Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kiat Menumbuhkan RORP

10 September 2024   10:20 Diperbarui: 11 September 2024   08:28 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: pexels.com/@aksakal/

Sebagaimana telah dimaklumi, remaja adalah golongan usia yang serba 'tanggung': sudah bukan kanak sekaligus belum terhitung dewasa. Sudah matang secara seksual (yang belakangan ini makin cepat datangnya) namun belum 'rusyd' (matang secara mental, yang justeru makin lambat datangnya).

Karena secara seksual sudah matang maka dorongan ke arah aktivitas seksual pun menguat. Anak-anak usia SD lazim sudah mengenal pacaran, mulai naksir-naksiran antar lawan jenis dan karena kurang kendali orang tua mereka sudah terpapar video porno. Apakah solusinya mereka segera dinikahkan? Jelas ini problematik, karena sudah pasti anak-anak itu belum siap.

Karena itu pihak sekolah sebaiknya mengevaluasi kembali tujuan-tujuan pendidikannya, kurikulum serta strategi penumbuhan iman di hati peserta didik. Terlepas dari fitrah sekolah yang condong pada pengembangan perkara-perkara akademik (kognitif): kepandaian menghafal Al-Qur`an (tahfizh), kemampuan berbahasa dan matematika dan sejenisnya.

Memang penanggung jawab terbesar dalam hal pendidikan anak adalah orang tuanya, ayah bundanya, yang justru awam soal pendidikan. Mereka merasa sudah menunaikan kewajiban mendidik dengan menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Islam. Padahal itu masih jauh dari memadai.

Banyak anak yang bermasalah secara moral ternyata terabaikan di rumahnya. Ayah ibunya sibuk dengan urusan masing-masing. Ponsel begitu bebas di tangan anak. Sikap-sikap orang tua yang banyak mengkritik, suka marah-marah berlebihan, tidak perhatian dan semisalnya terekam di memori anak, sehingga mereka merasa tidak nyaman berkomunikasi dengan ayah-bunda. Mereka tidak mendapatkan kehangatan di rumah dan akan mencari cinta dari media sosial di ponsel (Tiktok, Instagram, Whatsapp) bahkan dari lawan jenisnya di sekolah atau di lingkungan tinggal mereka.

Sekolah sebagai pihak yang lebih 'sadar' dan 'berpengetahuan' seyogyanya bekerja sama dengan para ayah-bunda ini dalam rangka pendidikan.  Kerja sama itu tentu berupa koordinasi dan komunikasi perihal perkembangan moral dan karakter peserta didik. Mereka mengawasi, mengendalikan, mengarahkan dan mengayomi adab dan akhlak anak. Sesungguhnya peran ayah-bunda dalam hal ini tidak tergantikan, namun dalam kondisi darurat para guru (ustadz dan ustadzah) bisa mengambil tanggung jawab itu. Mau tidak mau.

Kalau anak pubertas lebih awal maka penumbuhan RORP (sikap rasional, objektif, realistis dan proporsional) pada diri anak juga perlu diberi perhatian lebih. Beberapa saran di bawah ini bisa ditempuh sebagai ikhtiar.

Pertama, ciptakan komunikasi yang hangat di rumah sehingga anak berani menuturkan keluh kesahnya kepada ayah-bunda. Bahasa cinta dalam bentuk dukungan (kurangi kritik apalagi kritik berlebihan), sentuhan (mencium, merangkul), quality time, pemberian hadiah, empati, pelayanan, semua yang membuat anak merasa dicintai harus dilakukan orang tua. Lakukan kegiatan bersama untuk mengalihkan perhatian semua anggota keluarga dari ponsel. Dengan cara ini acara ngobrol anak dengan ayah-bunda menjadi sesuatu yang asik, dan bukannya bikin cemas dan deg-degan (karena anak takut dimarahi).

Kedua, ayah dan bunda berbagi masalah di dunia orang dewasa kepada anak-anak. Ceritakan, tanpa menggunjing orang, misalnya problem-problem interaksi dengan rekan kerja, problem-problem keuangan, rencana-rencana masa depan, salah paham dengan tetangga, bukan dalam rangka permusuhan tetapi demi membuka mata anak terhadap dunia nyata yang dihadapi orang dewasa. Kelihatannya seperti orang dewasa yang curhat kepada anak-anak tetapi sebenarnya merupakan sejenis taktik melatih anak-anak berpikir realistis dan berhadapan dengan masalah/memecahkan masalah.

Ketiga, membimbing anak menemukan bakatnya dan membuat life plan. Misalnya mau SMP-SMA di mana, kuliah apa, mau tinggal di mana, mau bekerja sebagai apa, apa misi hidupnya, mau dapat pasangan seperti apa, mau punya anak berapa. Soal-soal yang nampaknya terlalu dewasa namun sesungguhnya sudah waktunya. Dengan menyusun dokumen rencana hidup mereka akan belajar RORP.

Usahakan agar life plan itu adalah proposal yang membuat anak merasa bergairah dan bersemangat menjalani aktivitas hidupnya. Itulah mengapa bakat anak perlu terlebih dahulu diidentifikasi. Menjalani hidup  berdasarkan bakat akan terasa lebih mudah sekaligus menyenangkan. Rencana hidup memang semacam doa juga, namun harus disusun secara masuk di akal, realistis (sesuai bakat) dan sesuai kondisi objektif, proporsional dengan taraf kemampuan pembiayaan keluarga, misalnya. Pembuatan life plan jelas akan mendorong anak masuk ke dunia dewasa, meski masih dalam tahap membayangkan. Orang tua kemudian akan mengingatkan anaknya jika suatu kali mereka malas atau tidak konsekuen dengan rencana dan cita-citanya sendiri.

Keempat, menumbuhkan mental kemandirian dan kewirausahaan (entrepreneurship) misalnya untuk mencari tambahan uang jajan mereka dilatih berjualan makanan kecil atau produk ke teman-temannya atau menitipkan barang dagangan ke warung. Atau, dengan berjualan di Whatsapp dan marketplace. Dengan cara ini sekaligus memanfaatkan ponsel yang mereka pegang untuk fungsi-fungsi yang positif. Bukannya semisal acara market day di sekolah: orang tua yang menyiapkan barang dagangannya, mereka juga yang membelinya dari gerai-gerai milik siswa. Ini sih bukan upaya menumbuhkan mental entrepreneurship, melainkan sekadar menyenangkan hati anak-anak.

Kelima, secara berkala ayah bunda harus meng-ugrade pengetahuan mereka tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Sumber-sumber informasi tentang ini sudah sangat melimpah di internet. Banyak pakar pendidikan keluarga dan pengasuhan anak  berbagi di Youtube. Sekolah dalam hal ini bisa mengambil peran aktif sebagai promotor 'sekolah orang tua', 'forum diskusi sekolah-orang tua'. Komunikasi orang tua-guru (ustadz-ustadzah) harus intens sekali karena perkembangan moral dan perilaku anak-anak bisa jadi tidak terduga dan fluktuatif.

Masa-masa remaja adalah masa-masa yang rawan. Baik remaja putra dan putri, semuanya ada di zaman yang penuh fitnah dan cobaan. Kalau para orang tua dan pendidik tidak mau berubah dan bertahan dalam wacana yang lama, taruhannya adalah keselamatan dunia akhirat putra-putri dan diri kita sendiri.

Wallahul muwafiq.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun