Mohon tunggu...
Deni Humaedi
Deni Humaedi Mohon Tunggu... -

sekarang bergiat di kelompok studi Balai Merdeka Institute yang fokus pada tema-tema filsafat politik, sosial, budaya, dan sastra. Juga bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Ingin Hujan Malam ini

3 November 2011   23:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:05 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingin hujan di malam ini

Oleh: Deny HZR

Pernah suatu ketika kau dan aku duduk di bibir pantai sehabis hujan sore. Aku memulai percakapan, ketika itu. Sementara kau sibuk menghabiskan kacang rebus yang kau bawa sendiri dari rumahmu—memang hal yang paling enak dilakukan ketika cuaca dingin mengunyah hangatnya kacang rebus meskipun sama sekali tak mengenyangkan perut kita.

“Kau lihat pelangi yang berpendar itu. Bagiku, itu adalah pemandangan terindah yang pernah ku lihat selama hidupku. Dulu nenekku sering bercerita bahwa di dalam pelangi ada beberapa bidadari yang menghuni di sana. Begitu detailnya ia menjelaskan nama-nama bidadari sampai makna nama-nama mereka ia pun tahu.”

Namun, kau masih seperti tadi. Diam seolah tak menyimak apa yang ku katakan. Aku ingin kau bertanya, menyanggah, bahkan menggugat saat aku sedang bercerita dan saat aku kehabisan cerita. Juga sekarang aku lupa cerita nenek tentang pelangi itu. Baiklah aku teruskan saja cerita ini.

“Aku yakin kau tak pernah mendengar kenapa pelangi sering muncul sehabis hujan di sore. Karena pelangi menyukai hujan. Persisnya bidadari-bidadari yang ada di dalamnya sangat senang akan hujan. Konon, mereka mandi dengan air hujan itu. Tentu saja, air hujan memang menyenangkan. Dulu, kau juga pasti mengalaminya, sewaktu kecil kita sangat gemar bermain-main dengan hujan. Malahan, aku sering telanjang saat asyik bermain-main hujan.”

Lagi-lagi kau seperti sebelumnya. Aku ingin kau katakan “hmmm aku juga seperti kau waktu kecil. Nakal. Bila hujan turun, aku sering sembunyi-sembunyi agar tak ketahuan ibu. Biasanya, kalau hujan tiba ibu akan segera mencariku. Ia takut kalau aku keluar, bermain hujan-hujanan. Tapi aku memang sangat nakal. Pernah beberapa kali, bila hujan mau turun ibu langsung menyuruhku yang sedang asyik-asyiknya main congklak bersama teman-teman. Aku mengumpat di rumah temanku, tapi ibu berhasil mendapatiku. Ibu mengunciku di kamar. Sendirian. Ya aku sendirian. Kau jangan bilang apakah kau tak takut di saat hujan kau sendirian di kamar. Oh, aku tak takut. Malahan aku senang. Aku senang karena aku bisa keluar dari kamarku meskipun dikunci. Aku berhasil keluar dari kamarku lewat jendela. Dan kau pun tahu apa yang kulakukan setelah itu!. Ibu tak mengetahu itu. Ia marah-marah setelah tahu aku pulang dengan pakaian yang basah kuyup. Menyenangkan bukan masa kecil itu!”

Aih, ternyata kacang rebus yang kau bawa banyak sekali. Teruskan saja kunyahanmu. Lagi pula menikmati hangatnya kacang rebus di saat dingin begini akan terasa nikmat dan enak meskipun tak mengenyangkan perut—tidak seperti aku yang ingin selalu kenyang. Baiklah aku teruskan saja ceritaku.

“Pelangi?. Aku juga tak pernah mengerti kenapa pelangi muncul sehabis hujan. Terlebih-lebih hujan sore. Apa kau pernah berpikir apa sebab itu bisa terjadi?. Kehendak Tuhan. Atau seperti yang dikatakan Iqbal, semua itu terjadi karena cinta sang Tuhan. Atau ini hanya gejala alamiah saja yang bisa dijelaskan dengan proses ilmiah juga. Jangan kau bilang aku tak memercayai cerita orang-orang dulu, yang seperti sudah ku ceritakan di awal. Bagaimana pendapatmu?. Sudah, kita jangan memperdebatkan itu semua. Yang penting kita masih bisa menikmati pelangi sehabis hujan sore dengan duduk di bibir pantai ini. Belum tentu orang-orang di luar sana bisa seperti kita sekarang ini.”

Dari tadi kau asyik mengunyah kacang rebus, sementara aku tak henti-hentinya bercerita. Apa kau tak ingin menwariku kacang rebus. Aku juga ingin menikmati panorama pelangi sore dengan ditemani hangatnya kacang rebus. Aku bisa membayangkan bagaimana kehangatannya bisa menusuk-nusuk tubuhku yang dingin ini. Mungkin hangatnya seperti pelukan Qays pada Laila.

Kau tidak bertanya “apa Qays pernah memeluk Layla?. Bersentuhan tangan pun mereka belum pernah sampai ajal menjemput mereka. Dari mana kau tahu Qays pernah memeluk layla?. Mereka itu dua insan saling cinta yang malang. Mungkin lebih malang dari kisah cinta Romeo dan Juliet. Tapi Qays yang majnun karena cinta itu sangat dungu. Ia tak mau berkorban untuk mendapatkan cintanya. Ia hanya bisa merengek-rengek, menangis, meratap sambil menulis puisi”.

“ah, kau jangan menghakimi Qays seperti itu. Bagiku Qays memang pecinta sejati. Ia mencintai Layla melampaui segalanya. Cintanya tak berbatas, tak terbatas, tak berruang. Cintanya kepada Layla menyamai cintanya pada Tuhan semesta alam. Begitupun dengan Layla.”

“ya tapi Qays dan Laila tak pernah menikmati pelangi sehabis hujan sore seperti kita. Mereka belum pernah duduk di pantai seindah ini. Pun mereka tak pernah memperdebatkan tentang hujan. Hujan lebih indah turun di minggu pagi—sebentuk kalimat yang tak mungkin kau ungkapkan sekarang.

“ah hujan akan terasa indah jika turun di malam ini. Kau tahu alasannya?. Karena jika hujan turun di malam, apalagi malam ini, sayap-sayap malaikat akan menghangatkan tubuhku dan tubuhmu. Dan tentu saja cinta kita akan semakin hangat. Aku ingin hujan turun malam ini sayang, meski kau tak mau”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun