Miat bin Misan bin Jalim lahir di Cibinong sekitar tahun 1920. Itu tahun kira-kira, karena di zaman 'normaal' -demikian orang tua kita di zaman dulu menyebut masa Hindia Belanda- belum ada pendataan kartu tanda penduduk. Miat hanya ingat waktu ia datang di Batavia ia sedang senang memakai pakaian bagus. Miat lantas menyebut angka 14 tahun.
Waktu itu, Udjang, sepupunya yang bekerja sebagai tukang kebun di Moeriaweg di Niuew Menteng (Jalan Muria Kel. Guntur Kec. Setia Budi Jakarta Selatan sekarang) pulang kampung ke Cibinong dan menyampaikan pesan dari ibunya (bibi Pak Miat) agar Miat menggantikannya bekerja sebagai tukang kebun. Bibi Pak Miat sendiri bekerja sebagai pembantu di tempat yang sama.
Miat berjalan kaki dari Cikaret -desa tempatnya tinggal- ke pangkalan wagon dekat Pasar Cibinong. Dari Cibinong ia naik Austin (merek sejenis oplet) lanats tiba di Manggarai, ia kemudian berjalan kaki Moeriaweg.
Sebagai tukang kebun ia harus mengenakan seragam berupa jas tutup tanpa kerah. Untuk pekerjaannya sebagai tukang kebun ia mendapat upah tiga perak alias tiga puluh picis atau 300 sen atau 600 peser sebulan. Majikan Miat adalah seorang Indo-Belanda yang tidak dia ingat lagi namanya. Â
Setelah beberapa tahun bekerja sebagai tukang kebun, Miat pindah bekerja ke majikan lain di Goentoerweg (Jalan Guntur) karena berharap gaji yang lebih besar. Saat bekerja di Goentoerweg itulah Miat menikahi Seni binti Ibrahim yang juga menjadi pembantu orang Eropa di kawasan Menteng. Miat dan Seni kemudian menyewa rumah di kampung Menteng Atas yang menurut Ibu Seni bentuknya 'seperti kandang ayam'.
Menurut Ibu Seni orang-orang Eropa majikannya sudah terbiasa menyantap hidangan ala Indonesia. Mereka belanja lauk dan sayur mayur di Pasarmanggis.
Miat beberapa kali pindah rumah dan pindah profesi. Dari Menteng Atas ia sempat pindah ke Gang Tegalan, Matraman, menjadi pelayan di Rumah Sakit Saint Carolus di Kramat dengan gaji 17 perak sebulan. Di zaman Nippon ia menjadi tukang patri keliling.
Potret Miat dan Seni mewakili mayoritas massa bumiputera yang sama sekali buta politik. Seni menyebut era Hindia Belanda sebagai zaman normal karena menurutnya segala sesuatu tidak sesulit dan sekacau di zaman Jepang. Miat tidak ikut gerakan politik dan kesatuan laskar mana pun sebelum, selama dan sesudah revolusi fisik.
Berbeda dengan Ainin bin Amat (lahir 1925 wafat tahun 2000-an) yang berjalan kaki dari Cibinong hingga ke Gudang Air di Kramat Jati. Ainin sempat mengikuti kelaskaran di masa revolusi. Sayang ceritanya kurang lengkap. Ainin tinggal di Batavia dari tahun 1935 sampai dengan 1949, tepatnya di Kampung Pedurenan (dekat Jl. Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan sekarang).
Menurut penuturan Ainin, di sepanjang Halimoenweg (Jalan Halimun) ada perusahaan sapi perah milik Tuan Fratino. Demikian yang ia ingat.
Penuturan almarhum Miat bin Misan, Seni binti Ibrahim, dan Ainin bin Amat memberi gambaran kehidupan sosial massa bumiputera di era Hindia Belanda, di mana kampung-kampung perkotaan terserak di sekitar pusat kota kolonial yang merupakan sentra pemukiman orang Eropa.
Nieuw Menteng yang dibangun di selatan Bandjir Kanaal sejak 1934 membuka lapangan kerja non-pertanian bagi bumiputera: menjadi tukang kebun, juru masak, pembantu dan pelayan. Pengertian urbanisasi atau 'kampungisasi' (karena selaku kota kolonial, Batavia juga merupakan big village) menemukan konteksnya di sini.
Okupasi tanah kampung perkotaan di tahun 1950-an (zaman merdeka) oleh penduduk semacam Miat bin Misan memanfaatkan kekacauan administrasi agraria di zaman Jepang yang serba singkat. Di awal zaman Jepang, orang-orang Belanda ditangkap dan dijadikan tawanan (interniran), sebagian dipulangkan, dan sebagian lain terbunuh dalam revolusi sosial. Tanah-tanah bekas milik orang Belanda, misalnya di Kawi Sawah (lahan sepanjang Jalan Kawi sekarang Kel. Guntur Kec. Setia Budi Jakarta Selatan) dikuasai secara pribadi lewat mekanisme 'nengker'(siap yang lebih dahulu datang dialah yang memiliki dan berkuasa).
Di zaman Jepang, para penggarap tanah yang memanfaatkan lahan kosong yang ditinggalkan orang Eropa tidak dikenai sewa atau pajak. Dalam rangka mobilisasi perang, Jepang menggalakkan penanaman sayur mayur dan pohon jarak (Ricinus communis) kepada penduduk lokal. Tidak ada registrasi yang dilakukan sehingga tidak diketahui letak, luas, kepemilikan resmi atas suatu lokasi tanah.
Setelah Jepang pergi, penduduk pribumi yang nengker tanah di sepanjang Jalan Kawi dan Jalan Halimun mengundang migran dari berbagai daerah. Transaksi membuat status kepemilikan tanah berpindah tangan. Lokasi di sepanjang kedua jalan utama itu menciptakan kampung-perkotaan yang bercorak melting pot beserta kehidupan sosialnya yang khas Jakarta selama zaman merdeka (tahun 1950-an), Orde Lama dan Orde Baru.
Penggusuran kawasan perkampungan kota itu di awal 1990-an oleh perusahaan swasta yang sahamnya didesas-desuskan dimiliki kerabat dekat dan anak-anak Suharto adalah cerita tersendiri. Di sini kohesivitas dan solidaritas sosial warga kampung diuji. Warga sempat melakukan perlawanan dengan mengundang pihak luar (dalam hal ini pengacara swasta) guna mengoordinasikan tuntutan mereka. Akan tetapi upaya mereka tercerai berai dan tidak kompak. . Sebagian besar penduduk memilih menerima opsi harga yang ditawarkan pengembang. Yang berkeras bertahan pada akhirnya harus menghadapi teror preman dan mengalah pindah.
Sampai saat ini hanya penduduk kampung di kawasan Gang Edi dekat Jalan Halimun yang masih tersisa dan menyintas dari penggusuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H