dewaraja' merupakan fenomena yang lazim di Asia Tenggara -- khususnya di negara-negara yang terpengaruh Hinduisme India seperti Angkor di Vietnam, Ayuthaya di Thailand, Champa di Kamboja dan Majapahit di Nusantara (Sudrajat, 2012). Raja dianggap sebagai titisan dewa. Dalam konsepsi Jawa, raja adalah makhluk yang lebih tinggi daripada rakyat kebanyakan. Raja  bahkan dianggap dewa berwujud manusia. Kehendaknya menciptakan adat atau hukum (Sartono, 1999, hal. 46).
Konsep 'Sebuah prasasti di abad X masehi berisi pernyataan: "yang diperdewakan di Cunggrang adalah Rakryan Bawang Mpu Partha." Diyakini oleh para ahli bahwa Mpu Partha merupakan kakek moyang Mpu Sindok, raja Medang Kahuripan di Jawa Timur (Sudrajat, hal.10).
Konsep dewaraja semakin nampak nyata di masa pemerintahan Airlangga (1019-1043). Bukti arkeologisnya adalah arca raja Airlangga yang mengendarai garuda. Sebagaimana dimaklumi, dalam Hinduisme garuda adalah tunggangan dewa Wisnu, sehingga Airlangga dianggap sebagai titisan dewa Wisnu. Airlangga sendiri menganut agama Hindu-Wisnu. Airlangga mengidentifikasi dirinya dengan Wisnu karena dewa ini dipercaya sebagai sosok pemelihara dan penjaga alam semesta. Kalau Airlangga dianggap titisan dewa Wisnu, maka Ken Arok -raja Singasari- diidentikkan dengan dewa Siwa, dewa pelebur yang berwatak garang.
Raja Jawa memperoleh legitimasi kekuasaannya berdasarkan wahyu atau pulung yang lazim digambarkan sebagai segumpal sinar yang turun pada penerimanya. Dalam kepercayaan rakyat Jawa sejak zaman Ken Arok (raja Singasari) dan Panembahan Senopati (raja Mataram Islam), penerima pulung dipandang berhak secara tradisional untuk menjalankan kekuasaan. Otoritasnya bersifat kharismatis. Selama pulung ada di keraton, selama itu pula sang raja dipandang absah menduduki tahta kerajaan (lihat Sartono, hal. 46-47).
Persoalannya adalah tidak ada yang benar-benar bisa memastikan kapan dan bagaimana pulung itu turun dan bertahan pada diri seseorang. Menurut sejarawan Ong Hok Ham, pulung tidak bersifat langgeng, melainkan makin lama makin berkurang. Karena itulah suatu dinasti (keraton) dikatakan tidak akan bertahan lebih daripada 100 tahun, atau pemerintahan seorang raja tidak lama daripada seumur jagung.
Pulung memperkuat keyakinan dewaraja. Di masa kerajaan-kerajaan Islam, pulung mengubah status raja dari titisan dewa menjadi sayyidin panata (pengatur) agama dan khalifah Allah di atas bumi.
Susuhunan Pakubuwono IX Â menyebut Sultan Agung sebagai "Yang Mahasempurna yang jadi raja di dunia seperti para nabi di zaman dahulu." Demikianlah Sultan Agung, Raja Mataram abad ke-17 digambarkan seakan-akan sebagai titisan para nabi -- bahkan Tuhan itu sendiri (Ong Hok Ham, hal. 11).
Sayangnya secara de facto dalam sejarah, yang terjadi justru kebalikannya. Otoritas ketuhanan yang dipegang seorang raja kerap tidak bertahan lama, dengan berbagai sebab: pemberontakan, pertikaian antar putra raja dan kerabat kerajaan, atau manuver politik. Â VOC -kongsi perusahaan swasta Belanda- sering turut campur dalam politik internal suksesi kerajaan. Raja atau sultan yang diangkat tidak jarang menjadi 'boneka' VOC atau menjadi bagian dari kontrak politik yang berbuah konsesi politik-ekonomi bagi VOC. Kalau sudah begini, di manakah signifikansi konsep dewaraja?
Genealogi sebagai Legitimasi
Bagi suatu wangsa, genealogi (nasab, silsilah) dan sejarah merupakan unsur penting guna melegitimasi kuasa politik, dominasi budaya dan kharisma yang bersifat agama. Dalam setting negara feodal, legitimasi politik diperlukan guna menciptakan stabilitas. Hanya saja, stabilitas di masa itu tidak selalu digunakan untuk keperluan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi. Kerajaan-kerajaan di Jawa umumnya berwatak ekspansif. Kejayaan dan kegemilangan kerajaan lebih ditentukan keberanian untuk melakukan perang dan agresi.
Mataram Islam merupakan cermin dari tradisi pra-Hindu, Hindu dan Budha yang berlanjut ke era Islam. Di Mataram setiap raja dianggap berpemaisurikan Nyai Lara Kidul, dewi dari Laut Selatan, mitos yang berfungsi melegitimasi otoritas raja Mataram (Sartono, hal. 47). Bahkan dalam Babad Diponegoro, Pangeran Diponegoro (yang muslim) mengklaim telah berjumpa Sunan Kalijaga dan Nyi Lara Kidul saat melakukan tapa brata dan mati raga di dalam gua (Steenbrink, 1984, hal. 24-25).