Sumber foto: pexels.com
Dalam budaya organisasi, rasa memiliki akan membuat seluruh anggota organisasi bekerja dengan penuh kerelaan dan antusiasme. Penjabaran rasa memiliki ke dalam dua indikator tadi: kerelaan dan antusiasme- pada akhirnya melahirkan iklim dan suasana kerja yang kolegial. Lahir pula rasa kebersamaan yang membuat organisasi bertumbuh secara alami ke arah kemajuan.
Para pegawai bekerja dengan kesadaran bahwa setiap usaha mereka untuk memajukan perusahaan pada dasarnya adalah ikhtiar untuk menyejahterakan diri mereka sendiri. Mereka sudi untuk to go the extra miles demi kemajuan kolektif.
Akan tetapi jika yang mereka rasakan adalah aturan yang mengekang di sana-sini, kritik berlebihan dibanding apresiasi, tuntutan yang tinggi tanpa imbal balik yang memadai --yang terjadi adalah keengganan, kelebaman, dan metamorfosa tubuh manusianya menjadi robot.
Pimpinan tertinggi yang 'turun gunung' sampai ke urusan-urusan teknis mengakibatkan ketidakteraturan dalam  pola dan budaya kerja yang sehat. Pimpinan menjajah ruang-ruang kebebasan lewat 'micro-managing' yaitu mengelola urusan sampai yang sekecil-kecilnya. Sehingga, pegawai merasa tidak lebih sebagai bidak catur yang siap tersisih dari papan permainan.
Perlakuan sebagai bidak catur itu membuat pegawai kehilangan rasa memiliki (sebaliknya ia merasa 'dimiliki'). Menurut pimpinan yang berkuasa, sang pegawai mutlak harus mau didikte karena sudah diberi sejumlah upah.
Kerap terjadi, ketidakmampuan penyelenggara organisasi untuk memberi bayaran yang layak (misalnya sesuai upah minimum) dibarengi tuntutan agar pegawai punya 'rasa memiliki' terhadap organisasi/perusahaan. Yaitu 'rasa memiliki' yang indikatornya kerelaan (keikhlasan) dan semangat kerja. Sesuatu yang mengherankan, karena naturalnya sense itu tidak ada sejak awal. Perekrut tidak mencantumkan syarat 'ikhlas karena Allah dalam bekerja' dalam iklan lowongan kerjanya.
Pemilik organisasi bisa jadi adalah orang-orang yang tulus ikhlas. Namun, para pegawai dan pekerja datang lebih belakangan ketimbang pemilik organisasi. Para pegawai ini mencari sumber nafkah yang direpresentasikan dalam besaran upah. Sudah pasti (secara keumuman) urusan upah adalah yang pertama dalam pertimbangan mereka. Mereka melamar (semata-mata dan atau terutama) untuk bekerja. Rasa memiliki kelak tumbuh jika memang ada usaha yang sungguh-sungguh dari perusahaan untuk menumbuhkannya. Misalnya dengan mengembangkan semangat kerja kemitraan atau iklim kerja partisipatif. Jika kulturnya feodal, mustahil 'rasa memiliki' itu tumbuh.
Apalagi jika sejak awal penghargaan itu sangat kecil dan calon pegawai diminta memaklumi. Calon pegawai yang didesak kebutuhan akhirnya menerima akad itu dan menjalani pekerjaan itu 'semampunya' dan 'apa adanya'. Mereka datang ke tempat kerja mengisi presensi, menunaikan kewajiban yang paling minimal, kemudian pulang.
Jika sejak awal penghargaan dan reward sudah sangat minim bagaimana mereka bisa diharapkan to go the extra miles?Â
Dalam kultur organisasi di mana dominasi pimpinan terlalu kuat bisa dipastikan secara umum apresiasi terhadap pegawai sangatlah rendah. Apresiasi diberikan lebih berdasarkan asas manfaat (kalkulasi manipulatif). Apakah personil ini secara politik memberi keuntungan terhadap keberlanjutan organisasi dan secara khusus terhadap posisi tawar pimpinan?Â
Apakah ada pengakuan dan insentif yang memadai untuk upaya lebih yang dilakoni para pekerja? Salah-salah 'upaya ekstra' itu justru dianggap mengacaukan ritme kerja yang sudah diskenariokan atasan. Pimpinan jadi dominan dan pegawai jadi dependen. Mirip struktur negara kolonial.
Pimpinan menuntut pegawai untuk punya rasa memiliki, tetapi pada saat yang sama bersikap sebagai pemilik tunggal. Pegawai perlu ditertibkan dan didisiplinkan, sementara  pimpinan tidak mesti didisiplinkan. Terjadi kekacauan dalam nalar yang melandasi budaya organisasi. Banyak yang tidak masuk akal, tapi harus diaminkan karena apa mau dikata: itulah maunya pimpinan. Akhirnya yang tumbuh adalah budaya feodal. Pegawai harus bekerja dengan cara dan hasil sebagaimana selera pimpinan.  Makin dekat dengan penguasa, kian besar kue kesejahteraan yang bisa dinikmati. Itulah kultur feodal.
Rasa memiliki tidak menafikan adanya hirarki. Dalam organisasi, hirarki (struktur vertikal) maupun struktur horisontal adalah keharusan. Akan tetapi yang bisa diusahakan untuk diubah adalah atmosfernya. Relasi atasan dan bawahan tidak dibina atas dasar hubungan dominance-dependence, seperti halnya penguasa-rakyat dalam negara kolonial atau negara feodal. Sebaliknya, setiap orang diberi ruang kebebasan yang cukup untuk mengaktualisasikan peran dan fungsi strukturalnya dalam organisasi. Organisasinya rasional namun semangatnya paguyuban.
Membangun rasa kekeluargaan, merenggangkan struktur, membuka ruang-ruang kebebasan, mengatur kembali pola kerja yang sehat dan masuk di akal, mengakui upaya-upaya individu, dan menghindari micro-management adalah serangkaian upaya untuk membina 'rasa memiliki' pekerja terhadap perusahaan.Â
Pola komunikasi yang sehat adalah 'kunci pembuka' sekaligus muara dari upaya-upaya tersebut di atas. Komunikasi yang macet dan tersumbat sering disebabkan  gaya komunikasi tidak produktif yang dilakukan berulang-ulang. Singkatnya: dari gaya ke pola. Dari pola menjadi budaya. Kesalahpahaman, kritik yang tertuju pada pribadi bukan pada isi argumennya, akhirnya membuat pihak tertentu merasa sakit hati dan tidak nyaman.Â
Tujuan organisasi yang mulia harus ditopang kesukarelaan, semangat berkontribusi yang pro-aktif, yang lahir dari kerelaan dan rasa memiliki. Jika tidak ada pihak yang mau mengendurkan egonya, selama-lamanya organisasi menjadi ajang battle of ego. Organisasi semacam ini tidak akan mampu fokus lagi terhadap tujuan. Sebaliknya dikuatirkan ia akan jadi stagnan atau justru semakin merosot.
Wallahu a'lam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H