Menulis merupakan suatu keterampilan, bukan bakat bawaan: bisa dilatihkan dan membaik berkat repetisi, koreksi dan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Teori bakat Rama Royani secara garis besar membagi bakat manusia menjadi bakat berpikir (thinking), berjuang (striving), memimpin (influencing) dan membina relasi (relating). Tidak disebutkan di sana 'menulis' sebagai bakat. Yang sangat relevan dengan keterampilan menulis adalah bakat berpikir: futuristic, ideation, strategic, analytical, learner, input, intellection dan context.
Demikian pula jika kita mengikut pendapat Abdul Khaliq Junaidi dalam buku Tafsir Bakat yang menyatakan bahwa bakat itu ialah akhlak bawaan yang tidak bisa berubah---dari sifat tawadhu (ego rendah), ar-rahmah (ego sedang), hingga al-himmah (ego tinggi)-total berjumlah 40 bakat- tidak disebutkan menulis sebagai bakat. Yang agak nyambung dengan bakat menulis ialah al-fashahah, al-hikmah, adz-dzaka, an-nubl, an-nashihah, al-munaqasyah dan bisa ditambahkan al-ghirah.
Jadi, menulis hanyalah kompetensi -bukan bakat- yang bisa diperoleh lewat latihan. Sementara kita setuju bahwa keterampilan menulis itu bisa diasah dengan cara berlatih dalam artian manual (menulis dengan pena atau mengetik dengan menggunakan komputer) kemajuan teknologi menyodorkan kemudahan 'terampil' menulis lewat artificial intelligence (Ai). Â
Karya Tulis Ai
Dengan artificial intelligence kini orang bisa menghasilkan karya tulis dengan sangat cepat dan mudah. Membuat jurnal ilmiah bisa memakai Ai. Menyusun buku hanya butuh waktu beberapa jam. Sang penulis hanya perlu belajar membuat prompt: sang robotlah yang berpikir dan menulis untuknya. Ai: Â mesin super canggih yang menggulung miliaran informasi dalam cloud untuk kemudian menyajikannya dalam sekumpulan kata-kata, kalimat dan paragraf.
Sudah pasti ada beberapa persoalan di situ. Tulisan ini hanya membahas secara lintas kilas  masalah-masalah yang dimunculkan oleh keberadaan Ai. Pertama yang berhubungan dengan keaslian atau orisinalitas. Ini masalah etika yang cukup fundamental. Kedua, ketiadaan gaya individu. Ini lebih merupakan persoalan estetika. Ketiga, soal ideologi di balik pemanfaatan Ai.
Pertama, soal keaslian. Dengan menulis lewat Ai, penulis tidak menghasilkan gagasan dari analisis dan sintesis yang ia lakukan sendiri. Karya tulis Ai adalah buah pikiran robot. Menghimpun data secara manual, dengan menelaah kitab dan buku, plus melakukan searching lewat mesin pencari memang membutuhkan effort yang lebih banyak --tetapi buah pikiran yang lahir sebagai hasil sintesis setelahnya lebih bisa diharapkan sebagai buah pikiran orisinal, meski -misalnya- sudah ada orang lain memikirkan hal serupa (common sense meniscayakan adanya kekerabatan imajinasi dan gagasan).
Tidak dinafikan bahwa sang penulis memerlukan inspirasi, setidaknya mengajukan pertanyaan awal bagi penelitian. Akan tetapi  robotlah yang kemudian berkelana dan memproses serta memilihkan informasi yang kelak dituangkan. Kalau pengertian 'asli' itu dipersempit sebagai soal atau inspirasi awal berarti ada pergeseran nilai (value) yang perlu disepakati.
Kedua, penyusunan karya tulis ilmiah memang lebih teknis sifatnya, sehingga tidak ada perbedaan gaya individu yang relatif kentara. Berbeda halnya dalam karya tulis populer atau karya sastra --apakah Ai bisa melahirkan suatu gaya penulisan tertentu? Orang bisa membedakan gaya penulisan Gunawan Muhammad, Kuntowijoyo, Danarto, Putu Wijaya, Mahbub Junaidi, Taufik Abdullah- untuk menyebut sejumlah nama --dari membaca esai-esai mereka. Sekarang jika anda menulis prompt misalnya: buatkan cerpen gaya Danarto --maka yang tampil adalah cerpen standar yang bisa ditulis sembarang orang. Â
Ketiga, perbedaan proses yang dipilih menunjukkan adanya ideologi: orang yang menganggap lumrah pemakaian Ai untuk menulis karya ilmiah resmi (misalnya jurnal ilmiah, skripsi) tidak bisa tidak menganut pragmatisme. Â