Mohon tunggu...
Deni Humaedi
Deni Humaedi Mohon Tunggu... -

sekarang bergiat di kelompok studi Balai Merdeka Institute yang fokus pada tema-tema filsafat politik, sosial, budaya, dan sastra. Juga bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengakrabi Tuhan dengan Mencintai

5 November 2011   07:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlahan-lahan keyakinan Pilar berubah. Adalah pertemuan dengan sahabat masa kecilnya setelah lama berpisah yang memberi pencerahan keyakinan. Sebentuk spitiriualitas dengan pemaknaan yang baru dan segar.

Perubahan keyakinan Pilar dimulai ketika ia menjejaki petualangan seru bersama sahabantnya mengitari wilayah kota Spanyol. Petualangan pertama hanya memberi kesan sederhana, yakni tumbuh kembali perasaan di antara keduanya setelah bertahun-tahun terpendam tirai ruang dan waktu. Petualangan selanjutnya segera memberi "ruh" baru bagi jejak kehidupan Pilar. Tabir-tabir kokoh mulai terkuak membuka imannya yang dangkal.

Tibalah di tepi sungai Piedra, percakapan mereka tentang pelbagai persoalan kehidupan-cinta , iman, keberkahan, kesetiaan-memberi secercah pandangan, harapan, makna yang otentik tentang segala hal bagi pergulatan iman Pilar sebelum akhirnya mereka berpisah karena takdir.

Jalan spiritualitas baru

Ada dua hal menarik dari novel ini. Pertama, terkait tema spiritualitas dengan sentuhan agak berbeda yang selama ini kita yakini. Perjumpaan dengan Tuhan tidak melulu ditegaskan lewat ritus-ritus belaka, namun dengan pengalaman keseharian akan cinta. kedua, tutur bahasa puitis nan liris yang menjadi kekuatan utama sehingga pembaca merasa masuk ke dalam dunia Pilar dan sahabatnya.Inilah yang menjadi ciri khas gaya tutur Paulo Coelho dalam setiap novelnya.

Novel ini tidak bercerita bagaimana fase-fase agar berjumpa dengan Tuhan seperti buku spirualitas (baca:tasawuf) lainnya. Namun sang penulis nampaknya ingin memberikan perspektif segar terkait bagaimana kehampaan jiwa manusia akan terisi air-air iman ketika mencintai, memberi, dan memahami sesama.

Dan bagi saya sendiri, novel ini merupakan gugusan pemikiran sang penulis yang patut kita apresiasi. Terlebih di zaman kapitalisme global yang kerap melahirkan egoisme, sikap acuh, tak peduli pada sekitar dan bahkan melahirkan kehampaan spiritualitas, kehadiran buku ini bisa menjadi semacam alternatif untuk mengembalikan akar-akar kemanusiaan kita yang perlahan-lahan tergerus oleh zaman. Juga akan kesadaran menampilkan yang illahiah dalam sendi-sendi kehidupan kita.

So, jika siapa saja di antara kita yang kini tengah mengalami degradasi-merasa jauh dengan Tuhan-keimanan, sekiranya novel ini bisa menjadi bahan permenungan. Mengapa tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun