Puber ideologi, begitu kita menyebut episode sejarah awal abad XX. Ideologi merupakan kebutuhan primer demi melawan kolonialisme-imperialisme di tataran praksis dan pemikiran. Sneevliet dan Adolf Baars membawakan komunisme ke Hindia Timur. Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Al-Afghani membawakan pan-Islamisme lewat para pembaru di Minangkabau.
Sementara para punggawa pergerakan di Jawa yang menikmati politik etis memanggul sosialisme-nasionalisme sebagai ideologi perlawanan. Mayoritas founding fathers kita melawan penjajahan barat dengan pemikiran barat pula.
Tahun 1920 sampai 1930-an merupakan era di mana kaum intelektual mencari kiblat baru bagi identitas nasional. Apakah berpaling ke Timur ataukah berpaling ke Barat yang menjadi penanda kemajuan kebudayaan?
Para pejuang pergerakan memilih nama 'Indonesia' sebagai kosakata yang subversif berhadap-hadapan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada 1928, para pemuda sudah membayangkan komunitas yang kelak didirikan itu: Indonesia. Partai Sarekat Islam Hindia Timur mengganti namanya. Partai Komunis Hindia Timur mengganti namanya. Â Pidato Sukarno yang terkenal berjudul 'Indonesia Menggugat' diucapkannya di sidang pengadilan Landraad, Bandung pada 18 Agustus 1930. 'Indonesia' adalah muara dari perjuangan politik ideologis kaum pergerakan sampai dengan masa pendudukan Jepang.
Setelah bergumul secara diplomatis hingga merdeka secara de jure di tahun 1949, dimulailah era politik aliran. Umat muslim berhimpun di Masyumi dan NU. Kaum komunis berhimpun di PKI -yang pengkhianatannya di tahun 1948 tidak sempat dibersihkan sampai ke akar-akarnya, bahkan direhabilitasi oleh Sukarno. Kaum nasionalis berhimpun di PNI, dan partai agama lain juga berhimpun di Parkindo dan Partai Katolik. Juga ada sejumlah partai kecil lain.
Ideologi rupanya menjadi penyebab kebuntuan Konstituante, menyambung kebuntuan yang nyaris sama di BPUPK -menyangkut dasar negara: Islam ataukah Pancasila (nasionalisme sekular). Konstituante yang merupakan hasil pemilu demokratis tahun 1955 dipandang gagal oleh Sukarno. Ia menyerukan kembali ke UUD 1945 yang lebih simpel, disusun dalam situasi darurat dan karenanya mengandung sejumlah celah. Lewat pembentukan Dewan Nasional dan Zaken Kabinet (1957) Sukarno disebut Salim Said sebagai pencetus Dwi Fungsi Tentara.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bukanlah akhir zaman politik aliran. Sukarno justru menyederhanakan sekaligus menguatkan tendensi ideologi itu ke dalam tiga kubu: nasionalis, komunis dan Islam. Tentu Islam yang dimaksud adalah Islam yang pro-kekuasaan. Kubu sosialis yang kurang revolusioner seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI)-nya Syahrir dan Islam modernis yang diwakili Masyumi didepak dari panggung kekuasaan. Kedua partai itu dibubarkan dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat dalam pemberontakan PRRI.
Sebagai pelaku sejarah yang berinteraksi langsung dengan kolonialisme (Belanda dan Jepang) ideologi merupakan sesuatu yang melekat, bahkan identik dengan Bung Karno. Karena itu di era Sukarno (era Demokrasi Terpimpin), jargon anti kolonialisme-imperialisme terus dihidup-hidupkan. Revolusi menjadi kosakata keramat yang menjadi dasar bagi labeling sosial-politik: revolusioner  atau kontra-revolusioner. Ideologi adalah rujukan nomor satu bagi implementasi politik dalam dan luar negeri Indonesia.
Akan tetapi apakah arti ideologi jika secara ekonomi rakyat tetap sengsara? Penderitaan rakyat itu 'hanya' dibayar dengan pengentalan identitas dan harga diri nasional di ranah politik. Politik adalah panglima.
Setelah peristiwa G30S, ideologi telah terbukti menjadi pisau yang digunakan untuk menusuk sesama anak bangsa dari belakang. Ideologi berlomba-lomba untuk duduk di puncak kekuasaan. Revolusi memang lazimnya disertai pertumpahan darah, bukan?
Bayang-bayang kolonialisme memang belum sepenuhnya memudar sejak Indonesia merdeka. Namun relevansi ideologi sebagai dasar bagi kemaslahatan bangsa dan negara di tahun 1965 itu mulai dipertanyakan. Penguasa militer yang menggantikan Sukarno kini melihat adanya kebutuhan bagi 'pembangunan ke dalam'. Trauma politik aliran membuat Suharto membungkam pihak-pihak yang menginginkan kelahiran kembali Masyumi. Komunisme mutlak dilarang. Suharto melakukan fusi kepartaian menjadi tiga golongan: Islam di PPP, tentara dan golongan karya di Golkar, dan nasionalis-kristen-sosialis di PDI. Semuanya harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Inilah awal mula era pragmatisme politik di Indonesia.
Era reformasi seperti membenarkan kelahiran kembali politik aliran, politik identitas. Ada upaya-upaya menghidupkan kembali Masyumi oleh berbagai pihak (yang kemudian terbukti hanya memperoleh sedikit pengikut). Unsur-unsur ormas bahkan mendirikan partai politik. Disinyalir ada partai yang merupakan manifestasi gerakan kiri baru. Ada partai yang basis ideologinya adalah Islam transnasional. Namun kelompok-kelompok yang dipandang sebagai anti-demokrasi juga diberangus, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia.
Setelah kurang lebih seperempat abad pasca-reformasi, pragmatisme semakin kentara menjadi kultur politik di Indonesia. Politik aliran telah menjadi semacam politik identitas yang semu. Semuanya lebur dalam iklim demokrasi yang serba pragmatis. Liberalisme lebih menjadi corak budaya, yang mengaburkan ideologi. Tafsir Pancasila tidak lagi sakral dan monolitik, tetapi liberal. Â
Pengalaman represi politik di masa Orde Baru membuat para aktor politik tidak bisa tidak harus berkompromi dengan kenyataan. Tetapi para aktor yang ada sekarang bukanlah kelanjutan dari generasi politisi di era itu dan tidak berarti bahwa para aktor politik kiwari punya kesadaran sejarah yang tinggi. Â
Yang bertahan dari masa lampau pengalaman politik Indonesia antara lain: korupsi, kolusi penguasa-pengusaha, politik dinasti (warisan Orde Baru), politik slogan (warisan Orde Lama), sekularisasi (warisan pikiran kolonial), Â pragmatisme, liberalisme agama dan budaya (westernisasi). Sementara itu Pancasila yang pernah dikeramatkan sebagai asas tunggal oleh Orde Baru juga tidak pernah dilirik lagi sebagai falsafah dan sumber nilai, kecuali oleh segelintir intelektual. Orang tidak lagi berdebat soal sekularisasi atau objektivasi Islam. Sekarang bukan eranya indoktrinasi atau penataran. Era ideologi telah berakhir. Sekarang soalnya bukan ideologi atau idealisme. Soalnya adalah soal uang dan soal kekuasaan.Â
Selamat menikmati demonkrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H