Mohon tunggu...
Deny Kristianto
Deny Kristianto Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan -

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Hal-hal tentang Jalan yang Sering Kita Lewati

28 Maret 2019   05:07 Diperbarui: 30 Maret 2019   16:35 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak jalan menuju Roma. Kalimat yang mudah muncul saat kita berbicara terkait kata "Jalan". Tetapi, secara spesial kali ini kita akan melihat pada jalan yang sering kita lewati. 

Banyak hal menarik lagi maknawi jika sejenak mengingat-ingat atau menikmati jalan-jalan ini. Memang harus diakui bahwa beberapa jalan seolah menuntut kita untuk terus melewatinya lagi. Sedangkan beberapa lainnya hanya sehari-hari dilewati tanpa ingat namanya.

Jalan apapun yang dimaksud disini adalah jalan dalam arti seluas-luasnya. Dari arti yang sebenarnya hingga sejauh imaji dan rasa yang mampu kita gali. Misalnya jalan utama yang sering kita lewati untuk pergi sehari-hari. Jalan ke kantor, ke kampus, ke sekolah, ke pasar, ke tempat belanja, jalan pulang ke rumah, atau jalan ke mana pun sesuai kepentingan kita masing-masing. 

Terlepas dari kondisi sempit, gelap, berbatu, ber-gang, becek, maupun jalan raya yang selalu menyuguhkan kemacetan, semua jalan itulah yang suka tak suka harus kita lewati. Kadang, ini berat.

Sungguh, pada jalan-jalan ini pula kita sering menggantungkan asa. Menaruh segala harap dalam irama waktu. Amati saja, jalan-jalan itu tetap setia menunggu kita. Sampai akhirnya kita bertemu lagi dengannya di sewaktu-waktu dalam suatu makna, memori, peristiwa, atau bahkan kulineri di sepanjang jangkauan julukannya. Sampai akhirnya kita tersadar beberapa jalan mungkin terlewati begitu saja tanpa sempat dinikmati. Beberapa hal dapat kita temukan di antara kelindan rutin hariannya.

De Javu

Keadaan dimana seolah-olah kita pernah mengalami peristiwa yang sama seperti yang pernah dialami sebelumnya. Sensasi ini lazim dialami oleh sebagian besar kita. Menurut Sigmund Freud, de javu terkait akan keinginan yang terpendam baik secara sadar atau tidak. 

Lebih lanjut, keadaan ini merupakan efek dari kerja otak yang kurang sempurna dalam merespon stimulus dari luar sehingga menuntun kita pada sebuah kemiripan sensasi tertentu atau memori tentang peristiwa yang seolah berulang persis. 

Secara umum hal ini terjadi bisa juga karena faktor fisik misalnya kelelahan, adanya gangguan fungsi bagian otak secara temporal, atau karena gangguan penyakit lainnya. Terlepas berbahaya atau tidaknya penyebab de javu, tetap saja pengalaman semacam ini adalah bagian dari perjalanan kita sehari-hari yang hampir semua orang pernah mengalami.

Sang Penanda

Banyak perjalanan yang menyenangkan maupun menyedihkan. Sadar atau pun tidak semua rasa tentang perjalanan amat ditentukan oleh tujuan yang akan di hadapi. Tentu, ada banyak di antara kita melakukan perjalanan tanpa "merasakannya". 

Hanya sebatas rutinitas belaka. Inilah salah satu tugas jalan-jalan yang sering kita lewati. Mereka ada sebagai penanda bagi keberadaan kita. Jalan-jalan itu dipenuhi rambu-rambu yang membangun kesadaran atas hidup dan penghidupan kita. 

Memberikan arahan menuju sesuatu yang mungkin membahagiakan, menakutkan, atau bahkan bersiap untuk tujuan yang penuh kemuraman. Sering pula ada banyak ragu pada jalan yang sering kita lewati ini. Meski kita sebelumnya telah tahu bahwa akhir perjalanan ini sangat indah atau pertemuan pada keluh kesah.

Kenangan

Jalan ini adalah jalan di mana banyak di antara kita rela berjejalan untuk melewatinya lagi dan lagi atau justru mati-matian menghindarinya. Jadi, setidaknya ada dua jenis jalan yang beralamatkan pada kenangan. Pertama adalah jalan yang tidak pernah ingin sekali-kali lagi ditapaki. Walaupun demikian, faktanya tetap saja karena suatu keadaan dan kebutuhan sesekali "terlewati". 

Umumnya karena deretan rasa sakit dan takut yang berjejer rapi di tepiannya atau karena sebuah keputusan yang mau tidak mau harus ditempuh. Kemudian yang kedua adalah jalan yang ramai akan lalu lintas rindu. 

Sekali lagi perlu kita pahami bahwa "Jl. Rindu" tidak mengenal jarak, lebar jalan, seberapa terjal, dan banyak pedagang di tepiannya yang telah berubah baik lapak maupun barang dagangannya. Begitu pula pengkolan, persimpangan, pertigaan, perempatan, dan simpang susun lainnya yang tidak lagi sama. Benar saja mereka berubah seiring usia kita. 

Namun, nampaknya semua itu hanyalah variabel material yang tidak terlalu berpengaruh. Hanya waktu dan usaha yang di tempuh untuk melewatinya saja yang dapat menentukan ujung dari jalan rindu ini. 

Sementara itu, baik usaha nyata untuk menapak tilasnya lagi atau hanya sekilas mengenang saat melaluinya sangat menentukan seberapa terikat kita terhadap jalan-jalan yang (dulu) sering kita lewati. Sedangkan juga sebagian kita ada yang hanya berusaha menelusurinya sebatas melalui kenangan. Siapapun "kenangan itu". Akui saja, dia (pernah) berarti.

Jalan Pulang

Jalan ini adalah jalan kembali. Jalan yang ditempuh dari manapun, menuju tempat sendiri. Jalan yang membawa kita ke suatu bangunan yang kita sebut  HOME is not just a house. Bisa saja jalan menuju rumah, kosan, kontrakan, dan semua tempat di mana kita tidak perlu berdramaturgi lagi. Bahkan jalan ini bisa saja berarti sebagai siapapun yang sungguh-sungguh keberadaanya amat berarti. Benar memang, bagi sebagian orang jalan ini tidak pernah asli. 

Bagi mereka yang hanya sebatas mengikuti tradisi, kemudian ikut-ikutan mengaku bahwa jalan pulang itu milik sendiri. Khususnya bagi kebanyakan perantau yang hanya punya jalan untuk pulang tapi tidak ada tempat untuk kembali. Meskipun begitu, nyatanya ada banyak sekali cerita yang dapat di bawa melalui jalan ini. 

Perbekalan mereka berupa bungkusan berisi kisah sedih, haru, harapan, semangat, bahagia, bahkan sesekali berupa koper solusi atas keputusasaan. Bagaimanapun jalan pulang selalu mendebarkan dan meronta untuk di ulangi. 

Tetapi yang jelas,  jalan itu sudah tidak sama lagi dengan jalan yang sering kita lewati untuk pergi. Hampir semua orang sepakat bahwa perjalanan atasnya lebih terasa cepat di banding saat pergi. Sebab ini bukan soal jarak. Ini soal kesadaran dan hati. Soal sebuah tujuan di mana kita dapat menjadi diri sendiri.

Ada di jalan manakah kita sekarang? Di sini, sesekali sajalah kita nikmati jalan-jalan yang kita gunakan untuk pergi maupun kembali. Agar kesadaran dan semangat hari ini dapat di kemas lagi untuk esok hari. Terlebih untuk kita yang mengais nafkah di atas jalan-jalan ini. 

Tentu keberadaan mereka sangat berarti. Lanjutkan sajalah pada jalan-jalan yang di yakini. Di sana ada hal-hal maknawi yang bisa dinikmati. Selebihnya bagi yang sudah punya jalan pulang dan tempat kembali, ingat hati-hati di jalan, keluarga menanti!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun