Mohon tunggu...
Deny Tri Basuki
Deny Tri Basuki Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang pengelana.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

(Masih soal) Penghapusan KTKLN

4 Januari 2015   16:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:50 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu penghapusan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) hari-hari ini masih terus berlanjut sejak pernyataan Presiden Jokowi  di depan TKI di 8 negara  pada e-blusukan 30 November 2013 lalu. Desakan penghapusan KTKLN sebenarnya sudah sering terdengar jauh sebelum itu, namun keputusan penghapusan oleh Presiden Jokowi menjadi  gong yang disambut gegap-gempita oleh ratusan Buruh Migran Indonesia/BMI (sebutan favorit saat ini untuk TKI) yang pada saat e-blusukan memasang spanduk besar-besar: HAPUS KTKLN!!!

[caption id="attachment_363051" align="aligncenter" width="544" caption="Jokowi dan BMI dalam e-Blusukan (sumber: TribunNews)"][/caption]

Ada dua pertanyaan atas keputusan penghapusan KTKLN, yaitu apakah desakan penghapusan KTKLN yang diangkat menjadi salah satu agenda bahasan yang diangkat oleh BMI dalam e-blusukan mewakili suara semua BMI? Dan yang kedua apakah keputusan Presiden – setelah mendengar keluhan BMI betapa pengurusan untuk sebuah KTKLN menjadi ajang korupsi petugas - untuk akhirnya  menghapuskan KTKLN  dilandasi pertimbangan yang matang dengan melihat segi manfaatnya. Unsur legalitas menjadi predominan atau hal yang utama dalam menyelesaikan isu ini. Langkah hukum apa yang akan diambil pemerintah untuk mendukung keputusan ini akan menjadi sangat sangat penting. Hal ini akan berimplikasi kepada bentuk selanjutnya dari KTKLN, dihapus atau diganti.

Dalam beberapa kesempatan dialog dengan kawan-kawan BMI, tidak semua pekerja di luar negeri sependapat dengan penghapusan KTKLN. Suara mereka memang tampak tertutupi  oleh suara lantang pendukung penghapusan KTKLN. Tapi suara mereka adalah juga suara BMI, yang memandang positif adanya KTKLN sesuai dengan tujuan pembuatannya, yaitu untuk perlindungan BMI.

Menengok sejarah, pemberlakukan KTKLN dilandasi pertimbangan adanya keharusan peran negara dalam migrasi BMI yang akan bekerja di luar negeri. Terjadinya kasus-kasus perdagangan dan penyelundupan manusia dalam proses penempatan BMI di beberapa negara, khususnya di wilayah Timur Tengah, mendesak Pemerintahan Presiden Megawati saat itu untuk menjamin penempatan BMI yang aman dengan kehadiran negara dalam peran perlindungan.  Maka terbitlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang diantaranya mengatur secara khusus mengenai kewajiban setiap BMI untuk memiliki KTKLN jika akan bekerja di luar negeri.

Niat baik ini rupanya juga tidak mudah dilaksanakan.  Diperlukan waktu yang cukup lama sebelum pada tahun 2011 akhirnya KTKLN dapat mulai diberlakukan secara efektif. Hal ini diantaranya disebabkan adanya ketidakharmonisan antara Kemnakertrans sebagai regulator masalah ketenagakerjaaan dan BNP2TKI sebagai operatornya.  Sebagai bukti,  baru pada tahun 2010 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi baru menerbitkan Permenakertrans Nomor: Per.14/Men/X/2010 Tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebagai petunjuk pelaksanaan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 (Jumhur Hidayat, Menghapus Kartu Tenaga Kerja TKI, 2014).

Kekisruhan soal KTKLN semakin dipicu oleh ketidaksiapan BNP2TKI dalam menyediakan infrastruktur dan suprastruktur pelayanan KTKLN yang memadai. Tempat pelayanan penerbitan KTKLN di 26 Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) dirasa sangat tidak memadai bagi BMI yang akan mengurus KTKLN. Jarak yang jauh antara tempat tinggal BMI dengan BP3TKI, dan lama serta berbelitnya proses pengurusan KTKLN membuat mereka frustrasi.  Hal ini semakin diperparah dengan tambahan antrian BMI yang sedang cuti dan berangkat sebelum pemberlakukan KTKLN, diwajibkan juga membuat KTKLN.

Adanya desakan, baik dari BNP2TKI dan BMI sendiri untuk memberikan fasilitas pelayanan pembuatan KTKLN di kantor Perwakilan RI di luar negeri (KBRI dan KJRI) di negara tempat mereka bekerja adalah sebuah keniscayaan solusi. Permintaan agar KTKLN dapat dibuat di kantor Perwakilan RI sangat masuk akal jika dilihat dari sudut pandang BMI yang tidak ingin waktu cutinya terbuang sia-sia, dan tambahan kekesalan mereka atas maraknya aksi korupsi ketika mengurus KTKLN. Namun Perwakilan RI tidak dapat serta-merta memberikan pelayanan pembuatan KTKLN sepanjang tidak ada landasan hukum dan keersediaan perlengkapan/peralatannya, mengingat di dalam pembuatan KTKLN tidak hanya menyiapkan dan memuat data BMI namun juga keberadaan asuransi yang diterbitkan oleh konsorsium perusahaan jasa asuransi di Indonesia.

Jadi polemik terhadap isu penghapusan KTKLN pasca pernyataan Presiden Jokowi dalam e-blusukan seharusnya dilihat dalam konteks manfaat dan mudarat. Selama ini manfaat adanya KTKLN yang asasi sebagai instrumen perlindungan terhadap BMI tergerus oleh sisi mudarat pengurusan/pembuatan KTKLN yang penuh dengan muslihat para oknum yang korup. Gambaran betapa menyebalkan dan mengesalkannya pengurusan KTKLN membuat marah semua pihak, tak tekecuali Pemerintahan Jokowi yang dengan konsekwen dan konsisten menerapkan zero tolerance terhadap aksi pejabat publik yang korup dan melalaikan pelayanan publik yang efektif dan efisien.

Isu penghapusan KTKLN sudah bergulir cepat, namun kemudian seolah-olah prosesnya berjalan  tersesat di dalam labirin.  Pemerintah belum juga memberikan tanda-tanda akan membuat RUU untuk mengganti UU No. 39/2004 meskipun badan legislatif  (DPR) sudah memberikan sinyal positif  jika langkah itu akan dilakukan. Demikian juga terjadi hal yang sama terhadap kemungkinan pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk menganulir keberadaan KTKLN.

Yang kemudian agak membingungkan adalah terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menggantikan Permenakertrans No. Per.14 Tahun 2010. Permenaker nomor 22 Tahun 2014 meniadakan ketentuan mengenai KTKLN, dan itu kemudian dijadikan argumen hukum bahwa  KTKLN sudah dibatalkan.

Dalam asas ilmu hukum dikenal adagium asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior) dimana peraturan perundang-undangan yang  berada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Selain itu dalam doktrin hukum hanya dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:

1. Atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan.

2. Delegasi pembentukan peraturan perundan-undangan.

(Bilal Dewansyah, S.H., M.H., 2014)

Dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI yang dimuat dalam  Undang-undang Nomor 12 Tahun tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan peraturan menteri diatur dalam Pasal 8 ayat (2). Lalu bagaimana dengan  kekuatan mengikat Peraturan Menaker Nomor 22 Tahun 2014 tersebut dalam konteks pembatalan KTKLN? Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 menegaskan:

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau

2. Dibentuk berdasarkan kewenangan.

Di dalam Undang-undang No. 39 tahun 2004 Pasal 63 ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Ketentuan mengenai bentuk, persyaratan, dan tata cara memperoleh KTKLN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.”

Dengan demikian seharusnya penerbitan Peraturan Menaker Nomor 22 Tahun 2014 merupakan sebuah perundangan yang merupakan penjelasan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika ketentuan mengenai KTKLN masih diatur di dalam UU No. 39 Tahun 2004 lalu bagaimana dasar pertimbangan Kemnaker untuk meniadaan/membatalkan aturan mengenai KTKLN di dalam peraturan menteri yang seharunya menjalankan amanat undang-unadang di attasnya tersebut? Yang jelas keputuan menteri tersebut tidak dapat membatalkan keberadaan KTKLN.

Wacana yang berkembang kemudian bukan penghapusan KTKLN namun justru rencana menggantinya dalam bentuk lain, seperti mengintegrasikan fungsi KTKLN itu dengan passport dan visa jadi satu, seperti yang diungkap Ka BNP2TKI Nusron Wahid di KPK, Jakarta 6 Desember 2014. Opsi lainnya yang dikaji oleh Menaker adalah barcode yang berisi data mengenai BMI yang kemudian ditempelkan di dalam paspor.  Kedua pilihan tersebut meskipun logis tapi menimbulkan beberapa konsekwensi, seperti penyediaan anggaran untuk membuat insfrastruktur baru yang selaras dengan tujuan penggantian  KTKLN, dan yang lebih penting  – kalau betul ide integrasi passport dengan visa  bias terwujud – adalah adanya kerjasama antara Pemerintah RI dan negara penerima BMI mengenai pembuatan visa khusus. Karena penerbitan visa apapun jenisnya adalah menjadi kewenagan negara penerima.

Rencana untuk mempertahankan KTKLN juga sempat dilontarkan Nuson Wahid di Jeddah tanggal 30 Desember 2014: “Sekarang kita tinggal pilih, mau berpihak kepada TKI tapi negara lemah, atau berpihak kepada negara juga berpihak ke TKI, KTLN itu bermanfaat buat negara untuk pendataan TKI yang bekerja di luar negeri….Yang jelas, KTLN itu ada manfaatnya bagi negara dan TKI, yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya agar kartu ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan TKI.” Namun sebaik apapun KTKLN, ide untuk mengembalikannya adalah suatu langkah yang mustahil karena BMI sudah sangat tidak menyukainya.

Yang terpenting adalah, apapun bentuknya nanti, pengganti KTKLN seharunya tetap mengedepankan fungsi perlindungan yang optimal dari pemerintah kepada BMI yang bekerja di luar negeri. Diluar artibut asuransi yang selama ini dibayar oleh BMI sendiri, pengganti KTKLN selayaknya disediakan oleh Pemerintah  sebagai bukti kehadiran negara dalam setiap permasalahan yang dialami BMI yang bekerja di luar negeri.

---d3b---

Bandar Seri Begawan, 4 Januari 2014

Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan dan kebijakan tempat penulis bekerja.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun