidak bergabung dengan mereka. Kepalanya penuh dengan suara-suara keras yang tak pernah Radja inginkan untuk didengar.

"Kenapa harus mengingat itu" gumannya pelan, mencoba melawan ingatan itu
pagi tadi, seperti hari-hari sebelumnya, rumah menjadi panggung pertengkaran bagi kedua orangtuanya. Ayahnya berteriak, ibunya menangis. Piring-piring pecah tersebar dilantai. Kedua orangtuanya tidak menyadari keberadaan Radja yang menyaksikan semuanya dari balik pintu kamar.

"Radja" kata Bu Ayala, guru bimbingan konseling yang selalu peduli kepada Radja "Radja kenapa kamu sendirian disini? bukannya bergabung bermain bersama teman-temanmu?"

Radja hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia lelah untuk menjelaskan. Bagaimana cara menjelaskan kalau rumah bukan lagi tempat yang nyaman?.

Bu Ayala pun mendekat. "Radja, menyimpan semuanya sendiri itu berat. kalau Radja mau, Ibu selalu ada untuk mendengarkan."

Radja menggigit bibirnya mencoba menahan air mata yang sudah mau keluar. Perlahan, ia membuka mulutnya. "Bu, apa orang tua selalu bertengkar?"

Pertanyaan itu membuat Bu Ayala kaget. Ia menghela napas pelan, Bu Ayana menatap Radja dengan penuh empati. "Tidak, Radja. Kadang orang tua lupa bahwa kata-kata dan tindakan mereka bisa melukai orang-orang yang mereka sayangi, termasuk anak-anaknya. Tapi apa yang mereka lakukan bukan salah Radja."

Air mata Radja mengalir. "Aku takut mereka pisah, Bu. Aku takut kalau semuanya tidak akan pernah sama lagi."
Bu Ayala memegang punggung Radja dengan lembut. "Perasaanmu itu wajar Radja. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Kamu bisa cerita kapan saja. Dan jika orang tuamu ingin berubah, itu juga butuh waktu."
Langit perlahan gelap, meski masih membawa rasa takut, ada sedikit rasa lega di hati Radja. Kata-kata Bu Ayala memberi Radja harapan kecil, bahwa ada seseorang yang peduli padanya, meskipun dunia di sekitarnya terasa kacau.
Lalu Radja berdiri dari tempat duduknya, menghapus air matanya. Langkahnya lebih ringan saat Radja memutuskan untuk pulang kerumah, membawa harapan kecil bahwa mungkin, hanya mungkin, besok bisa lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun