Gereja Partikular terbentuk dari perjumpaan antara Injil dengan suatu bangsa yang memiliki budaya dan tradisi tertentu yang khas. Perjumpaan itu berarti saling mempengaruhi. Dialog dan perjumpaan Injil pada taraf jiwa dan di "lubuk hati" masyarakat akan memungkinkan munculnya Gereja-Gereja Partikular yang otentik. Gereja Partikular yang otentik berdiri dengan kekhasan dirinya dan secara sekaligus tetap setia dalam kesatuan dengan Gereja Universal.
Proses dialog antara Injl dan budaya yang saling mempengaruhi secara mendalam dan berlangsung selama perjumpaan keduanya dinamakan inkulturasi. Dialog itu terjadi di dalam relasi yang dinamis antara Injil Kristus dengan suatu kebudayaan. Dengan kata lain, suatu proses pengintegrasian kehidupan ke dalam suatu budaya. Inkulturasi terjadi secara alamiah dan tidak pernah diakibatkan secara artifisial. Inkulturasi dimulai dalam hidup suatu masyarakat sejak pertama kali Injil Kristus tiba dan berusaha diungkapkan kepada mereka.
Dilema Ambivalensi
Dialog yang terjadi dalam inkulturasi bukanlah dialog yang apabila digrafikkan akan membentuk suatu garis lurus. Dialog itu pasti terjadi dalam kerangka perdebatan. Namun, kesenjangan yang ada ini memang normal terjadi. Patrick Morooney berpendapat bahwa kesenjangan antara Injil dan kebudayaan adalah hal yang wajar dan sehat. Seperti yang terjadi dalam fenomena kristianisme, proses perdebatan yang sehat tak merugikan pihak manapun.Â
Dialog itu akan merugikan Injil apabila kebudayaan diperalat untuk mendukung kekuasaan duniawi. Sebaliknya, perjumpaan itu akan merugikan kebudayaan apabila dipaksakan suatu ciri sakral dan misi ilahi tertentu kepada kebudayaan itu.
Ada banyak upaya yang diusahakan untuk memberi pengertian terhadap fenomena inkulturasi yang terjadi dalam masyarakat. Namun, memberi pengertian yang baik atau  menafsirkan kejadian dengan kata-kata damai belum tentu mengubah realita kenyataan yang terjadi di lapangan.Â
Dengan jujur, sebenarnya ada perbedaan antara gramatika Injil dengan logika Injil. Inkulturasi bukan hanya tentang pengungkapan iman melalui upaya budaya tertentu melainkan juga mengalami, memahami dan meresapkan Injil melalui sumber-sumber budaya suatu masyarakat. Kita tidak dapat menipu diri sendiri terus-menerus. Masyarakat bisa saja mengungkapkan Injil melalui simbol-simbol budaya tetapi belum tentu mereka sungguh mengimani dan melaksanakannya.
Inkulturasi yang mendapat pengertian sempit yakni hanya sebatas pengungkapan akan secara tak langsung mendorong masyarakat untuk mendamaikan kontak yang ada dengan cara sugesti diri. Motivasi kering semacam inilah yang memungkinkan lahirnya sinkretisme, yakni sebuah usaha pendamaian interaksi yang ada dalam level praktis. Ada berbagai bentuk sinkretisme, namun yang umumnya terjadi dalam proses inkulturasi masyarakat ada dua.Â
Pertama, unsur-unsur Kristen diselipkan pada kerangka-kerangka yang tidak Kristen dengan orientasi tidak tertuju kepada Allah atau sekurang-kurangnya rancu. Kedua, bentuk agama dan budaya dipraktekan secara bersama-sama karena saling mendukung.
Spiritualitas Inkulturasi
Inkulturasi Injil yang sejati  berangkat dari Inkarnasi, Misteri Paskah dan Pentakosta. Inkulturasi dilaksanakan dalam analogi dengan Inkarnasi. Allah itu universal, Ia memperlihatkan Diri-Nya lewat medium suatu kebudayaan yang konkret dan definitif. Artinya, suatu warta akan dimengerti penerima apabila disampaikan dalam bahasa penerimanya pula. Misteri Paskah membawa pengertian kematian dan kebangkitan. Theological Advirsory Commision FABC memberikan bentuk konkret dari perwujudan Misteri Paskah dalam inkulturasi, yakni pembersihan segala unsur kebudayaan yang mengandung kelemahan manusiawi.Â