Saat bakat peserta didik telah teridentifikasi maka pendidikan berbasis mulazamah menjadi metode pembelajaran lanjutan yang disarankan. Pada asalnya model dan metode pembelajaran ini ditujukan dalam rangka menguasai matan kitab-kitab ilmu pengetahuan Islam dengan cara menghafal dan memahami suatu topik secara mendalam. Inti dari metode mulazamah adalah fokus, tidak  berpindah materi sebelum betul-betul menguasainya.
Prinsip-prinsip pembelajaran mulazamah yang diajarkan Samir Yusuf Al-Hakali antara lain: (1) Pengajar tidak boleh mengajar sampai dia sendiri benar-benar paham dan terampil; (2) Harus fokus ke satu kitab sebelum pindah ke kitab yang lain, harus paham, hafal bahkan bisa menerangkan dan mengajarkannya kepada orang lain; (3) Pengawasan berlapis dari pelajar-pengajar-pengawas tingkat 1, pengawas tingkat 2, dan pengawas pakar; (4) Tidak boleh belajar banyak subjek dalam satu waktu (mirip sistem blok); (5) Belajar dari materi yang paling sederhana secara bertahap hingga ke materi yang paling rumit; (6) Kebersamaan seorang syaikh (guru utama) yang menyuplai ilmu dan bertindak selaku teladan iman, akhlak dan ibadah.
Prinsip-prinsip metode mulazamah di atas bisa diterapkan ke subjek-subjek yang lain. Prinsip pembelajaran mulazamah memang menghasilkan kompetensi tingkat tinggi. Menurut hemat kami model mulazamah merupakan pendidikan tingkat lanjut setelah fitrah keimanan dan fitrah belajar peserta didik telah beres.
Aktualita di LapanganÂ
Harus diakui bahwa ada banyak sekolah Islam yang didirikan tanpa konsep yang memadai. Sekolah-sekolah itu dibuat oleh komunitas yang sangat membutuhkan pendidikan untuk anak-anak mereka. Dalam situasi mendesak, satu dua orang lantas berinisiatif membikin sekolah, merekrut guru, menjalankan sekolah secara apa adanya sembari mengusahakan perizinan ke pihak Pemerintah. Mereka punya visi dan misi akan tetapi kerepotan mengimplementasikannya di ranah operasional. Satu-satunya panduan berasal pengawas Dinas Pendidikan setempat yang tentu saja memberi arahan sesuai visi-misi Pemerintah. Sekolah Islam pada akhirnya harus merekonsiliasikan visi-misinya dengan visi-misi Pemerintah itu.
Ketika itulah materi-materi membanjir. Anak dituntut belajar banyak hal yang sebenarnya tidak dia butuhkan. Belajar matematika kalkulus padahal bakatnya jadi entrepreneur. Belajar sains padahal bakatnya menghafal Quran. Harus menghafal Quran padahal hafalannya lemah dan dia cerdas linguistik.
Kira-kira sejak sepuluh tahun yang lalu, sekolah-sekolah Islam kerap menawarkan hafalan sekian juz Al-Qur`an sebagai standar kompetensi lulusannya. Namun apakah itu yang esensial? Bukankah semangat cinta Al-Qur`annya, nikmat membaca, merenungi, memahami terjemahannya, mempraktikkan tajwidnya, menemukan hikmah dan relevansinya dengan dunia nyata, hingga mengamalkannya, itu yang lebih esensial ketimbang sekadar hafalan tanpa penghayatan? Baru belakangan disadari bahwa hafalan Qur`an yang banyak tanpa penumbuhan iman ternyata telah menghasilkan lulusan yang timpang: hafalannya banyak namun imannya tipis dan buruk adab-akhlaknya.
Menghafal Al-Qur`an hukumnya hanyalah sunnah, bukan wajib. Harusnya ada pemisahan antara pelajar yang berbakat dengan yang tidak berbakat. Yang tidak berbakat hanya diminta menghafal sekemampuannya sedangkan anak-anak yang berbakat bisa menghafal lebih banyak.
Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pembelajaran tahfizh seharusnya disertai dengan tadabbur sehingga peserta didik memahami terjemahan surat dan ayat-ayat tertentu. Dalam hal ini ada dua teladan dari model pendidikan kuttab: (1) mementingkan tadabbur Al-Qur`an dalam rangka penumbuhan karakter iman; (2) adanya sosok guru yang dikagumi dan menjadi teladan. Dalam model pendidikan kuttab, guru baru bisa mengajar setelah menjalani pelatihan selama beberapa bulan.
Soft competencies yang lebih dibutuhkan di masa depan: cinta ilmu, belajar swakarsa (self determined learning), belajar sepanjang hayat sesungguhnya merupakan modalitas budaya yang lama dimiliki umat Islam, bahkan ada legitimasi normatifnya. Selebihnya adalah keterampilan berkomunikasi, kreativitas dalam memecahkan masalah, mengembangkan nalar kritis dan kemampuan serta kemauan berkolaborasi dan berjejaring. Semua kompetensi ini harusnya lebih diperhatikan dibanding penguasaan konten dan materi yang sering kehilangan kontekstualitas dan relevansinya dengan dunia nyata  alias mubazir alias tidak esensial.
Wallahu a’lam.