Mohon tunggu...
Vinsensius Mischa Aldeo
Vinsensius Mischa Aldeo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Postulan Stella Maris Malang

More than Words.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inkulturasi: Sebuah Dialog antara Injil dan Budaya

17 Maret 2023   22:22 Diperbarui: 18 Maret 2023   08:17 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapel Seminari Menengah St. Yohanes Maria Vianney Keuskupan Sintang, Sumber: Dokumentasi pribadi.

Gereja Partikular terbentuk dari perjumpaan antara Injil dengan suatu bangsa yang memiliki budaya dan tradisi tertentu yang khas. Perjumpaan itu berarti saling mempengaruhi. Dialog dan perjumpaan Injil pada taraf jiwa dan di "lubuk hati" masyarakat akan memungkinkan munculnya Gereja-Gereja Partikular yang otentik. Gereja Partikular yang otentik berdiri dengan kekhasan dirinya dan secara sekaligus tetap setia dalam kesatuan dengan Gereja Universal.

Proses dialog antara Injl dan budaya yang saling mempengaruhi secara mendalam dan berlangsung selama perjumpaan keduanya dinamakan inkulturasi. Dialog itu terjadi di dalam relasi yang dinamis antara Injil Kristus dengan suatu kebudayaan. Dengan kata lain, suatu proses pengintegrasian kehidupan ke dalam suatu budaya. Inkulturasi terjadi secara alamiah dan tidak pernah diakibatkan secara artifisial. Inkulturasi dimulai dalam hidup suatu masyarakat sejak pertama kali Injil Kristus tiba dan berusaha diungkapkan kepada mereka.

Dilema Ambivalensi

Dialog yang terjadi dalam inkulturasi bukanlah dialog yang apabila digrafikkan akan membentuk suatu garis lurus. Dialog itu pasti terjadi dalam kerangka perdebatan. Namun, kesenjangan yang ada ini memang normal terjadi. Patrick Morooney berpendapat bahwa kesenjangan antara Injil dan kebudayaan adalah hal yang wajar dan sehat. Seperti yang terjadi dalam fenomena kristianisme, proses perdebatan yang sehat tak merugikan pihak manapun. 

Dialog itu akan merugikan Injil apabila kebudayaan diperalat untuk mendukung kekuasaan duniawi. Sebaliknya, perjumpaan itu akan merugikan kebudayaan apabila dipaksakan suatu ciri sakral dan misi ilahi tertentu kepada kebudayaan itu.

Ada banyak upaya yang diusahakan untuk memberi pengertian terhadap fenomena inkulturasi yang terjadi dalam masyarakat. Namun, memberi pengertian yang baik atau  menafsirkan kejadian dengan kata-kata damai belum tentu mengubah realita kenyataan yang terjadi di lapangan. 

Dengan jujur, sebenarnya ada perbedaan antara gramatika Injil dengan logika Injil. Inkulturasi bukan hanya tentang pengungkapan iman melalui upaya budaya tertentu melainkan juga mengalami, memahami dan meresapkan Injil melalui sumber-sumber budaya suatu masyarakat. Kita tidak dapat menipu diri sendiri terus-menerus. Masyarakat bisa saja mengungkapkan Injil melalui simbol-simbol budaya tetapi belum tentu mereka sungguh mengimani dan melaksanakannya.

Inkulturasi yang mendapat pengertian sempit yakni hanya sebatas pengungkapan akan secara tak langsung mendorong masyarakat untuk mendamaikan kontak yang ada dengan cara sugesti diri. Motivasi kering semacam inilah yang memungkinkan lahirnya sinkretisme, yakni sebuah usaha pendamaian interaksi yang ada dalam level praktis. Ada berbagai bentuk sinkretisme, namun yang umumnya terjadi dalam proses inkulturasi masyarakat ada dua. 

Pertama, unsur-unsur Kristen diselipkan pada kerangka-kerangka yang tidak Kristen dengan orientasi tidak tertuju kepada Allah atau sekurang-kurangnya rancu. Kedua, bentuk agama dan budaya dipraktekan secara bersama-sama karena saling mendukung.

Spiritualitas Inkulturasi

Inkulturasi Injil yang sejati  berangkat dari Inkarnasi, Misteri Paskah dan Pentakosta. Inkulturasi dilaksanakan dalam analogi dengan Inkarnasi. Allah itu universal, Ia memperlihatkan Diri-Nya lewat medium suatu kebudayaan yang konkret dan definitif. Artinya, suatu warta akan dimengerti penerima apabila disampaikan dalam bahasa penerimanya pula. Misteri Paskah membawa pengertian kematian dan kebangkitan. Theological Advirsory Commision FABC memberikan bentuk konkret dari perwujudan Misteri Paskah dalam inkulturasi, yakni pembersihan segala unsur kebudayaan yang mengandung kelemahan manusiawi. 

Unsur manusiawi dan cacat itu dibersihkan atau bahkan dimatikan lalu disempurnakan dan diteguhkan dengan daya Injil. Pentakosta memberi landasan bahwa Gereja memang dibangun dalam keragaman dengan daya kekuatan Roh Kudus. Inkulturasi adalah upaya menghimpun segala suku dan bangsa ke dalam kesatuan Kerajaan Allah dengan kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus menyatukan masyarakat lokal ke dalam himpunan Gereja universal. Gereja setempat memainkan peran seperti para rasul yang dengan kuasa Roh Kudus menyatukan masyarakat lokal ke dalam kesatuan Gereja.

Terjermahan Spiritualitas

Unsur budaya yang hendak masuk ke dalam proses inkulturasi tidak dapat diambil secara sembarang. Pertama-tama segala unsur budaya yang masuk harus dihadapkan dengan Kristus sebagai Penguji dan Inkarnasi, Misteri Paskah serta Pentakosta sebagai indikatornya.

Namun, subjek inkulturasi tetaplah masyarakat itu sendiri karena merekalah yang harus menghidupi Injil itu dalam konteks hidupnya masing-masing. Inkulturasi berarti masyarakat lokal berkehendak menerima nilai-nilai Injil, dan bila nilai-nilai Injil nitu bertabrakan dengan nilai-nilai budaya, maka nilai-nilai budayalah yang mesti diubah atau ditinggalkan. Inkulturasi hendaknya diwujudkan dengan bijaksana dan tidak tergesa-gesa karena iman Kristus pastilah mengkritik kebudayaan dan kebudayaan memperkaya iman Kristen.

Belajar dari Pendahulu

 Pidato Aeropagus Paulus adalah momen historis yang dapat dicontoh sebagai model inkulturasi. Paulus menggunakan unsur budaya orang Athena yakni dengan mengutip puisi dan tradisi religius mereka untuk mewartakan Injilnya agar mudah dipahami. Ia tidak memaksa mereka untuk beriman kepada Kristus. Merekalah yang menentukan sendiri apakah menerima atau menolak kebenaran baru yang dibawa oleh Paulus. Inkulturasi bukanlah sebuah penjajahan kultural. 

Hasil dari inkulturasi yang benar adalah keadaaan Gereja setempat di satu sisi akan dipengaruhi oleh kebudayaan, dan di sisi lain kebudayaan akan mengalami evangelisasi berkat kehidupan dan kesaksian Gereja setempat.

Daftar Bacaan

Amalorpavadass, D. S. 1995. "Injil dan Kebudayaan" dalam Gereja Berwajah Asia. Ende: Nusa Indah.

Federation of Asian Bishop's Conferences (FABC). 1997. Dokumen Sidang-Sidang FABC 1992-1995. Jakarta: Dokpen KWI.

Morooney, Patrick. 1996. "Beberapa Bahaya yang Ditimbulkan oleh Inkulturasi" dalam Iman dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa     Indah.

Pieris, Aloysius, SJ. 1996. Berteologi dalam Konteks Asia. Yogyakarta: Kanisius.

Quack, Anton. 1996. "Inkulturasi sebuah Perspektif Antropologis" dalam Iman dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa Indah.

Silva, Jose Antunes da. 1996. "Inkulturasi Sebagai Suatu Dialog" dalam -------------------------. Ende: Nusa Indah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun