“Man conquers the world by conquering himself.” Itulah yang dikatakan oleh Zenon dari Kition, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang berarti; “Manusia menguasai dunia dengan menguasai dirinya sendiri.” Zenon dari Kition, merupakan sosok filsuf yang mengkemukakan filsafat yang cukup terkenal, yaitu ‘Stoicism.’ atau ‘Stoikisme.’
Beliau membagikan filsafat menjadi tiga bagian : logika, fisika, dan etika. Yang bertujuan untuk mencapai eudaimonia (kesempurnaan/jiwa yang baik) melalui cara hidup yang benar di pandangan alam.
Stoikisme sendiri diciptakan oleh beliau pada tahun sekitar 300 SM, yang kemudian diperluas oleh murid-muridnya. Sehingga aliran filsafat Stoikisme menjadi terkenal dalam sejarah hingga masa modern sekarang. Dengan penerapan aliran tersebut dari masa-ke-masa (periode Helenistik hingga zaman modern.)
Filsafat Stoikisme mengajarkan nilai-nilai seperti penguasaan emosi, penerimaan situasi, dan hidup secara berkualitas.
Penguasaan emosi, atau dapat disebut juga pengendalian diri, merupakan cara kita menanggapi ‘sesuatu’ ketika kita dihadapkan dengan hal tersebut. Misalnya, kita dihadapkan dengan situasi yang di mana kita tersudutkan untuk membuat keputusan yang tidak kita ketahui bagaimana resikonya. Dalam situasi seperti ini, manusia pada biasanya dapat merasa takut, tertekan, emosi, dan bahkan sampai kehilangan akal sehatnya. Sebaliknya, dengan penguasaan emosi, kita dapat menghadapi kesulitan tersebut tanpa harus bereaksi secara berlebihan, yakni mengambil keputusan dengan sikap yang bijaksana, santai, dan sudah terhitungkan secara matang. Tetapi, apakah nilai penguasaan emosi sendiri sudah cukup untuk menghadapi semua masalah?
Di sinilah pentingnya peran‘penerimaan situasi’ masuk. Pikirkanlah, apakah kita dapat mengetahui masa depan kita? Apakah kita dapat merubah masa lalu kita? Tentunya tidak, karena kita sebagai manusia yang terbatas, tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, maupun kita dapat merubah apa yang sudah terjadi di masa lalu. Penerimaan situasi membantu kita untuk melepaskan kecemasan dan kekhawatiran kita dari suatu hal yang tidak dapat kita kendalikan sepenuhnya, mengapa kita harus memikirkan dan membebankan pikiran kita terhadap sesuatu yang memang diluar kendali dan kemampuan kita? Sebaiknya, kita lakukan semampu kita saja, bahkan jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, terima saja! Begitulah kehidupan. Ada saatnya naik, ada saatnya turun, ada saatnya bahagia, ada saatnya sedih.
Dengan pandangan dan sikap seperti ini, kita dapat memiliki peluang yang besar untuk ‘menjalankan hidup yang berkualitas.’ Setelah menerima fakta atau kenyataan bahwa keadaan dalam hidup kadang dapat berubah-ubah, kita dapat lebih memusatkan pandangan kita terhadap situasi & kondisi yang hanya dapat kita kendalikan (fokus terhadap kualitas terbaik yang ada dalam situasi apapun), dan terhadap diri kita sendiri. Kualitas hidup kita dapat ditingkatkan dengan cara menanggapi kekurangan kita, menerima yang tidak dapat diubah dalam diri kita, merubah yang tidak dapat kita terima dalam diri kita, dan berusaha untuk memperbaiki karakter kita (introspeksi diri), sehingga kita dapat nyaman dengan diri kita sendiri. Selain itu dengan memusatkan pandangan kita kedalam kualitas dari situasi yang ada di kehidupan, kita akan merasa lebih peka terhadap lingkungan di sekitar kita, contohnya seperti saat kita menghabiskan waktu dengan teman kita, perasaan yang dapat ditanggapi adalah perasaan-perasaan seperti kebahagiaan, keseruan, dan ketenangan. Meskipun ada saat seperti konflik di dalam situasinya, tetapi kita tidak akan membiarkan konflik tersebut membebani pikiran kita.
Sekian dari penjelasan saya mengenai nilai-nilai filsafat ‘Stoikisme’ semoga dari pembahasan artikel ini, dapat membantu teman-teman semua . Terima kasih, Tuhan memberkati kita. 🙏🏻
“Each day provides its own gifts.”
— Marcus Aurelius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H