Ahhh..., aku sebenarnya tak ingin mengulang kisah ini. Aku pernah menceritakan sebelumnya di bagian akhir kisah Ketika Crazy "Rich" Asians adalah Kita. Saat itu aku memang tak menyebut secara spesifik bahwa itu adalah cerita Purbasari, akan tapi peristiwa yang melibatkan sang maharesi, sang putri, dan sang raja cukup mewakili kisah ini. Sang putri yang tidak mampu memenuhi ketentuan kenaikan tingkat, sang maharesi yang menegakkan aturan disiplin padepokan, serta sang raja yang melakukan lobi tingkat tinggi agar sang putri tidak dipulangkan karena gagal. Mengapa? Karena satu muslihat memang seharusnya ditutupi dengan muslihat lainnya bukan? Alamiahnya demikian, kalian tidak perlu heran.
Sang raja tidak sepenuhnya bersalah, tentu saja. Ada sang ratu yang menjadi pembisik setia. Handayani. Ampuun, ternyata aku sangat tidak kreatif. Mengapa aku harus menggunakan nama yang sama dari cerita Tembe Kanjeng Romo Murka. Ahhh sudahlah, abaikan saja, hanya kebetulan semata. Ratulah yang mempengaruhi sang raja untuk lebih memilih Purbasari dibanding putri lainnya. Maka dengan kehendak semesta: rasa sayang, perhatian, dukungan, pembelaan sang raja membabi buta untuk Purbasari.
***
        "Mboookkk, aku mau mandi! Ini kenapa belum siap? Cepaaaaat!" Terdengar suara Purbasari dari dalam pemandian keputren. Sekedar suara? Tentu saja tidak. Itu lebih kearah teriakan, jeritan, intonasi ketus, tidak bersahabat, dan mengintimidasi. Sejatinya tanpa menggunakan pilihan nada dasar itupun, semua abdi dalem pasti akan tunduk. Dia penguasa yang menentukan hajat hidup orang banyak bukan?
        "Ngapunten Den Nganten, ini sudah saya siapkan seperti biasanya, air hangat dengan rendaman bunga melati. Tadi Maharani meminta bantuan saya untuk memetik bunga melati dari halaman keputren." Wulandari, salah satu emban keputren berusaha menjelaskan.
        "Punten ndalem sewu Den Nganten, betul demikian. Tadi Den Nganten Purbasari meminta saya menyiapkan air hangat dengan rendaman bunga berwarna putih untuk mandi. Karena saya sedang menyiapkan perapian, saya minta bantuan Wulandari untuk mengambil bunga berwarna putih...." Jlebh! Tiba-tiba Maharani menyadari, ada yang salah dengan eksekusi tugasnya kali ini.
        "Dasar bodoh kalian berdua! Aku maunya mawar putih, bukan melati. Urusan seperti ini saja kalian tidak becus! Kalian ini bisanya kerja apa sih?" Purbasari melontarkan peluru amarahnya kepada dua emban keputren yang sedang apes kali ini. Peluru yang tiada habisnya tertumpah hampir setiap hari kepada emban keputren maupun prajurit yang berjaga di sekitar istana.
        "Ngapunten Den Nganten, panjenengan dalem biasanya pakai melati, jadi kami berdua menurut pada kebiasaan selama ini." Maharani berusaha membela diri. Dan Wulandari menambahkan hampir bersamaan. "Injih leres mekaten Den Nganten, sebelumnya kami pernah siapkan mawar putih tapi panjenengan dalem ngersakaken melati." Tapi justru itu makin memperkeruh keadaan. Purbasari muntab. "Semua kan terserah saya! Saya junjungan kalian disini! Kalian mau apa? Haahh?"
        Tragis? Tentu saja. Maharani meracau dalam isak tangis yang tertahan, ngeri dengan segala ulah Purbasari. "Aku mau pulang kampung saja, aku sudah tidak kuat lagi disini." Tak ubahnya dengan Maharani, namun Wulandari lebih ekspresif lagi, dia menangis dengan kencang, berurai air mata, dan mengumpat lantang dengan segenap amarah "Dasaaar Lampiiiiirrrr...."
***
        Tak ubahnya dengan dua emban yang bernasib mengenaskan, prajurit penjaga keputren pun tak luput dari perangai unik Raden Nganten Purbasari. Justru setelah dia diangkat menjadi ratu di Kerajaan Pasir Batang, kelakuannya berubah terbalik dibanding sebelumnya.