Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

RORP (Rasional, Objektif, Realistis, Proporsional)

6 September 2024   14:44 Diperbarui: 17 September 2024   06:26 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.pexels.com

Bila 4C (critical thinking and problem solving, creativity and innovation, communication, collaboration) ditentukan sebagai empat kompetensi terpenting di masa depan, maka RORP (rationality, objectivity, realisticism, proportionalism)  merupakan indikator kedewasaan yang juga harus dimiliki para peserta didik di akhir masa pendidikan mereka.

Kompetensi 4C berkait dengan keterampilan kognisi dan afeksi, sedangkan RORP lebih merupakan fondasi mental yang justru lebih penting. Kompetensi 4C hanya bisa diberdayakan di atas fondasi RORP. Baik 4C maupun RORP harus diupayakan penumbuhannya sepanjang penyelenggaraan proses pendidikan.

Kata 'dewasa' atau adult dalam bahasa Inggris berasal dari kata adultus yang berarti 'telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna' atau 'telah menjadi dewasa'. Orang dewasa karenanya adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima posisi di dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Elizabeth Hurlock menetapkan usia 18 tahun sebagai batas tercapainya masa dewasa dini (early adulthood) (Hurlock, 1980). Tentu saja Hurlock merujuk pada budaya Amerika -tempat di mana ia tinggal.

Selaku muslim, idealnya kedewasaan itu dicapai bersamaan dengan baligh-nya seorang anak secara fisik. Makanya dikenal istilah akil-baligh. Sayangnya, belakangan ini ada kecenderungan anak lebih cepat baligh (matang secara fisik-seksual) namun makin lambat akil (dewasa, matang secara mental). Dorongan syahwat akibat baligh yang terlampau cepat makin menggebu di usia SD, namun kematangan mental baru dicapai di atas usia 20 tahun (usia kuliah atau lulus SMA). Ini menimbulkan banyak sekali masalah sosial.

Sebagian orang menolak istilah 'akil' atau 'aqil', karena dalam literatur fikih, 'aqil' (berakal) adalah lawan bagi kategori 'majnun' (orang gila). Istilah yang lebih tepat dalam hal ini adalah 'rusyd'. 

Dalilnya adalah Surat Ali Imran ayat ke-6: "Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah rusyd (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya."

Kata 'rusyd' di situ dijelaskan sebagai 'pandai mengelola harta' karena rasionalitas si anak yatim telah tumbuh, sudah punya sound judgment.

Dalil yang lain ialah Surat Al-Ambiya ayat ke-51: "Sungguh, Kami benar-benar telah menganugrahkan kepada Ibrahim sifat rusyd-nya sebelum (Musa dan Harun) dan adalah Kami Maha Tahu tentang dia."

Menurut sebagian ahli tafsir, makna rusyd dalam  ayat itu ialah Allah membimbing Ibrahim berhujjah kepada kaumnya (Al-Mukhtashar f Tafsir al-Qur`an al-Karim susunan Komite Ulama Tafsir Kerajaan Saudi Arabia). Argumentasi Ibrahim ditopang oleh rasionalitas dan objektivitas yang mencerminkan ar-rusyd. Ia mengkritik keras kaumnya yang menyembah berhala: benda mati yang tidak bisa mendengar dan berbicara. Tidak mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudarat bahkan terhadap diri mereka sendiri.

Ketidakdewasaan ditunjukkan dengan ketiadaan RORP. Bila coba disimpulkan, ketiadaan RORP itu disebabkan oleh salah asuh dan egosentrisme yang belum tuntas.

Seorang anak yang baru saja memasuki masa dewasa dini diperhadapkan dengan masalah-masalah yang jauh lebih kompleks dan menekan, membuatnya oleng secara emosional. Kekuatannya dalam mengendalikan sikap bisa dilihat dari keputusan-keputusan hidup yang ia buat. Dari situ kadar RORP-nya bisa dinilai.

Egosentrisme itu tampak dalam sikap merasa benar sendiri, tidak mau kalah, menuruti emosi, amarah yang meledak-ledak (tidak rasional), menampilkan diri sebagai korban (playing victim), merasa kurang diperhatikan, merasa dizalimi pihak lain (secara subjektif), membesar-membesarkan masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara mudah (tidak proporsional), banyak menuntut di luar kemampuan pihak yang ia tuntut (tidak realistis), atau justru menyepelekan masalah penting. Karena tidak RORP, maka ia sulit berkomunikasi apalagi berkolaborasi dengan orang lain, karena apa-apa maunya menang sendiri, masih egosentris.

Egosentrisme yang belum terpuaskan tampak pada sikap kekanak-kanakan (childish) yang melekat pada diri orang dewasa.

Kompetensi 4C umumnya bisa distimulus lewat model-model pembelajaran di sekolah akan tetapi RORP tampaknya lebih dekat ke pembinaan mental dan konseling. Dengan kalimat lain, 4C lebih bertaut dengan pendidikan, pengajaran dan pelatihan (education and training) sedangkan RORP lebih merupakan perkara pengasuhan. RORP sejatinya kembali kepada pendidikan keluarga.

Anak dalam hal ini akan belajar dari cara-cara orang tuanya menyikapi dan menyelesaikan masalah, terutama dari sang ayah (atau ibu, jika ibunya yang dominan).

Kaum Ibrahim alaihissalam yang menyembah berhala -misalnya- mengaku hanya melanjutkan tradisi yang diwarisi dari ayah-ayah mereka. Padahal budaya yang mereka lestarikan itu jelas-jelas irasional. Sebaliknya anak-anak Ya'qub mewarisi tradisi ayahnya yang bertauhid, sebagaimana dikisahkan dalam Surat Al-Baqarah ayat ke-133:

Tidakkah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, "Apa yang kalian sembah sepeninggalku?" Anak-anaknya menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah:133).

Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya: "Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, majusi, atau nasrani."

Pilihan atas suatu agama pastinya didasari oleh RORP, yang tinggi-rendah kualitasnya sangat ditentukan oleh pola asuh yang dijalankan orang tua.

Egosentrisme ekstrem ditampakkan oleh Iblis selaku antagonis abadi dalam sejarah. Ia menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Katanya: "Aku lebih baik darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api dan engkau ciptakan ia dari tanah."

Logika Iblis justru tidak masuk di akal, tidak objektif, tidak realistis dan tidak proporsional. Ibnul Qayyim dalam Fawaidul Fawaid menjelaskan logical fallacy Iblis ini. Iblis menyangka api lebih hebat daripada tanah, padahal sebaliknya. Api membakar dan memusnahkan, sedangkan tanah mengasuh dan menumbuhkan. Api adalah simbol superioritas, sedangkan tanah melambangkan kerendahan hati. Tanah justru lebih baik daripada api.

Dalam hal ini Iblis mungkin kritis, akan tetapi tidak rasional. Dia dilanda rasa besar diri subjektif. Tidak mau kalah (tidak realistis). Rasa dengki dan dendamnya kepada Adam membuat sikapnya tidak proporsional (ingin menggoda anak Adam hingga hari kiamat, agar sama-sama masuk neraka).

Bukan soal salah asuh yang dialami Iblis yang patut kita pikirkan, akan tetapi bagaimana menjadikan RORP sebagai bagian terpenting dari kompetensi lulusan yang dihasilkan berkat kerja sama sekolah (guru) dan lingkungan rumah (orang tua).

Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun