Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selamat Menikmati Demonkrasi

23 November 2024   12:18 Diperbarui: 28 November 2024   05:34 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayang-bayang kolonialisme memang belum sepenuhnya memudar sejak Indonesia merdeka. Namun relevansi ideologi sebagai dasar bagi kemaslahatan bangsa dan negara di tahun 1965 itu mulai dipertanyakan. Penguasa militer yang menggantikan Sukarno kini melihat adanya kebutuhan bagi 'pembangunan ke dalam'. Trauma politik aliran membuat Suharto membungkam pihak-pihak yang menginginkan kelahiran kembali Masyumi. Komunisme mutlak dilarang. Suharto melakukan fusi kepartaian menjadi tiga golongan: Islam di PPP, tentara dan golongan karya di Golkar, dan nasionalis-kristen-sosialis di PDI. Semuanya harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Inilah awal mula era pragmatisme politik di Indonesia.

Era reformasi seperti membenarkan kelahiran kembali politik aliran, politik identitas. Ada upaya-upaya menghidupkan kembali Masyumi oleh berbagai pihak (yang kemudian terbukti hanya memperoleh sedikit pengikut). Unsur-unsur ormas bahkan mendirikan partai politik. Disinyalir ada partai yang merupakan manifestasi gerakan kiri baru. Ada partai yang basis ideologinya adalah Islam transnasional. Namun kelompok-kelompok yang dipandang sebagai anti-demokrasi juga diberangus, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia.

Setelah kurang lebih seperempat abad pasca-reformasi, pragmatisme semakin kentara menjadi kultur politik di Indonesia. Politik aliran telah menjadi semacam politik identitas yang semu. Semuanya lebur dalam iklim demokrasi yang serba pragmatis. Liberalisme lebih menjadi corak budaya, yang mengaburkan ideologi. Tafsir Pancasila tidak lagi sakral dan monolitik, tetapi liberal.  

Pengalaman represi politik di masa Orde Baru membuat para aktor politik tidak bisa tidak harus berkompromi dengan kenyataan. Tetapi para aktor yang ada sekarang bukanlah kelanjutan dari generasi politisi di era itu dan tidak berarti bahwa para aktor politik kiwari punya kesadaran sejarah yang tinggi.  

Yang bertahan dari masa lampau pengalaman politik Indonesia antara lain: korupsi, kolusi penguasa-pengusaha, politik dinasti (warisan Orde Baru), politik slogan (warisan Orde Lama), sekularisasi (warisan pikiran kolonial),  pragmatisme, liberalisme agama dan budaya (westernisasi). Sementara itu Pancasila yang pernah dikeramatkan sebagai asas tunggal oleh Orde Baru juga tidak pernah dilirik lagi sebagai falsafah dan sumber nilai, kecuali oleh segelintir intelektual. Orang tidak lagi berdebat soal sekularisasi atau objektivasi Islam. Sekarang bukan eranya indoktrinasi atau penataran. Era ideologi telah berakhir. Sekarang soalnya bukan ideologi atau idealisme. Soalnya adalah soal uang dan soal kekuasaan. 

Selamat menikmati demonkrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun