Penuturan almarhum Miat bin Misan, Seni binti Ibrahim, dan Ainin bin Amat memberi gambaran kehidupan sosial massa bumiputera di era Hindia Belanda, di mana kampung-kampung perkotaan terserak di sekitar pusat kota kolonial yang merupakan sentra pemukiman orang Eropa.
Nieuw Menteng yang dibangun di selatan Bandjir Kanaal sejak 1934 membuka lapangan kerja non-pertanian bagi bumiputera: menjadi tukang kebun, juru masak, pembantu dan pelayan. Pengertian urbanisasi atau 'kampungisasi' (karena selaku kota kolonial, Batavia juga merupakan big village) menemukan konteksnya di sini.
Okupasi tanah kampung perkotaan di tahun 1950-an (zaman merdeka) oleh penduduk semacam Miat bin Misan memanfaatkan kekacauan administrasi agraria di zaman Jepang yang serba singkat. Di awal zaman Jepang, orang-orang Belanda ditangkap dan dijadikan tawanan (interniran), sebagian dipulangkan, dan sebagian lain terbunuh dalam revolusi sosial. Tanah-tanah bekas milik orang Belanda, misalnya di Kawi Sawah (lahan sepanjang Jalan Kawi sekarang Kel. Guntur Kec. Setia Budi Jakarta Selatan) dikuasai secara pribadi lewat mekanisme 'nengker'(siap yang lebih dahulu datang dialah yang memiliki dan berkuasa).
Di zaman Jepang, para penggarap tanah yang memanfaatkan lahan kosong yang ditinggalkan orang Eropa tidak dikenai sewa atau pajak. Dalam rangka mobilisasi perang, Jepang menggalakkan penanaman sayur mayur dan pohon jarak (Ricinus communis) kepada penduduk lokal. Tidak ada registrasi yang dilakukan sehingga tidak diketahui letak, luas, kepemilikan resmi atas suatu lokasi tanah.
Setelah Jepang pergi, penduduk pribumi yang nengker tanah di sepanjang Jalan Kawi dan Jalan Halimun mengundang migran dari berbagai daerah. Transaksi membuat status kepemilikan tanah berpindah tangan. Lokasi di sepanjang kedua jalan utama itu menciptakan kampung-perkotaan yang bercorak melting pot beserta kehidupan sosialnya yang khas Jakarta selama zaman merdeka (tahun 1950-an), Orde Lama dan Orde Baru.
Penggusuran kawasan perkampungan kota itu di awal 1990-an oleh perusahaan swasta yang sahamnya didesas-desuskan dimiliki kerabat dekat dan anak-anak Suharto adalah cerita tersendiri. Di sini kohesivitas dan solidaritas sosial warga kampung diuji. Warga sempat melakukan perlawanan dengan mengundang pihak luar (dalam hal ini pengacara swasta) guna mengoordinasikan tuntutan mereka. Akan tetapi upaya mereka tercerai berai dan tidak kompak. . Sebagian besar penduduk memilih menerima opsi harga yang ditawarkan pengembang. Yang berkeras bertahan pada akhirnya harus menghadapi teror preman dan mengalah pindah.
Sampai saat ini hanya penduduk kampung di kawasan Gang Edi dekat Jalan Halimun yang masih tersisa dan menyintas dari penggusuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H