Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Post Learning Notes

18 Januari 2024   06:24 Diperbarui: 18 Januari 2024   15:35 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam acara Akademi Guru Pendidikan Karakter Nabawiyah Batch 4 yang diselenggarakan 26-28 Desember 2023 di Pesantren Tahfizhpreneur Imam Bukhari, Cipanas, Cianjur Jawa Barat terungkap dua kecenderungan guru terhadap administrasi pendidikan. Yang pertama, yang cenderung mengabaikan -lantaran banyaknya tanggung jawab dan hal-hal lain yang dipandang lebih esensial. Kedua, yang merasa sangat perlu. Administrasi di sini dipahami sebagai pencatatan (recordation) dan dokumentasi (documentation) dalam proses penyelenggaraan pendidikan.

Kecenderungan pertama bisa disebut sebagai 'ekstrem kiri'. Tetapi yang ekstrem itu juga mudah dimengerti. Pasalnya, sekolah hanya memiliki sedikit sumber daya manusia. Sekolah yang diasuh teman saya ini cuma menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar selama tiga hari dalam sepekan. Ditambah satu hari di hari Jumat yang diisi kegiatan pengarahan dan diskusi khusus untuk para orang tua (parenting). Tujuannya agar  visi-misi pendidikan rumah dan sekolah selaras dan sejalan.

Sekolah teman saya yang 'ekstrem kiri' pada dasarnya memang anti-mainstream. Fasilitas hanya rumah kontrakan yang disekat hingga menjadi beberapa ruang kelas dengan satu ruangan lain untuk kepala sekolah dan guru. Teman saya ini merangkap kepala sekolah sekaligus guru utama. Kalau penasaran nama sekolahnya adalah 'Raudhatul Ilmi' yang beralamat di Jalan Persahabatan dekat Studio Alam TVRI, Depok Jawa Barat.

Sekolah Raudhatul Ilmi menganut paradigma pendidikan karakter nabawiyah berbasis fitrah. Meyakini pendidikan sebagai proses yang mudah, karena potensi kebaikan setiap manusia sudah terinstall dari sananya. Tinggallah para pendidik, khususnya orang tua dan guru -- merawat, menumbuhkan dan mengoptimalisasi potensi kebaikan itu sesuai tahapan usia, kebutuhan psikologis dan bakat istimewa masing-masing peserta didik.

Pembelajaran pun dirancang sebermakna mungkin lewat tema-tema yang bersentuhan langsung dengan dunia nyata. Misalnya peserta didik diajak berbelanja sayur mayur di warung sayur dekat sekolah dan memasak. Pelajaran berhitung, ilmu alam (mengenal tetumbuhan), bernegosiasi dan berkomunikasi, bekerja sama, pendidikan jasmani dan kesehatan, project based learning, enviromental learning, learning by traveling sudah tercakup semua di situ. 

Teman saya yang lain -Kepala Rumah Tahfizh Riyadhul Qur`an, Sukatani Depok menyatakan bahwa dia tidak bisa mengabaikan administrasi dan pencatatan. Menurutnya administrasi tetap penting. Teman saya ini jelas tidak bisa disebut 'ekstrem kanan', apalagi jika tahfizh menjadi fokus utama kompetensi peserta didiknya. Pencatatan sangat penting untuk merekam perkembangan hafalan dan kekuatan hafalan peserta didik.

Sumber: dokumentasi pribadi
Sumber: dokumentasi pribadi

Yang disebut 'ekstrem kanan' menurut saya adalah administrasi yang (pernah) dituntut oleh para pengawas sekolah dari Kementrian Pendidikan . Kurikulum Merdeka yang sekarang tuntutannya lebih longgar. Namanya juga 'merdeka'. Era Kurikulum 2013 itulah yang ekstrem. Saya pernah mengalaminya saat menjadi guru kelas di salah satu sekolah dasar Islam di Karawang. Guru sangat dianjurkan membuat beraneka catatan tentang peserta didik (ada sekitar 20 buku): catatan kehadiran, catatan kesehatan, tanda terima rapor, sampai perkembangan tinggi badan peserta didik semua harus ada bukunya. Belum lagi pengamatan karakter yang penilaiannya harus ditulis dalam bentuk narasi. Akhirnya, guru malah mengakali tuntutan itu dengan membuat aplikasi Excel. Penilaian tetap dalam format angka namun angka-angka itu akan terkonversi otomatis menjadi narasi di lembaran rapor. Administrasi demikian ini bisa digolongkan sebagai 'ekstrem kanan'.

Post learning notes atau catatan pasca pembelajaran adalah semacam buku harian yang merekam proses pembelajaran rutin dari hari ke hari. Mendiang Munif Chatib pernah menyebut pentingnya lesson plan atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebagai bukti pertanggungjawaban kerja seorang pendidik. Kumpulan lesson plan itu bisa dibukukan sehingga bisa dibaca sebagai referensi bagi pendidik yang lain.

Pada kenyataannya, lesson plan sering berubah atau terpaksa diubah melihat tuntutan kondisi di lapangan. Saat mau mengadakan diskusi misalnya: karena sesi pembelajaran dilakukan di siang hari --pada jam-jam  terakhir menjelang pulang, maka peserta didik tampak sudah lesu dan kecapean . Rencana diskusi berubah menjadi kuis.

Sebagian rekan guru mengaku tidak memerlukan lesson plan. Kata mereka: tidak mau terjebak formalisme administratif. Sikap mereka hampir saya kategorikan sebagai 'ekstrem kiri '. Ini juga dimaklumi karena beban kerja dan tanggung jawab yang banyak. Mayoritas mereka adalah para guru berpengalaman yang sudah lihai mengendalikan dan memenej kelas. Meski tidak menyusun lesson plan mereka tetap punya promes (program semester) dan prota (program tahunan). 

Post learning notes mencatat perubahan lesson plan itu dan merekam kejadian-kejadian menarik saat pembelajaran berlangsung. Munif Chatib menyebut istilah special moments, sedangkan Kurikulum Merdeka  menyebut catatan anekdotal. Post learning notes merupakan gabungan special moments dan catatan anekdotal yang ditulis secara rutin.

Atmosfer belajar tidak selalu menggairahkan namun lewat post learning notes guru bisa melakukan refleksi, mempertanyakan mengapa hal itu sampai terjadi. Apakah yang ia kejar penyampaian materi? Atau, sebaliknya ia mengabaikan materi karena ingin 'menyenangkan' peserta didik? Proses pembelajaran bagaimanakah yang membuat kompetensi terserap namun tetap menyenangkan dalam prosesnya? Apakah 'menyenangkan' itu wajib?

Bayangkan, menulis bisa membawa pada pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam itu.

Sama seperti lesson plan, fungsi post learning notes di antaranya: menjadi alat dokumentasi pembelajaran dan kenang-kenangan, sarana literasi guru, bukti dan portofolio kerja guru, dan bahan referensi bagi guru yang lain, bahkan bisa diterbitkan sebagai buku.

Persoalannya apakah dengan menulis post learning notes guru dihasung menjadi 'ekstrem kanan'? Nah, soal ekstrem kanan atau kiri itu terserah pada kecenderungan dan pilihan pribadi. Juga tergantung pada kadar kerepotan masing-masing. 

Wallahu a'lam bis shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun