Belajar sebagai substansi pendidikan memiliki opsi, jenis, tipe, waktu, tujuan, dan tempatnya yang amat beragam. Salah satu filsuf pendidikan, George F. Kneller memiliki rekomendasi tentang definisi pendidikan dalam arti luas yang cukup lengkap. Menurutnya pendidikan berarti menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa, watak, dan kemampuan fisik individu.Â
Prosesnya seumur hidup. Perluasan definisi ini membawa kita kepada pemahaman betapa beragamnya pilihan pendidikan di luar sekolah formal. Harus diakui, sekolah formal sangat mendominasi dunia pendidikan kita. Â Sehingga layaklah bahwa sekolah formal perlu "dipertanyakan" kembali oleh setiap kita yang memiliki kepedulian dan harapan-harapan akan kemajuannya bagi kemaslahatan bersama.
Pertanyaan mengenai bagaimana keberadaan sekolah dengan segenap faedah kontributifnya terhadap masyarakat, mendesak untuk diuraikan. Terlebih, isu-isu arah perkembangan industri 4.0 sudah makin santer di Indonesia. Kita menjadi bagian masyarakat yang tak pelak dalam belenggu sekolah yang diyakini sebagai bagian fundamental proses penghidupan.Â
Saking pentingnya, sehingga hampir seluruh orang percaya bahwa sekolah (dari TK, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat dan Universitas/sederajat) adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh jika ingin menjadi manusia. Sayangnya, dalam dosis ini berarti kita sedang memasuki dunia mitos. Mitos tentang pendidikan.Â
Meminjam konsep mitos filsuf sekaligus antropolog kenamaan Mircea Eliade, yang menjelaskan mitos sebagai cerita lama tentang asal-usul dunia atau benda di dunia, yang dengan berbagai jalan menjelaskan mengapa keberadaan manusia begitu adanya, atau mengapa norma-norma budaya masyarakat berkembang sedemikian rupa. Berbekal dengan pemahaman ini saya ingin mengajak anda untuk melakukan "karya wisata" dalam dunia mitos pendidikan di Indonesia.
Kunjungan wisata pertama kita di mulai dari hakikat pendidikan itu sendiri yaitu memanusiakan manusia. Kebanyakan orang enggan untuk mengulik jawaban atas pertanyaan -- apakah benar jika tidak mengikuti pendidikan formal (sekolah) sedari kecil sampai setinggi jangkauan dompet, tidak dapat menjadi manusia? Hal ini ternyata adalah mitos, karena semua orang mengamini tanpa membantahnya bahwa pendidikanlah satu-satunya jalan untuk "menjadi dan bertahan" sebagai manusia.Â
Ringkasnya, tidak memungkinkan bahwa seorang anak manusia bisa mengenal baca, tulis, hitung, berpikir, dan bertindak sebagai manusia beradab tanpa menempuh sekolah. Pada ranah ini dapat kita simpulkan sementara bahwa sekolah adalah satu-satunya "jalan buntu yang mau tidak mau harus tetap ditempuh" untuk menjadi manusia. Â Kita secara konsisten tetap mengamininya dengan penuh keyakinan bahwa begitulah adanya asal-usul manusia yang beradab. Ya, dari sekolah.
Masih dalam konstelasi pemahaman tentang mitos. Kita akan menambah perbekalan pemahaman kita dengan penjelasan Steven Palmquist sebagai seorang filsuf yang "tidak suka bertele-tele". Ihwal pengertian mitos darinya dapat  digunakan sebagai jembatan pemahaman yang lebih dalam guna menikmati kunjungan wisata ke dunia mitos pendidikan kita.Â
Palmquist menjelaskan mitos sebagai riwayat, keyakinan, dan hal-hal maknawi lain yang tak dipersoalkan (tidak pernah dipertanyakan eksistensi kebenaran dan  asal muasalnya). Pada sudut pemahaman ini menjadi semakin jelas bahwa mitos yang saya maksudkan disini bukan sebagai "cerita sekedar dongeng" atau "cerita bohong" tetapi titik berat perspektifnya adalah pada hal-hal maknawi dan fundamental dalam hidup yang seolah tak dipersoalkan. Kita akan melanjutkan perjalanan ini menuju pertunjukan mitos tentang "sekolah yang tak dipersoalkan".
Seperti yang telah saya singgung sedikit di depan bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia, ini dogma. Apa pasal, karena kebanyakan orang hanya menyoal sekolah mahal, sekolah berkualitas, sekolah berstandar, dan soal-soal mengenai sekolah lainnya. Namun, dari soal-soal yang mulia ini saya kira cukup jarang yang mempertanyakan manusia seperti apakah yang diproduksi oleh sekolah-sekolah tersebut. Kita percaya begitu saja akan ke-Maha pentingan sekolah.Â
Apalagi jika mencoba menggali rumusan pembubaran atau penghilangan sekolah dalam arti konvensional-formal dari masyarakat kita. Terdengar sangat tidak masuk akal bahkan bisa saja kita dikira orang gila. Tetapi, minimal bukti yang bisa kita lihat adalah dari sedikitnya orang tua/wali (sebagai konsumen) yang mau dan mampu mengkritisi produk yang hendak mereka nikmati.Â